Namaku Delisa, tapi orang-orang menyebutku dengan sebutan pelakor hanya karena aku berpacaran dengan seseorang yang aku sama sekali tidak tahu bahwa orang itu telah mempunyai pacar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vina Melani Sekar Asih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Azka sudah mulai merasa kehabisan akal untuk memperbaiki hubungannya dengan Delisa. Semua upaya yang ia lakukan tampak sia-sia, sementara Delisa terus menjaga jarak, lebih mempercayai cerita-cerita yang disebarkan Putri. Azka tahu bahwa dia membutuhkan bantuan, dan satu-satunya orang yang mungkin bisa membantu adalah Caca, sahabat Delisa yang selalu ada di sisinya.
Sore itu, Azka menunggu Caca di taman belakang sekolah. Ia mengirim pesan singkat kepada Caca, berharap sahabat Delisa itu bersedia meluangkan waktu. Tak lama kemudian, Caca datang dengan ekspresi bingung. "Ada apa, Ka? Tumben banget manggil aku ke sini."
Azka tersenyum kecil, mencoba menutupi rasa canggungnya. "Maaf ya, Ca. Aku nggak tahu harus ke siapa lagi selain kamu."
Caca menatap Azka penuh tanya. "Kamu butuh apa? Kalau soal Delisa, aku nggak bisa menjamin bisa bantu kamu."
Azka mengangguk, sadar betul bahwa ini bukan perkara mudah. "Aku tahu, Ca. Tapi aku nggak tahu lagi harus gimana. Delisa terus menjauh, dan dia lebih percaya pada rumor-rumor yang Putri sebarkan daripada aku."
Caca menghela napas, lalu duduk di bangku taman. "Delisa itu keras kepala, Ka. Apalagi kalau dia sudah merasa terluka. Dia nggak akan mudah percaya lagi."
Azka duduk di sampingnya, suaranya penuh dengan harapan. "Aku nggak minta banyak, Ca. Aku cuma mau dia tahu kalau aku tulus mencintainya. Bisa nggak kamu bantu aku, paling nggak buat kasih dia kesempatan untuk mendengarkan penjelasanku sekali lagi?"
Caca terdiam sejenak, memandang Azka dengan tatapan penuh pertimbangan. Meskipun ia mengerti bahwa Azka tulus, ia juga paham bahwa Delisa sudah terlanjur terluka dalam. "Azka, aku ngerti perasaan kamu. Tapi kamu juga harus ngerti kalau Delisa merasa dia sudah terlalu banyak dikorbankan. Mungkin dia butuh waktu, dan... aku nggak yakin bisa bantu kamu mendekatinya sekarang."
Azka tampak kecewa, namun ia mencoba tetap tenang. "Aku tahu, Ca. Aku nggak akan maksa. Tapi aku mohon, kalau ada kesempatan, bisa nggak kamu kasih aku satu waktu lagi untuk bicara sama Delisa?"
Caca menatap Azka dengan tatapan simpati. Ia tahu betul bahwa Azka adalah orang baik yang mencintai Delisa dengan tulus. Setelah berpikir beberapa saat, Caca akhirnya mengangguk. "Baiklah, Ka. Aku akan coba cari waktu yang tepat untuk ngomong sama Delisa. Tapi aku nggak janji, ya."
Azka tersenyum lega, meskipun ia tahu ini hanya langkah kecil. "Makasih banyak, Ca. Aku nggak tahu harus bilang apa lagi. Aku benar-benar berharap bisa memperbaiki semuanya."
...****************...
Beberapa hari kemudian, Caca mencari kesempatan untuk berbicara dengan Delisa. Hari itu mereka duduk di kantin, menikmati waktu istirahat dengan obrolan ringan. Namun, Caca yang sudah punya niat untuk menyampaikan pesan dari Azka mulai berpikir cara terbaik untuk memulai pembicaraan.
“Del, kamu masih sering mikirin Azka nggak?” tanya Caca dengan nada santai, seolah tidak ada maksud apa pun.
Delisa menatapnya heran, lalu menghela napas. "Kadang masih, Ca. Tapi aku sudah mencoba untuk nggak terlalu peduli lagi. Lagian, omongan orang-orang sudah terlalu bikin aku capek."
Caca mengangguk pelan, mencoba memahami perasaan sahabatnya. "Aku ngerti kok, Del. Kamu pasti ngerasa berat banget. Tapi... pernah nggak kamu berpikir buat kasih Azka kesempatan untuk bicara sekali lagi?"
Delisa tampak terkejut mendengar pertanyaan itu, tatapannya seolah tak percaya. "Ca, bukannya aku nggak mau kasih dia kesempatan. Tapi masalahnya, aku udah terlalu sakit karena semua omongan orang-orang dan cerita dari Putri."
Caca menggenggam tangan Delisa, mencoba membuat sahabatnya melihat dari sudut pandang yang berbeda. "Aku ngerti, Del. Tapi kamu juga tahu kan, Azka itu bukan orang jahat. Aku yakin, dia cuma ingin kamu tahu kalau dia beneran tulus sama kamu."
