sebuah notifikasi pesan masuk dari reno "sayang, kamu tolong bayarin dulu apartment aku bulan ini ya!"
lalu pesan lainnya muncul "sekalian transfer juga buat aku, nanti aku mau main sama teman teman, aku lagi gak ada duit"
jangan dibawa serius plies 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dhyni0_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 4
Keira masih berbaring di tempat tidur, tubuhnya lemas dan pikirannya kosong. Ketika Reno keluar dari kamar mandi dengan mengenakan pakaiannya, ia mendekati Keira yang masih terbungkus selimut. Seolah tidak ada yang terjadi semalam, Reno memasang senyum seakan-akan semua baik-baik saja.
“Sayang,” ucapnya sambil merapikan rambutnya di depan cermin. “Aku pinjem uang kamu dulu buat bayar apartemen aku bulan ini ya? Nanti aku ganti,” lanjutnya tanpa sedikit pun ragu.
Keira hanya mengangguk pelan, tidak mampu berkata apa-apa. Bagaimana bisa ia menolak? Setiap kali ia menolak, Reno akan mengamuk, mencaci, dan yang lebih parah lagi, mengancam akan meninggalkannya. Ia merasa terperangkap dalam hubungan ini, di antara rasa sayang dan takut kehilangan, meski ia tahu di dalam hatinya, ini bukanlah cinta.
Melihat anggukan Keira, Reno tersenyum puas. Tapi, belum selesai dengan permintaannya, ia menambahkan, “Ehh, sekalian aku mau pinjem uang juga buat pergi sama teman-teman nanti sore.”
Keira memejamkan mata sejenak, mencoba menahan diri agar tidak menangis. Seberapa banyak lagi yang harus ia berikan? Setiap kali Reno memintanya, ia tahu uang itu tidak akan kembali. Reno selalu berjanji akan menggantinya, tapi pada kenyataannya, janji itu tidak pernah ditepati. Kali ini, Keira ingin sekali berkata ‘tidak’. Ia ingin menghentikan kebiasaan Reno yang seenaknya memanfaatkannya. Tapi bibirnya terasa kelu, tenggorokannya tercekat, dan hanya satu jawaban yang keluar dari mulutnya: “Iya.”
Reno tersenyum lebar, lalu membungkuk dan mencium kening Keira. “Makasih ya, sayangku. Kamu emang pacar terbaik.”
Keira menatap Reno yang tampak senang, lalu melihatnya berbalik dan melangkah keluar dari apartemen tanpa menoleh lagi. Setelah pintu tertutup, keheningan kembali menyelimuti ruangan. Suasana sunyi yang biasanya menenangkan, kini hanya membuat Keira merasa lebih terasing, lebih sendirian.
Dia masih terbaring di tempat tidur, memandangi langit-langit kamar. “Pacar terbaik?” pikirnya getir. Apa artinya menjadi pacar terbaik kalau setiap hari dirinya hanya diperlakukan seperti ini? Kalau dirinya hanya dianggap sebagai sumber uang dan pemuas keinginan? Perlahan-lahan, Keira merasa hatinya semakin kosong. Tidak ada cinta yang tersisa di antara mereka hanya ketergantungan dan rasa takut.
Keira mengulurkan tangan, meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja samping tempat tidur. Dengan jari-jari yang gemetar, ia membuka aplikasi bank dan mentransfer uang kepada reno.
Keira memutuskan untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan yang tak ada ujungnya. Ia mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya dan bangkit dari tempat tidur. Kepalanya masih terasa berat, tapi ia tahu, tenggelam dalam situasi ini hanya akan membuatnya semakin lemah. Dengan gerakan pelan, ia menarik selimut dari tubuhnya dan turun dari kasur.
Saat pandangannya mengarah ke cermin besar di sudut kamar, ia melihat bayangan dirinya yang tampak lelah dan kusut. Wajah yang pucat, mata yang sembap, dan bibir yang tertutup rapat semuanya mencerminkan betapa kosongnya dirinya saat ini. "Aku nggak boleh terus seperti ini," gumamnya pelan, berusaha menyemangati dirinya sendiri.
Keira segera menuju kamar mandi dan mencuci wajahnya yang terasa lengket. Air dingin yang menyentuh kulitnya sedikit membantu menyegarkan pikirannya. Ia menatap bayangan dirinya sekali lagi di cermin. “Kamu kuat, Keira. Kamu bisa melewati ini,” bisiknya dengan nada yang lebih tegas.
Setelah berjuang untuk menyingkirkan rasa sakit yang tersisa dari semalam, Keira bergegas mengenakan pakaian formal kerjanya. Sebuah blouse putih elegan dipadukan dengan blazer abu-abu yang rapi, serta celana panjang hitam yang menonjolkan kesan profesional. Ia menata rambutnya dengan cepat dan mengenakan sedikit make up untuk menutupi sisa-sisa kelelahan di wajahnya.
Ia memandangi dirinya di cermin untuk terakhir kalinya. Wajah yang terpampang di sana tampak berusaha keras untuk tersenyum. "Hari ini, aku harus fokus pada pekerjaan," pikirnya. Ini adalah satu-satunya cara untuk membuat dirinya tidak terlalu memikirkan Reno dan semua beban emosional yang ia rasakan.
