Ketika Regita pindah ke rumah baru, ia tak pernah menyangka akan tertarik pada Aksa, kakak tirinya yang penuh pesona dan memikat dalam caranya sendiri. Namun, Aksa tak hanya sekadar sosok pelindung—dia punya niat tersembunyi yang membuat Regita bertanya-tanya. Di tengah permainan rasa dan batas yang kian kabur, hadir Kevien, teman sekelas yang lembut dan perhatian, menawarkan pelarian dari gejolak hatinya.
Dengan godaan yang tak bisa dihindari dan perasaan yang tak terduga, Regita terjebak dalam pilihan sulit. Ikuti kisah penuh ketegangan ini—saat batas-batas dilewati dan hati dipertaruhkan, mana yang akan ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harapan
Antonio sudah cukup tenang, begitu pula dengan Ratih, istrinya.
Setelah mengeluarkan semua uneg-uneg yang selama ini ia pendam, Ratih akhirnya merasa lega. Dengan nada tenang, ia berkata, "Hanya sampai Regita berumur 20, Mas. Kami akan pergi dari sini."
Antonio terkejut mendengar pernyataan itu. Meskipun istrinya telah berselingkuh, dia tidak ingin kehilangan Ratih. "Kita juga bisa bercerai setelahnya," sambung Ratih.
Antonio menolak dengan tegas, "Aku tidak ingin bercerai darimu."
Ratih menatapnya penuh kesedihan dan menjawab, "Apa yang bisa kita pertahankan, Mas? Kita sudah hancur, rumah tangga kita tidak bisa diselamatkan."
Antonio merasa tersudut, lalu dengan suara penuh harap, ia berkata, "Tapi kita punya Aksa, Rat. Dia juga anak kamu, darah daging kamu yang kamu kandung selama sembilan bulan."
Ratih menggelengkan kepala dengan lembut, "Aksa tidak bisa menjadi alasan untuk kita terus bersama, Mas. Aku tetap akan menjadi ibu yang baik untuknya, tapi aku juga perlu menemukan kebahagiaanku sendiri. Kita berdua tahu, hubungan ini sudah tidak sehat lagi."
Antonio terdiam, menyadari kebenaran di balik kata-kata Ratih, meskipun hatinya terasa perih. Rumah tangga mereka memang lama terasa kosong, dipenuhi kekecewaan dan sakit hati. Namun, membayangkan hidup tanpa Ratih dan Aksa terasa seperti mimpi buruk yang tak ingin dia hadapi. "Kebahagiaan kita tidak harus berakhir begini, Rat. Mungkin kita bisa mencoba lagi... buat Aksa, buat kita. Aku masih mencintaimu," ucapnya dengan harapan terakhir.
Ratih menatapnya, matanya berkaca-kaca. "Mas, terkadang cinta saja tidak cukup. Kita berdua sudah lelah. Aku sudah lelah. Mungkin dengan berpisah, kita bisa sama-sama menemukan kedamaian," balasnya lirih.
Antonio tetap bersikeras tidak ingin berpisah. Meskipun hatinya diliputi rasa sakit, ia tidak bisa membiarkan Ratih pergi begitu saja. "Kita tidak perlu begini, Rat. Aku tahu kita punya banyak masalah, tapi aku siap berubah. Kita bisa mulai dari awal, perlahan. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa kamu dan Aksa. Kita masih bisa memperbaikinya," ujarnya, dengan nada memohon.
Ratih menatapnya ragu, tampak jelas bahwa hati kecilnya masih bimbang. "Mas, aku sudah terlalu lelah. Semua ini begitu berat," katanya, suaranya melemah, seolah ingin menyerah.
Namun, Antonio terus membujuk, kali ini dengan lebih lembut. "Kita bisa melewati ini, Rat. Aku tahu aku sudah membuat banyak kesalahan, tapi aku bersedia memperbaiki semuanya. Kita bisa pergi berdua, tanpa tekanan, tanpa beban dari masa lalu. Untuk Aksa, untuk kita... Aku yakin kita masih bisa membangun ulang segalanya."
Ratih menghela napas panjang, pikirannya berkecamuk. Ia tahu cinta di antara mereka belum sepenuhnya mati, meskipun telah dilukai berkali-kali. Setelah beberapa saat hening, ia pun akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah, Mas. Kita coba lagi... dari awal. Tapi aku butuh waktu, dan kita harus benar-benar berubah."
Mendengar itu, Antonio merasa lega. Ia berjanji dalam hati bahwa kali ini, ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Mereka akan memulai lagi, dari awal, meski jalan ke depannya mungkin masih penuh tantangan.
Meskipun Ratih akhirnya luluh dengan bujukan Antonio, hatinya masih diliputi kebingungan lainnya. Setelah hening beberapa saat, ia pun berkata dengan suara bergetar, "Mas, aku akan mencoba lagi, tapi ada sesuatu yang harus kamu tahu. Ini bukan hanya tentang kelelahan atau masalah kita. Aku... aku masih mencintai ayah Regita. Meski dia sudah tiada, aku tidak bisa begitu saja melupakan cintaku padanya."
Duarrr!!!
Perkataan itu menghantam Antonio. Ia sudah tahu hubungan Ratih dengan pria lain sebelum pria itu meninggal, tapi mendengar langsung bahwa perasaan itu masih ada membuat dadanya sesak.
"Aku tahu kamu pernah mencintainya, Rat," kata Antonio pelan, berusaha menahan perasaannya. "Tapi dia sudah pergi. Aku masih di sini, bersamamu, dan aku ingin kita mencoba lagi. Bukan untuk menghapus masa lalu, tapi untuk menciptakan masa depan bersama."
Ratih menunduk, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku mencoba, Mas. Aku benar-benar berusaha melupakannya, tapi cintaku padanya terlalu dalam. Dia ayah dari Regita, dan setiap kali aku melihat Regita, aku teringat padanya. Aku tidak bisa begitu saja mengubur perasaan itu." Suaranya gemetar, penuh beban emosional.
Antonio mendekat dan menggenggam tangan Ratih. "Aku mengerti, Rat. Aku tidak akan meminta kamu untuk melupakan dia. Cinta memang rumit, dan aku tahu kamu masih merasakannya untuknya. Tapi aku juga percaya kita bisa mencintai lagi, bahkan setelah mengalami kehilangan. Aku tidak ingin menyerah pada kita, pada keluarga kita."
Ratih memandang Antonio, melihat ketulusan di matanya. "Aku takut, Mas. Takut kalau aku mencoba lagi, tapi perasaan ini akan selalu ada di antara kita."
"Tidak apa-apa kalau kamu belum bisa melupakannya, Rat. Yang penting, kita bisa mencoba menciptakan sesuatu yang baru, meski itu sulit. Aku mencintaimu, dan aku akan berusaha membuat kamu bahagia lagi," kata Antonio dengan nada penuh harapan.
Ratih menarik napas panjang, menyadari bahwa perasaannya terhadap ayah Regita tidak akan pernah hilang sepenuhnya. Namun, di sisi lain, Antonio juga telah berdiri di sampingnya selama ini, mencoba mempertahankan rumah tangga mereka. Dengan ragu, ia mengangguk. "Baik, Mas. Aku akan mencoba. Tapi kamu harus tahu, ini tidak akan mudah."
Antonio tersenyum kecil, merasa ada sedikit harapan di tengah kebingungan itu. "Aku tahu, Rat. Tapi aku siap."