Dalam waktu dekat, umat manusia telah mengembangkan teknologi canggih yang memungkinkan mereka melakukan perjalanan antar bintang. Misi perurkan dengan harapan menemukan planet yang layak huni. Namun, saat kru tiba setelah bertahun-tahun dalam cryosleep, mereka menemukan sinyal misterius dari peradaban asing, mengubah misi eksplorasi ini menjadi perjuangan bertahan hidup dan penemuan besar yang bisa mengubah nasib umat manusia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifky Ramadhan Official, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4
Bab 4: Di Dalam Piramida
Elena berdiri di depan piramida yang menjulang di hadapannya, memandangi struktur itu dengan perasaan kagum bercampur waspada. Dinding logamnya tampak tua namun tak tergores, bersinar redup di bawah langit berawan planet asing ini. Tanaman liar merambat di beberapa bagian, tapi selain itu, bangunan ini terlihat terawat, seolah-olah sengaja dipertahankan oleh sesuatu—atau seseorang.
"Kalian lihat ini?" gumam Samuel, suaranya dipenuhi kekaguman saat dia meraba dinding dengan tangan bersarung. "Ini bukan logam biasa. Permukaannya sangat halus, tapi ada pola ukiran yang nyaris tak terlihat. Ini jelas buatan peradaban maju."
Elena mendekati Samuel, matanya menyusuri ukiran samar yang dimaksud. Di bawah permukaan logam yang mengkilat, tampak alur-alur halus membentuk pola geometris yang berliku-liku. “Apa kamu pikir ini hanya hiasan? Atau ada fungsinya?”
"Aku belum bisa memastikan," jawab Samuel, sedikit terpesona. "Tapi pola seperti ini biasanya digunakan untuk transmisi energi atau data dalam peradaban teknologi tinggi. Ini... lebih dari sekadar dekorasi."
"Apa kamu bisa menembusnya?" tanya Mark, yang berdiri tak jauh dari mereka, tatapannya gelisah pada pintu besar di depan mereka. Pintu itu terbuat dari bahan yang sama dengan dinding, namun lebih padat dan tebal. Tidak ada pegangan atau tombol apa pun yang terlihat.
"Sekejap," kata Samuel sambil mengeluarkan alat pemindai. "Mari kita lihat apakah ada cara untuk membukanya."
Sementara Samuel sibuk dengan pemindaiannya, Elena memeriksa sekelilingnya. Pepohonan biru keunguan di sekitar mereka bergerak pelan, ditiup angin yang sejuk. Sejauh ini, mereka belum menemukan tanda-tanda kehidupan di planet ini. Tidak ada makhluk, tidak ada gerakan—hanya keheningan yang mencekam, seolah-olah seluruh planet ini diam menunggu sesuatu.
Suara desis lembut tiba-tiba terdengar, membuat Elena kembali menoleh ke arah Samuel. Pemindaiannya telah selesai, dan pintu piramida mulai bergerak. Perlahan-lahan, pintu itu terbelah menjadi dua bagian, membuka jalan masuk ke dalam bangunan.
"Bagus sekali," kata Elena dengan sedikit lega. "Semua siap? Kita masuk."
Timnya mengangguk, masing-masing mempersiapkan diri dengan peralatan komunikasi dan senjata ringan yang mereka bawa—sekadar berjaga-jaga. Dengan hati-hati, mereka melangkah masuk ke dalam piramida.
Bagian dalam bangunan itu sangat berbeda dari yang mereka bayangkan. Mereka disambut oleh lorong panjang yang diterangi cahaya biru lembut dari dindingnya, hampir seperti lampu neon yang tidak memancarkan panas. Lantai logam di bawah kaki mereka terasa dingin, meskipun udara di sekitarnya cukup nyaman. Tidak ada suara kecuali gema langkah mereka sendiri.
Elena berjalan di depan, dengan Samuel dan Anya di dekatnya. Mark dan Kara berjaga di belakang, memantau setiap sudut gelap dengan mata waspada. Mereka bergerak perlahan, dengan rasa kewaspadaan yang semakin meningkat seiring kedalaman lorong yang mereka tempuh.
"Aku tak percaya ini bisa bertahan selama ini," bisik Kara. "Tidak ada tanda-tanda korosi atau kerusakan. Siapa pun yang membangun ini, mereka tahu apa yang mereka lakukan."
"Atau mereka masih ada di sini," jawab Mark dengan suara rendah, membuat semua orang terdiam sejenak. Pikiran bahwa mereka mungkin tidak sendirian di planet ini mulai menghantui.
Tiba-tiba, Samuel menghentikan langkahnya. "Tunggu sebentar," katanya, tatapannya terpaku pada pemindai di tangannya. "Ada sesuatu di depan."
Elena melangkah mendekat. "Apa itu?"
Samuel mengetuk layar pemindai, mencoba memperjelas data yang muncul. "Sepertinya... ada ruangan besar di ujung lorong ini. Ada struktur besar di tengahnya, tapi datanya masih buram. Kita harus mendekat untuk mendapatkan gambar yang lebih jelas."
Elena mengangguk, lalu memberi isyarat pada timnya untuk melanjutkan. Mereka berjalan lebih cepat, rasa penasaran mulai mengalahkan ketakutan. Lorong itu terus membawa mereka lebih dalam hingga akhirnya, mereka sampai di ujungnya—sebuah pintu besar lainnya yang terbuka otomatis ketika mereka mendekat.
Di balik pintu itu, mereka menemukan diri mereka berada di dalam sebuah ruangan besar yang luasnya jauh melampaui yang mereka bayangkan. Langit-langitnya begitu tinggi sehingga hampir tak terlihat, dan di tengah ruangan itu, berdiri sebuah struktur raksasa.
Bangunan di tengah ruangan itu berbentuk seperti monolit, menjulang tinggi dengan sudut-sudut tajam dan permukaan yang sama halusnya dengan dinding piramida. Namun, monolit ini dipenuhi dengan ukiran-ukiran geometris yang jauh lebih kompleks dan menyala dengan cahaya biru lembut.
"Apa ini?" bisik Anya, terpesona oleh keindahan dan keanehan monolit itu.
"Kita harus mencari tahu," jawab Samuel, suaranya nyaris tak terdengar di tengah kekaguman. "Ini jelas sumber sinyal. Aku yakin kita bisa menemukan jawabannya di sini."
Elena melangkah maju, mendekati monolit itu dengan hati-hati. Cahaya biru yang dipancarkannya menciptakan bayangan aneh di wajahnya, membuatnya tampak lebih tegas. Saat dia mendekat, ukiran-ukiran di permukaan monolit itu tampak bergerak perlahan, seolah-