Tsania Zoun adalah anak yang terlahir dari rahim seorang wanita penghibur bernama Laura Zoun.
Lahir dengan status tidak memiliki sosok ayah, Tsania selalu tersisihkan, ia sering diberi julukan sebagai anak haram.
Ibunya, Laura Zoun juga selalu diterpa cercaan karena pekerjaannya yang menjadi wanita malam. Kehidupan sulit keduanya lalui hanya berdua hingga saat Tsania dewasa.
Tsania yang memiliki tekad untuk membahagiakan ibunnya memilih untuk menempuh pendidikan tinggi di kota. Akan tetapi di sana lah identitas aslinya mulai terkuak.
Penasaran bagaimana kisah hidup Tsania dan ibunya; Laura? Ayo! Langsung baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Diana Putri Aritonang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tsania Laura 4.
Flashback on~
"Kau benar-benar menikahinya?! Dasar bodoh! Sama sekali tidak pandai mencari istri." Suara wanita itu terdengar keras saat menghardik putranya. "Sebentar lagi kau akan naik jabatan. Kau butuh pendamping yang tepat, bukan gembel seperti Laura!"
Di balik dinding, tubuh muda itu tersandar. Napasnya terlihat sesak saat mendengar penilaian ibu mertua tentang dirinya.
"Pokoknya ibu tidak mau tahu. Kau akan tetap menikah secepatnya dengan wanita pilihan ibu!"
"Kau dengar ibu, Galang!!" teriaknya lagi pada sang putra.
"Iya, Bu."
Deg!
Dunia Laura seketika runtuh. Air matanya berlinang dan dengan cepat ia membekap mulutnya.
"Tapi aku tidak bisa meninggalkan Laura. Aku mencintainya, Bu."
"Terserah mu. Ibu tidak perduli. Yang penting kamu menikah dengan Sekar. Kau bisa menyembunyikan istri bodoh mu itu dan ibu hanya ingin orang-orang tahu Sekar adalah menantu ibu."
Dinilai bodoh dan akan segera diduakan membuat Laura segera menjauh dari kamar ibu mertuanya. Ia terisak menerima kenyataan hidup yang ternyata sama sekali tak berubah setelah ia memilih bersama dengan pria yang mengatakan mencintai dirinya.
Laura memilih pergi dan tak kembali dengan membawa rasa sakit, kecewa serta luka yang ada di dalam hati. Termasuk saat tak berapa lama setelah ia pergi, Laura mengetahui jika dirinya tengah hamil, Laura tetap bertahan dalam pelarian dan memilih mencoba berdiri di atas kaki sendiri.
Flashback off~
"Ma?"
Panggilan itu tak mampu menyadarkan Laura dari lamunan.
"Ma?" panggil Tsania lagi dengan lebih mendekat pada ibunya. "Mama kapan pulang? Apa acaranya sudah selesai?" tanya Tsania karena melihat ibunya yang kini berada di dapur. Tsania bisa melihat jika Laura sepertinya sedang ingin menyeduh teh.
Jam dinding mengarah pada angka sembilan. Tidak seperti biasanya, ibunya malam ini pulang lebih cepat. Tsania merasa heran, karena biasanya Laura akan tiba di rumah setelah beranjak tengah malam,
"Baru beberapa menit yang lalu," terang Laura pada Tsania dan kembali mengaduk minuman hangatnya.
Kejadian di pesta anniversary tadi sepertinya membuat Laura kembali mengingat kilasan masa lalu. Meski sudah hampir sembilan belas tahun berlalu, kenangan itu masih saja bisa menggoreskan luka.
"Mama sakit?"
"Tidak."
"Mama bertengkar dengan Om Ardi?"
"Kenapa berpikiran seperti itu?" Laura mengubah posisi menghadap pada putrinya. Menatap Tsania dengan tatapan yang menyelidik, keningnya bahkan berkerut.
"Emmm... mungkin saja Om Ardi menyatakan perasaannya pada Mama dan Mama menolak dengan marah-marah." Tsania berusaha menebak dan tersenyum kaku setelahnya.
Laura menghela napas mendengar pemikiran konyol Tsania. "Kenapa belum tidur?" tanya Laura. Ia mengalihkan topik pembicaraan. Laura beranjak dengan membawa gelas minuman hangatnya dan duduk di meja makan.
"Aku baru selesai mendaftar secara online, Ma." Putri Laura itu juga ikut menyusul ibunya dan mengambil duduk bersebrangan dengan Laura.
Laura menatap lama putrinya itu. Tsania telah mendaftar di salah satu universitas terkemuka yang ada di kota. Ada rasa yang sulit Laura artikan saat mengingat ia yang harus melepaskan Tsania untuk memulai hidup jauh darinya.
"Ma!" Suara keras Tsania membuat Laura terkesiap."Mama kenapa? Dari tadi aku perhatikan, Mama terus saja melamun. Ada apa? Apa ada masalah di club?"
Dengan cepat Laura menggeleng. "Mama hanya memikirkan sekolah mu," ucap Laura tersenyum. "Kau harus menepati janji mu pada Mama."
"Siap, Komandan!" Tsania bahkan melakukan gerakan hormat dan hal itu membuat Laura tertawa kecil. "Tsania tidak akan pernah mengecewakan Mama."
Di meja makan itu, sesaat Tsania dan Laura menghabiskan waktu. Bercengkrama ringan membahas masalah kecil terutama persiapan Tsania yang akan berkuliah di kota. Namun tak lama, karena Tsania pamit lebih dulu pada ibunya untuk tidur. Setelah mendaftar online Tsania tetap akan melakukan pendaftaran ulang secara langsung.
