Di sebuah desa kecil bernama Pasir, Fatur, seorang pemuda kutu buku, harus menghadapi kehidupan yang sulit. Sering di bully, di tinggal oleh kedua orang tuanya yang bercerai, harus berpisah dengan adik-adiknya selama bertahun-tahun. Kehidupan di desa Pasir, tidak pernah sederhana. Ada rahasia kelam, yang tersembunyi dibalik ketenangan yang muncul dipermukaan. Fatur terjebak dalam lorong kehidupan yang penuh teka-teki, intrik, kematian, dan penderitaan bathin.
Hasan, ayah Fatur, adalah dalang dari masalah yang terjadi di desa Pasir. Selain beliau seorang pemarah, bikin onar, ternyata dia juga menyimpan rahasia besar yang tidak diketahui oleh keluarganya. Fatur sebagai anak, memendam kebencian terhadap sang ayah, karena berselingkuh dengan pacarnya sendiri bernama Eva. Hubungan Hasan dan Fatur tidak pernah baik-baik saja, saat Fatur memutuskan untuk tidak mau lagi menjadi anak Hasan Bahri. Baginya, Hasan adalah sosok ayah yang gagal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miftahur Rahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelakor yang tersakiti
Sungguh hari yang berat bagi Eva. Setiap sudut ruangan mengingatkannya pada sang suami. Di tengah kegelisahannya, Fatur datang mengusiknya. Seperti biasa, dengan langkah ringan dan senyum tengil, dia masuk tanpa permisi. Dia tahu betul, bagaimana membuat Eva, ibunya tirinya merasa terintimidasi karena kehadirannya.
"Bu, aku lapar. Masakin aku makan. Oh, dan uang jajan. Aku butuh uang jajan lagi." ujar Fatur sambil duduk santai di sofa.
Menatap ibu tirinya tanpa ekspresi. Eva tengah makan di gelaran tikar anyaman, menatap Fatur tajam. Hatinya kini terluka, terus merasakan beban. Dia sudah merasa lelah menjalani hidup bersama suaminya, sekarang anaknya juga malah berulah.
"Kau tidak lihat, aku sedang apa? Bisa masak sendiri kan?" jawab Eva dingin. Fatur tersenyum dingin.
"Lihat kok bu, tapi saat ini aku sangat lapar. Apakah ibu tiriku ini tidak bisa mendahului keinginan anak tirinya dari pada diri sendiri? Jangan egois bu." ujar Fatur dengan wajah tengilnya.
"Sekarang buatkan aku makan!" suaranya berubah menjadi dingin. Fatur mendorong Eva agar cepat membuatnya makan.
"Bisa tidak kau lebih sopan padaku? Aku ini ibumu. Tolong hormati!" sergah Eva. Fatur hanya tersenyum.
"Apakah sopan merebut suami orang bu? Kau minta di hargai, tapi merebut milik orang lain. Kek mana orang mau menghargaimu? Kau lebih pantas dijadikan pelacur!" hina Fatur kembali mendorong tubuh Eva menjauh darinya.
"Cepat buatkan aku makan!" teriak Fatur menarik rambut Eva kedapur.
"Masak yang benar pelacur! Jangan pandai merebut suami orang, tapi nggak bisa menyenangi anaknya. Jika kau cinta pada ayahnya, seharusnya kau juga sayang pada anaknya!"
"Aku bukan babumu!" bentak Eva.
"Memasak itu juga tugas seorang ibu. Bodoh!" Fatur menarik rambut Eva dan menekan kepalanya ke meja tempat memasak. Air mata menetes di wajah Eva.
"Jangan sok paling tersakiti! Ibuku malah lebih parah dari ini! Ini belum seberapa." teriak Fatur di kuping Eva, membuat telinganya berdenging.
"Kau yang memulai penderitaanmu sendiri Eva! Jangan karena cinta, kau menghalalkan segala cara. Aku tahu, kau menikahi ayahku hanya karena uang kan?" Fatur membenturkan kepala Eva hingga wanita itu semakin menangis menahan sakit.
"Jika tidak mau disakiti, jangan menyakiti. Ujung-ujungnya playing victim!"
Dengan terpaksa Eva memasak kan makanan untuk Fatur. Selama memasak, Fatur tidak meninggalkan Eva didapur. Dia mengawasi wanita itu saat memasak. Dia harus berhati-hati. Wanita selicik Eva, bisa melakukan apa saja untuk menyingkirkan musuhnya.
Saat makanan udah siap, Fatur duduk di anyaman tikar, lalu memakan makanan yang dimasak ibu tirinya dengan lahap. Eva melihat itu mendengus kesal, lalu meninggalkan Fatur sendirian. Saat sudah selesai makan, Fatur berjalan keruang tengah. Dia tak mendapati ibu tirinya disana. Fatur berjalan mendatangi kamar ayahnya. Dia mengetuk pintu dengan keras. Berkali-kali, hingga Eva keluar dengan wajah letihnya.
"Ada apa lagi Fatur? Bisa tidak sehari saja kau tak mengangguku. Aku capek Fatur."
"Mana uangku?" tanya Fatur tanpa memperdulikan kata-kata Eva.
Karena malas berdebat terus dengan Fatur, Eva mengambil uang dari dalam kamar dan memberikan kepada Fatur. Saat sudah mendapatkan uang, Fatur pergi begitu saja tanpa mengindahkan keberadaan Eva. Bahkan mengucapkan terima kasih saja tidak. Eva mendengus pelan. Lalu kembali menutup kamar dan tertidur dengan pulas.
