NovelToon NovelToon
VARIOUS LOVES

VARIOUS LOVES

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Cinta Terlarang / Bad Boy
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Nadira terbaring koma, di ambang batas hidup, divonis tak akan bisa pulih oleh sang dokter akibat penyakit langka yang merenggut segalanya dengan perlahan.

Di sisa-sisa kesadarannya, ia menyampaikan satu permintaan terakhir yang mengubah hidup Mira, kakaknya: menggantikan posisinya untuk menikahi Revan, seorang pria yang bahkan tak pernah Mira kenal.

Tanpa cinta, tanpa pilihan, Mira melangkah menuju pelaminan, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi memenuhi permintaan terakhir Nadira. Namun, pernikahan ini lebih dari sekadar janji. Itu adalah awal dari ujian berat, di mana Mira harus berjuang menghadapi dinginnya hati Revan dan penolakan keluarganya.

Ketika Mira mencoba bertahan, kenyataan yang lebih menyakitkan menghancurkan semua: Revan melanggar janjinya, menikahi wanita lain yang memiliki kemiripan dengan Nadira, semua dilakukan di balik punggung Mira.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Membaik

Karina duduk di sofa berseberangan dengan Revan, menyandarkan tubuhnya yang lelah. Pandangannya terpaku pada pria yang kini tertidur pulas di sofa. Wajah Revan terlihat damai, seolah semua kerumitan dunia telah menjauh darinya.

“Tapi kok gue nggak tega ninggalin dia begitu aja?” Karina menggumam pelan, lalu menggelengkan kepalanya. Ia merasa bingung dengan dirinya sendiri. Revan bukan siapa-siapa baginya. Hanya seseorang yang kebetulan ia temui di bar tadi malam, namun entah kenapa ia merasa perlu membantunya.

Setelah beberapa menit, Karina berdiri dan menuju dapur untuk mengambil segelas air. Mungkin Revan akan membutuhkan itu ketika bangun nanti. Kembali ke ruang tamu, ia meletakkan gelas di meja kecil dekat sofa, kemudian meraih selimut tipis dari lemari dekat tangga.

“Aku nggak percaya aku melakukannya,” gumamnya sambil menyelimuti tubuh Revan dengan lembut.

Meskipun Karina terlihat kasar tadi, ada sisi lembut dalam dirinya yang membuatnya peduli, bahkan pada orang asing.

Setelah memastikan Revan tertutup dengan baik, Karina menghidupkan lampu kecil di sudut ruangan, mematikan lampu utama, lalu berjalan ke kamarnya di lantai atas. Namun, sebelum ia mencapai tangga, suara pelan menghentikannya.

“Karina…”

Ia berbalik, terkejut mendengar namanya disebut. Revan ternyata tidak sepenuhnya tertidur. Matanya setengah terbuka, pandangannya buram, tapi ia jelas memanggil namanya.

Karina mengerutkan alis, mendekati sofa dengan langkah ragu. "Apa tadi kamu bilang?" tanyanya pelan, tapi Revan hanya bergumam tidak jelas, matanya masih setengah tertutup.

“Karina…” gumamnya lagi, suaranya terdengar samar, hampir seperti bisikan. Namun, kali ini Karina menyadari sesuatu, Revan sedang mengigau.

Ia menghela napas panjang, merasa sedikit lega sekaligus heran. "Jadi cuma igauan," gumamnya sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan.

“Kenapa juga nama gue yang disebut?”

Revan bergeser sedikit di sofa, menarik selimut lebih erat seolah mencari kehangatan. Wajahnya tampak damai, tanpa jejak dari kebingungan yang baru saja ia ciptakan pada Karina.

Karina berdiri di sana beberapa detik, memandanginya dengan campuran perasaan yang sulit dijelaskan.

“Mimpi apa sih kamu?” katanya pelan, meski ia tahu takkan ada jawaban.

Setelah memastikan Revan benar-benar terlelap, Karina melangkah kembali menuju tangga. Ia tidak ingin terlalu memikirkannya, tapi tetap saja, ada rasa penasaran yang tertinggal di hatinya.

Setibanya di kamar, ia merebahkan diri di tempat tidur dan menatap langit-langit kamar. "Kenapa sih gue repot-repot peduli sama orang yang bahkan gue nggak kenal baik?" pikirnya, mencoba mencari alasan yang masuk akal.

Namun, seiring waktu berlalu, pikirannya mulai melayang-layang hingga akhirnya ia pun tertidur, membiarkan malam membawa semua kebingungannya menjauh sementara.