Sepeninggalnya Tsania, Laura tetap berada di meja makan hingga lewat tengah malam. Pikiran wanita itu mengulang semua kenangan yang sejauh ini sudah ia lalui.
*
*
*
Pagi baru kini menyapa, seperti rencana awal Tsania akan berangkat ke kota. Ia akan berangkat seorang diri dengan menggunakan kendaraan umum.
"Jangan lupa cek lagi semuanya."
"Iya, Ma. Aku sudah periksa semua. Dan tidak ada yang tertinggal."
"Jangan bergaul sembarangan."
"Iya, Ma."
"Apalagi dengan anak orang kaya."
Tsania yang sedang menata isi ranselnya itu menoleh pada Laura.
"Jangan sampai terlibat apa pun bersama mereka ." Laura terus mengoceh tanpa menyadari jika kini Tsania memperhatikan dirinya. Tangannya dengan telaten terus mengaduk nasi goreng yang akan dihidangkan sebagai sarapan. Jika seperti ini, Laura persis seperti ibu-ibu pada umumnya.
Menyadari tidak ada balasan, Laura pun menoleh dan mendapati Tsania ternyata juga tengah memperhatikan dirinya.
"Aku akan berhati-hati, Ma. Jangan khawatir. Aku juga akan selalu menghubungi Mama dan memberikan kabar."
Tsania mendekat dan memeluk Laura dari samping. Melihat ibunya memberikan banyak nasehat sebelum keberangkatan dirinya ke kota membuat Tsania terenyuh. Ia dan Laura bukanlah seperti ibu dan anak kebanyakan.
Laura bukan ibu yang lemah lembut memberikan kasih sayang dengan tutur kata mendayu serta sentuhan pada putrinya. Laura terkesan cuek, ia dan Tsania lebih seperti teman. Tapi jangan pernah mempertanyakan rasa cinta dan sayang yang ada di hatinya, Laura bahkan rela melakukan apa saja demi lahirnya Tsania ke dunia.
"Sebaiknya kita sarapan. Sebelum bus meninggalkan mu."
Tsania tersenyum mendengar perkataan Laura. Ia memberikan tanda cinta dengan mencium pipi wanita hebat yang telah melahirkannya itu, baru setelahnya beranjak menuju meja makan. Keduanya sarapan bersama. Hening, tidak ada yang bersuara sampai sarapan selesai dan kini saatnya untuk Tsania berangkat.
"Mau ke mana?"
Laura baru membuka pintu rumah dan sudah disambut oleh suara seorang pria. Ternyata Ardi Lim yang datang pagi-pagi sekali.
"Pagi, Om." Tsania mendekat dan mencium tangan pria yang dekat dengan ibunya itu. Setidaknya itu lah penilaian Tsania, karena Ardi Lim selalu datang ke rumah mereka dengan alasan yang terkadang sederhana.
"Kamu mau ke mana?" Ardi menatap Tsania yang membawa koper serta ransel kecil, sebelum akhirnya pindah pada netra Laura.
"Tsania mau ke kota, Om. Lanjut kuliah di sana."
"Waahhh...benarkah? Hebat sekali anak Om ini." Ardi bahkan mengacak kecil rambut Tsania tanpa menyadari perkataannya yang mengganggu pendengaran Laura. "Kenapa?" Ardi membalas tatapan Laura yang tajam dan hal itu diperhatikan oleh Tsania. Gadis cantik itu hanya bisa menggeleng melihat tingkah keduanya.
"Apa ada yang salah dari perkataan ku?" tanya Ardi Lim lagi.
"Kenapa datang pagi-pagi begini?"
Ardi Lim tidak menjawab, ia menyerahkan paper bag yang berisi cake red valvet pada Laura. "Aku tadi tidak sengaja membeli dua cake."
Laura menghela napas mendengar karangan Ardi yang mengatakan tidak sengaja membeli dua cake. Jika pun tidak sengaja kenapa mesti jauh-jauh memberikan dan mengantarnya ke rumah Laura. Bawa saja cake itu ke kantor dan berikan pada karyawan.
"Tsania ke kota bareng Om saja. Om akan antar sampai ke tempat kosnya." Ardi langsung menawarkan tumpangan pada putri Laura itu, lagian arah tujuan mereka sama.
"Tidak usah, biar dia naik bus." Laura lebih dulu menjawab. "Pergilah, nanti kau ketinggalan," lanjut Laura kini pada Tsania.
Akan tetapi Tsania terdiam ia menatap Ardi Lim dan ibunya secara bergantian.
"Jangan dengarkan mamamu, dia memang selalu seperti itu." Ardi Lim sudah lebih dulu meraih koper Tsania dan akan membawanya menuju mobil. "Ayo Tsania, perjalanan kita lumayan jauh. Jangan lupa peluk dulu mamamu...wakili Om."
Ardi dengan cepat melangkah menuju mobil setelah melihat Laura yang melotot padanya.
"Ma."
Laura berpindah menatap pada Tsania yang kini tengah menahan senyuman. "Tidak ada yang lucu."
"Iya, Ma." Tapi Tsania tetap saja tertawa. Dan kemudian ia memeluk Laura. "Tsania pergi dulu. Tsania akan langsung berikan kabar jika sudah sampai di tujuan."
Laura hanya mengangguk, ia sempat menutup mata sejenak sebelum lebih dulu merenggangkan pelukan Tsania.
"Pergilah, nanti kau terlambat."
Tsania mengangguk dan sebelum benar-benar melangkah, ia lebih dulu meninggalkan kecupan di pipi kiri dan kanan Laura.
konflik emak dah kelar🤧🤧
Jngn terpancing idg segala cara yg dilakukan Anggita si blis wanita itu... 😕