Seperti itulah setiap harinya Fatur, dia datang kerumah ayahnya saat dia hendak makan dan mintak uang jajan saja. Setelah itu dia pun pergi tanpa memperdulikan Eva yang merasa tersiksa dengan prilakunya.
Fatur semakin hari semakin bertingkah seperti raja. Dia selalu memerintah Eva sesuka hatinya. Fatur tidak tinggal bersama ibu tirinya, melainkan dia tinggal dirumah seorang warga pasir yang telah pindah ke Panipahan, sebuah desa yang berada di kecamatan Pasir.
Dia datang kerumah ayahnya, hanya ingin mengusik ketenangan ibu tirinya itu. Uang yang di berikan untuknya, dia pergunakan untuk bayar spp dan kebutuhan hidupnya.
Saat sampai dirumahnya, Fatur membuka laptopnya dan menuliskan sesuatu.
Agus mengejutkannya.
"Kamu lagi ngapain?" tanya Agus menepuk pundak Fatur. Lalu meraih minuman mineral di atas meja dan meminumnya. Agus membaca judul cerita tersebut.
"Kamu mau menulis ya?" tanya Agus mengerutkan keningnya.
"Iya, setidaknya aku dapat penghasilan dari menulis ini. Katanya kalau kita menulis dan mengirimkannya ke penerbit, kita dibayar. Jadi, aku mau coba. Mana tahu dapat uang nanti." jelas Fatur sumringah. Agus menghela napas pendek.
"Jadi kamu nggak butuh tenaga aku lagi dong, untuk menulis ulang tulisanmu itu?" tanya Agus .
"Nggak perlu lagi. Kan aku udah punya laptop, jadi aku tinggal ketik dan kirim naskahnya." jelas Fatur.
"Jadi kamu nggak perlu repot lagi bantu aku!" kata Fatur. Dia pun melanjutkan tulisannya dengan semangat, dan mengirim ceritanya di sebuah ke penerbit. Dia sangat senang, banyak yang baca ceritanya. Dari situlah, sedikit demi sedikit dia kumpulkan uangnya.
Seperti biasanya pagi-pagi sekali Fatur sudah menggedor pintu rumah ayahnya. Eva yang tengah sibuk mengerjakan pekerjaan rumah hanya menghela napas panjang, dan segera membuka pintu. Saat pintu dibuka, Fatur mendorong tubuh Eva hingga terjatuh.
"Lama kali sih bukanya." bentak Fatur.
Eva hanya diam menatap tajam Fatur.
"Aku udah lapar, buatkan aku makan. Jangan menatapku seperti itu, jika tidak mau binasa ditanganku." ancamnya.
Eva menghela napas berat, lalu mendekati Fatur.
"Fatur, aku nggak bisa terus begini... Aku capek." ujar Eva lirih. Namun Fatur tidak peduli dan menatapnya dengan tatapan mengejek.
"Capek? Ibuku saja setiap hari dimarahi ayah dan dipukuli, nggak pernah tuh umiku bilang capek." jawab dengan nada mengejek.
"Masa kamu kalah sama ibuku."
"Kenapa hah? Karena kamu nggak bisa jadi ibu yang baik kan? Atau kamu hanya lelah menjadi babu di rumah ini?" Fatur mengejek, seolah kata-katanya adalah senjata tajam yang menusuk langsung ke hati Eva.
Eva merasa semua yang dia lakukan, selalu salah di mata Fatur, hanya berakhir sia-sia. Di hadapannya, Fatur hanya melihatnya sebagai objek untuk disiksa. Bukan seorang ibu tiri yang layak dihormati.
Setiap kata dan tindakannya seperti api yang membakar habis sisa-sisa kepercayaan diri Eva. Eva berusaha menahan tangisnya, namun air mata itu tetap saja keluar tanpa bisa ditahan.
"Apa kamu nggak kasihan sama aku? Aku juga manusia. Aku capek Fatur." suaranya hampir tak terdengar, seperti bisikan yang hilang dalam angin.
Fatur hanya tersenyum sinis, merasa puas melihat penderitaan di wajah Eva. Setiap kata yang keluar dari mulutnya semakin memperburuk keadaan.
"Jangan nangis. Nanti aku kasih hadiah, kok,” ejek Fatur, seolah dia sedang bermain-main dengan orang yang tak berdaya.
Eva merasa hatinya terperosok lebih dalam, kehilangan kekuatan untuk melawan. Ia tak tahu lagi bagaimana cara menghadapi Fatur. Satu-satunya perasaan yang ia miliki adalah rasa sakit yang teramat dalam, dan kebencian yang semakin tumbuh, meski ia tahu, balas dendam tidak akan pernah mengembalikan apa yang telah hilang.
Di tengah ketegangan yang terus berlangsung, rumah ini menjadi tempat yang penuh dengan penderitaan. Fatur mungkin merasa kemenangan ada di tangannya, namun bagi Eva, setiap hari yang ia jalani terasa seperti penyiksaan yang tak ada habisnya.
"Jangan salahkan aku jika terlalu kejam sama kalian. Karena disaat aku terpuruk ayahku saja tidak mau menolongku. Tidak pernah menjengukku saat dipenjara, dan saat minta duit untuk jajan dan untuk kebutuhanku, ayah selalu menolak. Jadi aku mencuri, hanya mengambil hak ku lagi." by Fatur Hasan Bahri.