Keira mengambil tas tangannya dan bergegas keluar dari apartemen. Ia menuruni tangga dengan langkah cepat dan memasuki mobilnya yang terparkir di basement. Setelah menyalakan mesin, ia melirik jam di dashboard sudah hampir jam 8 pagi. "Aku harus cepat," gumamnya sambil menginjak pedal gas, meluncur menuju kantornya di pusat kota.
Selama perjalanan, pikirannya melayang-layang. Ingatan tentang semalam terus menghantuinya. Tangan Reno yang kasar, suara makiannya, serta perasaannya yang terkurung dalam hubungan ini. Keira menggeleng pelan, berusaha mengusir bayangan itu. “Aku harus fokus bekerja. Aku harus tetap kuat,” ulangnya dalam hati.
Sesampainya di kantor, Keira memarkir mobilnya dan berjalan cepat menuju lobi. Gedung perusahaannya yang megah berdiri menjulang, memancarkan aura profesionalisme dan kesuksesan. Namun, di balik penampilan luar yang sempurna, hati Keira justru terasa rapuh dan kacau. Begitu memasuki ruangan, para karyawan menyapanya dengan penuh hormat. “Selamat pagi, Bu Keira,” ujar beberapa rekan kerjanya.
Keira hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Ia berusaha sebisa mungkin menyembunyikan kekacauan emosional di balik senyumnya yang datar. “Pagi. Tolong kumpulkan semua laporan bulan ini di meja saya sebelum jam 10, ya,” pintanya sambil melangkah cepat menuju ruangannya yang luas di lantai atas.
Begitu sampai di ruangan, ia menutup pintu dan menghela napas panjang. Pemandangan kota dari balik jendela besar di belakang mejanya biasanya membuatnya merasa damai, tetapi hari ini semua tampak abu-abu. Hanya keheningan dan rasa sesak yang menghantui pikirannya.
Ia menyalakan laptopnya dan mulai membaca email yang menumpuk sejak semalam. Ada puluhan pesan yang menunggu untuk dibalas, laporan yang harus dianalisis, dan presentasi yang harus disiapkan untuk rapat besar nanti siang. Biasanya, Keira akan menganggap ini sebagai tantangan yang menarik, tetapi hari ini, semuanya terasa berat.
Layar laptop menampilkan dokumen-dokumen penting, tapi pandangannya terasa kabur. Keira menyandarkan tubuhnya ke kursi, memejamkan mata sejenak. Ia mencoba fokus, namun bayangan Reno terus menghantuinya. Kata-kata kasarnya, cara dia memperlakukannya, semua itu bermain ulang di pikirannya tanpa henti.
"Fokus, Keira. Fokus," bisiknya pelan sambil memijat pelipisnya yang mulai berdenyut. Ia harus mengalihkan pikirannya hanya itu satu-satunya cara agar ia tidak tenggelam lebih dalam.
Keira mengambil napas dalam-dalam, lalu mulai mengetik dengan cepat. Jari-jarinya bergerak lincah di atas keyboard, meskipun hatinya masih terasa berat. Ia tahu bahwa pekerjaan adalah satu-satunya tempat di mana ia bisa merasa berdaya, merasa memiliki kendali atas hidupnya. Setidaknya, di dunia bisnis, tidak ada yang bisa memaksa atau menyakitinya.
Ponselnya bergetar di atas meja. Keira melirik layarnya dan melihat nama Reno muncul. Tenggorokannya langsung tercekat. Ia menatap ponsel itu dengan ragu, lalu akhirnya memutuskan untuk tidak menjawab. “Aku nggak bisa sekarang,” gumamnya.
Beberapa detik kemudian, pesan dari Reno muncul.
“Sayang, maafin aku ya soal semalam. Aku cuma lagi stress, makanya aku jadi kayak gitu. Aku janji nggak bakal kayak gitu lagi,” tulis Reno.
Keira menatap pesan itu dengan perasaan campur aduk. Ini bukan pertama kalinya Reno meminta maaf. Dan setiap kali ia meminta maaf, Keira selalu memaafkannya, berharap kali ini Reno akan berubah. Tapi nyatanya, Reno tidak pernah benar-benar berubah. Siklus yang sama terus berulang: kemarahan, kekerasan, permintaan maaf, dan janji-janji kosong.
Tanpa sadar, air mata menggenang di sudut matanya. “Kenapa aku selalu percaya?” bisiknya lemah. Ia ingin berhenti mempercayai, berhenti memberi kesempatan. Tapi setiap kali ia berusaha untuk meninggalkan Reno, rasa takut itu kembali menghantuinya takut akan apa yang akan dilakukan Reno jika ia mencoba pergi.
“Keira, kamu di sana?” Pesan lain muncul.
Keira menutup ponselnya dengan cepat, meletakkannya di laci meja, dan menguncinya.
"Tidak sekarang, Reno. Aku harus bekerja,"
gumamnya tegas, mencoba menenangkan dirinya. Lalu, ia kembali fokus pada layar laptopnya, memaksa dirinya untuk menenggelamkan diri dalam pekerjaannya, berharap rasa sakit itu akan menghilang, setidaknya untuk sementara waktu.
hampir mirip dengan hidupku
Semangat terus Authot
Jangan lupa mampit ya 💜