Delisa terdiam, kebingungan antara ingin percaya dan rasa kecewa yang masih membekas. "Aku tahu, Ca, Azka bukan orang jahat. Tapi aku nggak yakin kalau aku masih bisa percaya lagi. Rasanya semua terlalu sulit."
Caca tersenyum kecil, mencoba memberikan sedikit dorongan. "Aku ngerti kok, Del. Nggak ada yang maksa kamu buat langsung percaya lagi. Tapi gimana kalau kamu kasih dia kesempatan buat ngomong sekali aja? Kalau setelah itu kamu masih ngerasa nggak nyaman, aku janji nggak akan bawa-bawa soal Azka lagi."
Delisa terdiam cukup lama, berpikir keras. Ia tahu bahwa Azka mungkin memang tulus, namun ia takut jika harapan itu akan kembali menghancurkannya. Setelah berpikir, ia akhirnya mengangguk kecil. "Baiklah, Ca. Aku akan dengarkan dia. Tapi cuma sekali ini saja."
Caca tersenyum lega, merasa sedikit berhasil membantu Azka. "Oke, Del. Kalau begitu, nanti aku akan coba atur supaya kalian bisa bicara dengan tenang."
...****************...
Keesokan harinya, Caca mengatur pertemuan antara Delisa dan Azka di taman sekolah setelah pulang. Ia memastikan bahwa tidak ada banyak orang di sekitar sana agar Delisa merasa nyaman dan bisa mendengarkan dengan lebih tenang. Azka yang sudah menunggu terlihat sedikit gugup, namun begitu melihat Delisa datang bersama Caca, ia berusaha menyembunyikan rasa canggungnya.
Delisa duduk di bangku taman, sementara Azka duduk di depannya. Caca memberikan mereka ruang, lalu pergi agar keduanya bisa berbicara dengan lebih leluasa.
Delisa membuka percakapan lebih dulu. "Azka, aku di sini hanya karena Caca yang minta. Jadi tolong langsung ke intinya saja."
Azka mengangguk, menyadari bahwa Delisa masih menjaga jarak. "Delisa, aku cuma ingin kamu tahu kalau aku benar-benar minta maaf atas semuanya. Aku sadar, aku mungkin sudah membuat kamu kecewa. Tapi aku nggak pernah berniat untuk menyakiti kamu."
Delisa menatap Azka dengan tatapan penuh keraguan. "Azka, masalahnya bukan hanya tentang niat. Semua cerita yang Putri sebarkan, semua rumor yang aku dengar, itu membuat aku merasa nggak berharga. Setiap hari aku merasa dihantui oleh bayangan masa lalu kamu."
Azka menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Del, aku tahu ini semua berat buat kamu. Aku juga nggak bisa mengubah masa lalu. Tapi satu hal yang bisa aku yakinkan, aku nggak punya perasaan apa pun sama Putri. Semua itu sudah lama selesai, bahkan sebelum aku mengenal kamu."
Delisa terdiam, masih sulit untuk sepenuhnya percaya. "Azka, aku ingin percaya padamu. Tapi setiap kali aku mencoba, ada saja hal yang membuat aku merasa ragu. Putri terus ada di sekitar kamu, dan aku nggak tahu sampai kapan aku bisa bertahan menghadapi semua ini."
Azka mencoba menahan emosinya yang campur aduk. "Del, aku akan melakukan apa pun supaya kamu percaya lagi sama aku. Kalau perlu, aku akan bicara lagi dengan Putri dan memastikan dia tidak mendekatiku lagi. Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu."
Delisa menatap Azka dalam-dalam, mencoba mencari kebenaran dalam matanya. Bagian dari dirinya ingin mempercayai bahwa Azka memang tulus, namun bayangan Putri masih menghantui pikirannya.
“Azka, aku nggak minta kamu buat berjanji apa pun. Aku hanya ingin waktu. Kalau memang perasaanmu tulus, aku ingin kamu membuktikan itu dengan tindakan, bukan kata-kata.”
Azka mengangguk penuh kesungguhan. “Aku paham, Del. Aku akan menunjukkan kepadamu bahwa aku serius. Aku tidak akan mendekati Putri lagi, dan aku akan berusaha menjaga jarak dari orang-orang yang hanya membuat kamu merasa tidak nyaman.”
Delisa hanya mengangguk kecil, meski masih ragu. “Aku hargai usahamu, Azka. Tapi aku juga butuh waktu untuk memulihkan diri dari semua luka ini.”
Azka mengerti dan tidak ingin memaksa lebih dari itu. Ia tahu bahwa kepercayaan Delisa perlu dipulihkan perlahan-lahan. “Terima kasih, Del. Aku akan sabar menunggu sampai kamu siap.”
Mereka berdua terdiam sejenak, membiarkan suasana mengalir dalam keheningan. Meskipun banyak kata yang belum terucap, ada pemahaman yang perlahan terbentuk di antara mereka.
Di kejauhan, Caca yang mengamati dari sudut taman tersenyum kecil, merasa lega melihat perbincangan tersebut. Meskipun perjalanan mereka mungkin masih panjang, Caca tahu bahwa ini adalah langkah awal yang baik.