“Kamu harus bertanggungjawab atas semua kelakuan kamu yang telah menghilangkan nyawa istriku. Kita akan menikah, tapi bukan menjadi suami istri yang sesungguhnya! Aku akan menikahimu sekedar menjadi ibu sambung Ezra, hanya itu saja! Dan jangan berharap aku mencintai kamu atau menganggap kamu sebagai istriku sepenuhnya!” sentak Fathi, tatapannya menghunus tajam hingga mampu merasuki relung hati Jihan.
Jihan sama sekali tidak menginginkan pernikahan yang seperti ini, impiannya menikah karena saling mencintai dan mengasihi, dan saling ingin memiliki serta memiliki mimpi yang sama untuk membangun mahligai rumah tangga yang SAMAWA.
“Om sangat jahat! Selalu saja tidak menerima takdir atas kematian Kak Embun, dan hanya karena saat itu Kak Embun ingin menjemputku lalu aku yang disalahkan! Aku juga kehilangan Kak Embun sebagai Kakak, bukan Om saja yang kehilangan Kak Embun seorang!” jawab Jihan dengan rasa yang amat menyesakkan di hatinya, ingin rasanya menangis tapi air matanya sudah habis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memarahi Jihan
Mendengar Jihan pergi dari rumah tanpa berpamitan padanya membuat Fathi meradang. Ezra dia berikan pada Ita untuk menenanginya, lalu pria itu bergerak keluar dan masuk ke kamarnya untuk mengambil ponsel miliknya yang ada di atas nakas. Kemudian dia bergegas menghubungi istrinya tersebut.
Nada panggilan teleponnya terdengar di telinga Fathi, tapi sayang panggilan darinya tidak diangkat oleh sang pemilik nomor telepon.
“Ke mana bocah manja itu!” geram Fathi, setelah berulang kali menghubungi nomornya Jihan. Sampai lebaran monyet tuh telepon gak bakal diterima sama Jihan, mau bagaimana dijawab wong ponselnya Jihan ada di kamarnya dan tidak dibawa pergi olehnya.
Raut wajah Fathi semakin garang dan semakin jadi emosinya, ditambah lagi tangisan Ezra masih saja belum reda bikin dia sakit kepala, lantas dia keluar dari kamar dan turun ke bawah menuju pintu utama. Dengan kasarnya tangan Fathi membuka pintu rumahnya, lalu mengedarkan pandangannya keluar rumah.
“Awas saja kalau nanti pulang ke rumah!” geram Fathi.
Sementara gadis yang sedang dinanti kepulangannya sudah menyelesaikan makan malamnya, tapi sebelum dia kembali ke rumah milik suaminya melihat ada toko indoapril lantas dia mampir untuk berbelanja makanan buat dirinya sendiri, mulai dari roti sobek, mie, makanan kaleng, minuman agar dirinya tidak kelaparan di rumah suaminya. Miris ya, pembantu saja dibebaskan untuk makan apa pun di rumah majikannya, sementara dirinya yang sudah dinikahkan secara agama dan negara justru harus mencari makannya sendiri.
Mungkin kalau Jihan tipe wanita lemah lembut pasti sudah menangis di kamarnya meratapi hidupnya yang dikasari oleh suaminya sendiri, untung Jihan tidak seperti itu. Gadis itu pun menghela napas panjang saat melihat isi dompetnya yang masih dipenuhi oleh beberapa lembaran uang merah, uang hasil kerja partimenya selama ini di restoran makanan siap saji, hari ini sangat membantu dirinya tidak kelaparan.
“Sabar ya, hari ini uangnya dipake dulu. Besok kita akan kembali bekerja keras cari duit yang banyak ya,” gumam Jihan sendiri, lalu tersenyum saat menerima belanjaan yang sudah dia bayar. Kakinya pun bergerak dengan langkah yang santai menuju rumah Fathi sembari menikmati es krim yang dia beli.
Ada sekitar 30 menit Jihan baru kembali ke rumah mewah milik Fathi, tanpa merasa hati yang berdebar-debar, Jihan membuka pagar hingga menimbulkan suara rusuh, dan Sarah tersebut terdengar oleh Fathi yang sedang duduk menunggu di ruang tamu.
“Ck ... ini pager rusuh amat sih, gak bisa tenang apa ya, cewek cantik mau masuk dulu nih ke dalam, mohon kerja samanya,” gumam Jihan ajak ngobrol sama pagar tinggi tersebut, tangannya bergerak mencari handle pagarnya. Setelah tergapai barulah dia bisa membuka pagar tersebut, lalu dia bergerak masuk ke dalam halaman rumah Fathi tanpa melihat sosok yang menjulang tinggi sedang menatap tajam ke arah dirinya.
“Masih ingat pulang! Kenapa gak tidur saja sekalian di luar sana!” sentak Fathi, sontak saja Jihan berjingkat sembari memutar balik badannya.
“Eh pocong lo!” balas Jihan kaget melihat Fathi berdiri tidak jauh dari teras, tangannya buru-buru mengusap dadanya yang sempat kelojotan.
“Oh ... gak boleh balik ke sini, bilang dong,” jawab Jihan, lantas gadis itu berbalik ke arah pagar dan tangannya terulur akan membuka pagar yang tingginya melebihi tubuhnya.
