Mengisahkan tentang perjalana kehidupan seorang anak bernama Leonel Alastair yang berasal dari keluarga Von Adler. Kecintaannya pada musik klasik begitu melekat saat dia masih kecil, demi nama keluarga dan citra keluarganya yang sebagai musisi.
Leonel menyukai biola seperti apa yang sering dia dengarkan melalui ponselnya. Alunan melodi biola selalu membawanya ke masa masa yang sangat kelam dalam hidupnya.
Namun perlahan seiringnya waktu berjalan, kehidupan dan minatnya berubah. Dengan bantuan seorang kakak angkat Raehan dia memiliki tujuan baru, dengan tujuan tersebut dia bertemu seseorang yang menempati hatinya.
Bromance!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: "Senar Impian"
Kecintaan Leonel terhadap musik klasik terus berkembang. Setiap hari, setelah pulang sekolah, ia akan duduk di kamarnya, menyetel rekaman musik klasik favoritnya. Di antara banyak instrumen yang ia dengarkan, biola selalu menjadi yang paling memikat hatinya. Suara senar yang begitu emosional seolah mampu menyampaikan perasaannya yang terdalam. Leonel mulai membayangkan dirinya bermain biola di sebuah aula besar, seperti musisi-musisi terkenal yang sering ia tonton di televisi.
Namun, ada perasaan kecil yang selalu mengganjal hatinya. Kakaknya, Julian, sudah terkenal di kalangan keluarga sebagai pianis berbakat. Setiap kali ada perayaan atau acara penting, Julian selalu menjadi pusat perhatian dengan permainannya yang memukau. Arnold, ayah mereka, yang juga seorang pianis hebat di masa mudanya, selalu bangga dengan bakat Julian. Leonel merasa sedikit terasing di tengah-tengah keluarga yang begitu menghargai musik, namun seolah-olah bakat itu hanya diwariskan kepada Julian.
Leonel berbisik dalam hati "Kenapa aku merasa seolah-olah musik bukan untukku? Hanya karena Julian bermain piano, bukan berarti aku tak bisa bermain biola..."
Di suatu malam, saat rumah terasa sepi, Leonel mendengar suara piano mengalun lembut dari ruang keluarga. Ternyata, Julian sedang berlatih untuk sebuah pertunjukan di sekolah. Suara piano itu mengisi seluruh ruangan, dan Leonel yang baru saja turun dari kamarnya, berdiri di ambang pintu, memperhatikan kakaknya.
Julian sadar bahwa Leonel mengamatinya, berhenti bermain sejenak "Leonel, kamu dari tadi di sana?"
Leonel terkejut, namun berusaha tenang "Oh… iya, aku cuma dengar permainanmu. Bagus sekali, seperti biasanya."
Julian tersenyum lembut, lalu menepuk kursi di sebelahnya, mengisyaratkan agar Leonel mendekat.
"Kenapa kamu nggak pernah ikut main musik sama kami? Aku tahu kamu suka musik klasik, terutama biola." Ucapnya sambil menarap Leonel
Leonel terdiam, menunduk "Aku… aku nggak tahu. Papa dan kamu kan hebat main piano. Aku nggak merasa bisa sebaik kalian."
Julian tertawa kecil "Main musik itu bukan soal siapa yang lebih hebat, Leon. Kalau kamu benar-benar suka biola, kenapa nggak coba belajar? Papa juga pasti senang kalau kamu bisa main."
"Aku nggak yakin Papa akan mengizinkanku… Dia selalu memusatkan perhatian pada kamu dan pianomu." Kata Leonel sambil menatap Julian dan Piano di hadapan mereka bergantian.
Julian meletakkan tangannya di bahu Leonel, mencoba memberikan semangat.
"Dengar, Papa mungkin sibuk, tapi aku yakin dia akan bangga kalau kamu menunjukkan ketertarikan pada musik. Lagipula, biola adalah instrumen yang indah, dan aku bisa bantu kamu belajar dasar-dasarnya." Katanya dengan nada yang menenangkan.
Mungkin hanya Julian yang mirip nenek bagi Leonel sekarang, namun karena Julian yang pendiam dan cuek dia tidak terlalu peduli pada sekitar dan keadaan Leonel seperti apa.
Di lain sisi Leonel merasakan sedikit harapan muncul di dalam hatinya. Selama ini, ia selalu merasa tersisih karena bakat Julian yang diakui keluarga, tetapi sekarang, Julian justru mendorongnya untuk mengikuti apa yang ia cintai.
Leonel berbicara pelan tapi mantap "Aku… aku ingin coba, Julian. Aku ingin belajar biola."
Julian tersenyum "Bagus! Kita bisa cari guru atau kursus untuk kamu, dan kalau mau, aku juga bisa bantu sedikit."
Keesokan harinya, setelah sarapan, Leonel memberanikan diri berbicara dengan ayahnya tentang keinginannya belajar biola. Arnold, yang sedang sibuk membaca surat kabar di ruang makan, mengangkat wajahnya ketika mendengar permintaan Leonel.
Leonel berdebar "Papa, aku… aku ingin belajar biola. Aku tahu Papa dan Julian hebat di piano, tapi aku suka biola. Aku harap Papa bisa izinkan aku untuk belajar."
Arnold terdiam sejenak, matanya menatap Leonel dengan penuh pertimbangan. Julian, yang duduk di seberang meja, memberikan dukungan dengan anggukan pelan. Setelah beberapa saat, Arnold berbicara.
Arnold dengan tenang namun terkesan dingin berkata "Biola, ya? Itu bukan instrumen yang mudah. Kamu harus benar-benar serius kalau mau belajar."
Leonel mengangguk kuat "Aku serius, Papa. Aku ingin mencoba."
Arnold akhirnya tersenyum tipis, sesuatu yang jarang terlihat di wajahnya ketika berbicara dengan Leonel.
"Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan, Papa akan carikan guru biola untukmu. Tapi ingat, kamu harus berlatih dengan sungguh-sungguh, seperti Julian berlatih piano." Ucap Arnold dengan cuek.
Leonel merasa hatinya melompat kegirangan. Ini adalah kali pertama Arnold benar-benar menyetujui sesuatu yang diinginkan Leonel, dan meskipun ia tahu ini baru langkah awal, itu sudah cukup baginya untuk merasa diterima.
Pada hari-hari berikutnya, Leonel semakin bersemangat. Ia mulai mencari tahu tentang biola, belajar dasar-dasar dari buku dan video. Julian sering membantu mengoreksi postur atau memberikan tips tentang membaca partitur. Meskipun berbeda instrumen, keduanya mulai memiliki ikatan baru melalui musik.
Namun, di balik semua itu, Leonel tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Dia tidak hanya ingin belajar biola—dia ingin membuktikan bahwa dirinya juga memiliki tempat di dalam keluarga yang penuh bakat ini. Dan meskipun ada tantangan di depan, Leonel bertekad untuk mengejar impian barunya ini, karena di situlah ia menemukan harapan dan kenyamanan yang selama ini hilang dalam hidupnya.