**********

Pagi di rumah sakit terasa tenang, hanya diiringi suara langkah kaki perawat yang sesekali berlalu lalang di lorong. Di salah satu kamar, Mira duduk di sisi tempat tidur Nadira, memegang mangkuk bubur hangat dan sendok kecil di tangannya.

Di atas ranjang, Nadira tampak lemah. Tubuhnya bersandar pada tumpukan bantal, sementara wajahnya terlihat sedikit pucat. Namun, sorot matanya tetap lembut saat ia menatap Mira.

"Udah, Kak... Udah. Udah kenyang," ujar Nadira, suaranya pelan namun cukup tegas untuk menunjukkan ketidakinginannya melanjutkan makan.

Mira mendengus kecil, lalu menghela napas panjang. Ia menyendok bubur lagi, kali ini menahannya di depan wajah Nadira. "Baru tiga suapan, Nad. Udah bilang kenyang aja. Ayo, makan lagi, biar kamu ada tenaga," katanya, suaranya lembut tapi jelas memerintah.

Nadira menggeleng pelan, tapi Mira tetap tidak menyerah. “Nadira, dengerin Kakak. Kalau kamu nggak makan, gimana mau cepat sembuh?”

Nadira menatap Mira sejenak, lalu memalingkan wajah. Ada rasa tidak enak melihat kakaknya begitu khawatir, tapi nafsu makannya benar-benar tidak ada.

"Kak Mira, beneran deh, aku nggak sanggup. Bukan nggak mau makan," ujarnya, nada suaranya terdengar lelah.

Mira menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi. Ia tahu Nadira sedang tidak dalam kondisi terbaiknya, tapi ia juga tahu adiknya perlu makan agar tubuhnya tidak semakin lemah.

"Oke," ujar Mira akhirnya, meletakkan mangkuk bubur ke meja di samping tempat tidur.

Lalu, mengambil gelas berisikan air putih, mendekatkannya ke Nadira. "Minum dulu, Nad. Sedikit aja, biar tenggorokanmu nggak kering," ujarnya lembut.

Nadira membuka mata perlahan dan menerima gelas itu dengan tangan gemetar. Mira membantu memegangi gelasnya, memastikan airnya tidak tumpah. Setelah beberapa tegukan kecil, Nadira menyerahkan kembali gelas itu kepada Mira sambil tersenyum tipis.

"Terima kasih, Kak," ujar Nadira pelan.

Senyum Mira melebar sedikit. "Iya, istirahat lagi ya," katanya, sembari meletakkan gelas kembali ke meja.

Namun, sebelum ia sempat duduk kembali, ponselnya yang tergeletak di meja bergetar. Nama temannya, Rani, terpampang di layar. Mira mengerutkan kening, tapi akhirnya menjawab telepon itu sambil melangkah ke dekat jendela, agar suaranya tidak mengganggu Nadira.

"Halo, Ran?" sapanya pelan.

"Mira, kamu di mana? Aku nggak lihat kamu di toko hari ini. Aku kira kamu cuma telat, tapi sampai sekarang nggak ada kabar," tanya Rani, terdengar cemas di ujung telepon.

Mira menghela napas pelan, menatap keluar jendela di mana sinar matahari mulai menghangatkan halaman rumah sakit.

"Maaf ya, Ran. Aku lupa ngabarin. Nadira lagi sakit, dan aku harus jagain dia di rumah sakit. Jadi mungkin aku nggak bisa ke toko beberapa hari ini."

Rani terdiam sejenak sebelum menjawab dengan suara lebih lembut. "Astaga, Nadira kenapa? Parah nggak?"

"Dia lagi lemah aja. Dokter bilang butuh istirahat dan perawatan. Aku nggak tenang ninggalin dia sendirian di sini," jawab Mira.

"Aku ngerti, Mir. Jangan khawatir soal toko. Aku bisa urus semuanya untuk sementara. Kalau ada yang darurat, aku bakal hubungi kamu lagi."

Mira merasa lega mendengar pengertian Rani. "Makasih banget, Ran. Aku nggak tahu deh harus gimana kalau kamu nggak ada."

"Udah, nggak usah mikir macam-macam. Fokus aja ke Nadira. Kalau ada yang kamu butuhin, kabarin aku, ya," kata Rani.

"Iya, aku janji," ujar Mira, suaranya penuh rasa syukur.

Setelah percakapan selesai, Mira meletakkan ponselnya kembali ke meja dan duduk di kursinya. Ia menatap Nadira yang sudah tertidur lagi, wajahnya tampak lebih tenang.

Mira menyandarkan punggungnya ke kursi, berusaha meredakan kekhawatirannya sejenak. Meski lelah, ia tahu ini adalah tempat di mana ia harus berada saat ini, di sisi adiknya.