“JIHAN!” seru Fathi, ingin meledak sekali emosinya. Dia menegur, tapi Jihan menanggapinya dengan hal yang berbeda.
Gadis itu pun tergidik mendengar teriakan yang memanggil namanya, sampai-sampai dia mengusap telinganya sembari memutar balik badannya.
“Ada apa lagi Om? Tadi katanya suruh tidur di luar ... ya udah sekarang Jihan akan keluar dari rumah ini, akan tidur di luar, jadi gak usah pakai teriak-teriak segala, malu sama tetangga yang sudah pada tidur,” ucap Jihan dengan santainya, kemudian kembali memutar balik badannya, namun ...
“AKH!” jerit Jihan, salah satu tangan Jihan yang tidak membawa kantong belanjaan dicekal oleh Fathi, lalu pria itu menarik tangannya dengan kasar menuju ke dalam rumah. Langkah Fathi begitu lebar hingga tubuh Jihan yang mengikutinya agak terhuyung-huyung.
“Benar-benar bocah bodoh!” hardik Fathi sesampainya mereka di dalam rumah. Di sanalah Jihan mendengar suara tangisan Ezra.
“Ya Jihan memang bodoh. Menyesalkan menikahi Jihan? Ada baiknya kita batalkan saja pernikahan yang belum ada sehari ini!” jawab Jihan sembari menghentakkan tangan Fathi yang masih mencekal tangannya.
Pria itu berkacak pinggang, menghunuskan tatapannya begitu tajam seolah-olah akan menelan Jihan hidup-hidup, sementara yang dipandang terlihat santai saja, sungguh melihat ekspresi Jihan bikin darah Fathi naik ke ubun-ubun.
“Selama kamu tinggal di sini jangan seenaknya saja pergi begitu saja! Di sini bukan kost-kostsan yang mudah untuk pergi dan pulang. Di sini ada etika untuk pergi, dan kamu pergi begitu saja tanpa berpamitan, di telepon juga tidak diangkat! Dan kamu dengar'kan di atas Ezra menangis tak bisa berhenti!” cecar Fathi sembari tangannya menunjuk-nunjuk ke arah mukanya berulang kali.
“Pergi ke mana kamu barusan?!”
Jihan menarik napasnya dalam-dalam sebelum menjawab, dan jangan sampai tersulut emosi, kemudian dia tersenyum tipis. “Sudah marahnya? Sudah ngebentaknya Jihan?”
Nafas Fathi yang sudah naik turun, terlihat pria itu mulai mencoba cooling down, entah kenapa dia bisa se-emosi dengan mantan adik iparnya tersebut, diraupnya wajahnya dengan kasar lalu kembali menatap Jihan.
“Jihan lapar dan butuh makan, karena itulah Jihan berpamitan sama Bik Murni untuk keluar sebentar. Kalau Jihan tidak makan lalu sakit, apa Om Dokter akan peduli dan mau merawat Jihan, pasti tidakkan! Dan masalah Ezra menangis seharusnya Om Dokter sebagai papa-nya bisa mengatasinya, dan tidak selalu mengandalkan Jihan. Lalu kenapa jadi Jihan yang menjadi tertuduh jika Ezra menangis di sini! Jihan keluar karena ingin makan, bukan kelayapan begitu saja! Masalah telepon, ponsel Jihan ada di kamar!" pungkas Jihan penuh penekanan.
Fathi bergeming, rasanya agak tercubit mendengar Jihan keluar karena ingin makan.
“Om Dokter boleh membenci Jihan, tapi tolong perlakukanlah Jihan seperti Bik Murni dan Mbak Ita yang punya hak untuk mengisi perutnya walau Jihan harus beli sendiri makanannya gak masalah, kecuali Om Dokter berniat menginginkan Jihan mati secara perlahan-lahan!” lanjut kata Jihan dengan tatapan menantangnya.
Di antara mereka berdua hening sesaat ...
“Katakan pada Jihan, apa Om Dokter saking benci dengan Jihan ingin melihat Jihan meninggal juga? Agar rasa sakit Om Dokter ditinggal Kak Embun terobati,” tanya Jihan.
Fathi masih bergeming dan hanya menatap Jihan dengan tatapan yang tidak bisa Jihan artikan.
Jihan menghela nafas panjangnya kembali, melihat suaminya masih terdiam. “Baiklah sepertinya Om Dokter memang ingin melihat Jihan mati malam ini juga,” ucap Jihan tenang, dia pun bergerak tapi sebelumnya menaruh tas belanjaannya di sembarang tempat, kemudian dia bergegas menuju dapur yang ada di belakang.
Netra Fathi mengikuti pergerakan gadis itu, langkah kakinya pelan-pelan ikut bergerak bukan hanya netranya saja. Sesampainya di dapur, Jihan langsung mencari sesuatu di dalam rak piring, pojokan dapur dan akhirnya dia menemukan benda tersebut.
“STOP JIHAN!” teriak Fathi.
Jihan mengulas senyum di wajah cantiknya, dan mulai mengarahkan benda tajam itu ke pergelangan tangannya.
Bersambung ... ✍🏻
"Semua orang pasti ingin pernikahan yang selalu harmonis dan saling mencintai, tapi sepertinya aku tidak beruntung." Jihan Aisha