Mira tersentak dari lamunannya ketika pintu kamar perlahan terbuka. Seorang dokter dengan jas putih masuk, diikuti oleh seorang perawat yang membawa clipboard. Mereka tersenyum ramah kepada Mira sebelum mendekati Nadira yang masih terbaring lemah di tempat tidur.

“Pagi, Bu Mira. Gimana Nadira semalam, ada keluhan?” tanya dokter itu sambil memeriksa grafik kesehatan yang tertera di monitor di samping tempat tidur.

Mira menggeleng pelan. “Semalam dia tidur lumayan nyenyak, Dok. Tapi pagi ini, makannya susah.”

Dokter mengangguk sambil mulai memeriksa Nadira. Ia memeriksa denyut nadi, tekanan darah, dan suhu tubuh adik Mira dengan cermat. Nadira perlahan membuka mata, menatap dokter dengan lemah namun penuh perhatian.

“Bagaimana perasaannya, Nadira? Masih pusing atau mual?” tanya dokter dengan nada lembut.

Nadira menggeleng lemah. “Nggak pusing, Dok. Tapi… lemes aja,” jawabnya dengan suara pelan.

Setelah selesai memeriksa, dokter tersenyum kecil kepada Nadira. “Kondisi kamu cukup membaik, Nadira. Itu berita baik. Tapi kamu harus terus jaga pola makan, ya. Meskipun nggak selera, kamu harus coba makan sedikit-sedikit biar tubuhmu nggak makin lemah.”

Dokter kemudian menoleh ke Mira. “Bu Mira, pastikan Nadira mendapatkan cukup istirahat, makan yang teratur, dan jangan lupa minum obat sesuai jadwal. Kalau ada tanda-tanda seperti demam tinggi, mual berat, atau nyeri yang nggak biasa, langsung kabari kami, ya.”

Mira mengangguk serius. “Iya, Dok. Saya akan pastikan itu.”

Dokter menuliskan sesuatu di clipboardnya, lalu menyerahkan catatan tersebut kepada perawat.

“Kami akan terus pantau kondisi Nadira. Kalau perkembangannya tetap baik seperti ini, kemungkinan beberapa hari lagi dia sudah bisa pulang, dengan catatan harus tetap disiplin menjaga kondisinya.”

Mendengar itu, Mira merasa lega. Ia menatap Nadira yang kini terlihat sedikit lebih rileks. “Terima kasih, Dok,” ucapnya.

“Terus semangat, Nadira. Kamu pasti bisa cepat pulih,” kata dokter sambil tersenyum sebelum melangkah keluar ruangan bersama perawat.

Setelah pintu tertutup, Mira duduk kembali di kursinya, menatap adiknya dengan sorot mata lembut.

“Dengar tuh, Nad. Kamu harus makan dan minum obat yang teratur. Kakak nggak mau lihat kamu sakit lama-lama.”

Nadira hanya mengangguk kecil, walau wajahnya masih menunjukkan sedikit keengganan.

Beberapa saat kemudian, Ia menyadari perutnya mulai terasa kosong, mengingat terakhir kali ia makan adalah sore kemarin. Namun, ia ragu meninggalkan Nadira sendirian.

“Nad, Kakak mau izin keluar sebentar ya,” kata Mira pelan, duduk di sisi tempat tidur adiknya.

Nadira menatapnya dengan pandangan lemah namun penuh perhatian. “Mau ke mana, Kak?”

“Mau beli makanan di bawah. Kakak belum makan sejak sore kemarin,” Mira menjelaskan sambil tersenyum kecil, berusaha agar Nadira tidak khawatir.

“Ya udah, Kak. Nggak apa-apa. Aku di sini aja, istirahat,” jawab Nadira sambil mencoba tersenyum.

Mira mengangguk, lalu menggenggam tangan adiknya. “Kamu nggak apa-apa ditinggal sebentar, kan? Kalau ada apa-apa, langsung pencet bel panggil suster, ya.”

“Iya, Kak. Jangan lama-lama aja,” kata Nadira, nadanya seperti anak kecil yang tidak ingin ditinggal terlalu jauh.

Mira tersenyum dan mencium kening adiknya. “Iya, sebentar aja. Kakak beli makan yang cepet.”

Setelah memastikan Nadira nyaman dengan selimutnya, Mira mengambil tas kecil dan ponselnya. Ia melangkah keluar dengan perasaan sedikit lebih lega, berharap bisa mengisi energinya kembali untuk terus menjaga adiknya.

1
Cevineine
lanjut yaa, aku gift biar makin semangat😊
WikiPix: sabar, ya. lagi proses.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!