DASAR, SUAMI DAN ISTRI SAMA-SAMA PEMBAWA SIAL!
Hinaan yang tak pernah henti disematkan pada Alana dan sang suami.
Entah masa lalu seperti apa yang terjadi pada keluarga sang suami, sampai-sampai mereka tega mengatai Alana dan Rama merupakan manusia pembawa sial.
Perselisihan yang kerap terjadi, akhirnya membuat Alana dan sang suami terpaksa angkat kaki dari rumah mertua.
Alana bertekad, akan mematahkan semua hinaan-hinaan yang mereka tuduhkan.
Dapatkah Alana membuktikan dan menunjukkan keberhasilannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon V E X A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAM31
POV Raga
Yang dinamakan roda kehidupan itu berputar adalah nyata. Anak yang disia-siakan ibu, pendidikannya pun paling rendah di antara kami, malah sekarang sesukses ini. Malah bisa menolongku untuk pulang ke kampung halaman. Meski sebenarnya yang berhasil adalah usaha istrinya, tapi, kan namanya rezeki rumah tangga, ada andil pasangannya. Makanya ada istilah beda pasangan beda rejeki.
Tadinya, aku juga tidak semenderita ini. Malah cukup sukses. Tapi namanya nasib, roda berputar tadi, ya beginilah sekarang.
Bapak dan ibu tidak bisa dibilang orang yang kaya raya, meski kami juga tidak miskin.
Peninggalan kakek nenek dari bapak dan ibu kebanyakan berupa tanah kebun. Tidak luas banget, tapi, hasilnya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan pendidikan kami. Sewaktu muda bapak juga kerja proyek, jadi ada penghasilan tambahan selain dari kebun.
Bagusnya didikan bapak dan ibu adalah hidup sederhana dan rajin. Tidak ada satupun dari kami yang suka foya-foya bergaya mewah meski mungkin uang cukup.
Ibuku sendiri tidak suka bergaul dengan ibu-ibu arisan atau terlibat dalam acara sosial lainnya. Ibu memang pendiam. Introvert kalau bahasa ilmiahnya. Namun, kalau sayang sama seseorang, dia akan sayang kebangetan. Begitu juga kalau benci. Bencinya kebangetan. Ini yang menyebabkan ibu susah menerima Rama. Entah hasutan siapa sampai harus menyalahkan bayi tak berdosa atas kematian kakekku.
Bapak lebih ramah dibanding ibu. Kalau bapak sedang di rumah, ada saja tetangga yang mampir dan mengobrol di teras. Sepertinya kami bertiga mencontoh ketekunan dan kerajinan bapak dalam bekerja.
Raya yang suaminya sudah mapan dan anak orang kaya saja masih terus bekerja sebagai guru. Bahkan kudengar sudah diangkat jadi PNS. Rama yang pendidikannya paling rendah, tidak pantang menyerah meski kerja sebagai buruh di pabrik. Rasanya malu sendiri jika aku berpangku tangan.
Sejak lulus kuliah, aku kerja di perusahaan pengolahan sawit. Gaji besar, dan saat itu belum menikah pula, membuat tabunganku cukup banyak. Itu juga aku bisa memberikan sebagian untuk ibu dan bapakku.
Tabunganku pertama kali terpakai untuk resepsi pernikahanku. Utami temanku dari sekolah dan juga tetangga, rumah orang tuanya hanya beda RT.
Orang tuanya meminta diadakan resepsi saat pernikahan kami. Dengan alasan, dia anak perempuan pertama di keluarganya. Dia punya 1 kakak lelaki, dan 3 orang adik, 2 perempuan dan 1 laki-laki yang bungsu. Bapak dan ibu tidak keberatan. Kebetulan juga dananya tersedia. Sebagian dari tabunganku, sebagian diberi oleh bapak dan ibu.
Pernikahanku dengan Utami kuharap akan menjadi pernikahan yang indah dan bahagia, karena ku pikir aku menikahi wanita yang kucintai dan kukenal baik.
Ternyata dalam pernikahan tak cukup hanya kenal dan cinta. Faktor keluarganya sama sekali tidak ku perhitungkan. Banyak sekali pengeluaran dadakan kami yang dikarenakan keluarganya.
Awalnya Utami sungkan, lama-lama dia juga ikutan membenarkan kelakuan keluarganya.
Aku ingat pertengkaran pertama kami di tanah rantau. Saat itu Utami sedang hamil tua anak pertama kami. Kami sedang mengumpulkan uang untuk perlengkapan bayi, tiba-tiba Utami memberikan uang itu ke keluarganya tanpa izin dulu.
Saat kutanya untuk apa, dia bilang adiknya butuh tambahan dana untuk beli motor. Biaya persalinan memang ditanggung perusahaan, tapi, aku ingin mempersiapkan perlengkapan dan dana pendidikan anakku sejak dini. Marah lah aku karena dia tidak meminta izin dulu.
Sejak saat itu banyak sekali transferan ke kampung untuk saudaranya maupun orang tuanya. Jadilah ku bukakan rekening terpisah untuknya. Biar kupegang sendiri tabunganku. Jumlah yang kutransfer ke rekeningnya adalah sesuai kesepakatan kami, termasuk sudah memperhitungkan kebutuhan keluarganya.
Sampai akhirnya, musibah itu terjadi. 3 tahun lalu aku kecelakaan saat akan ke kebun, sehingga dihitung sebagai kecelakaan kerja. Tangan dan kaki kanan jadi korban akibat tergencet di dalam mobil. Memang kami tidak mengeluarkan uang sedikitpun untuk penyembuhan dan pemulihanku. Butuh waktu hampir 1 tahun terapi. Namun, karena setelah pulih tangan dan kakiku tidak bisa kembali normal, aku dipindah bagian. Perusahaan tidak memPHK-ku, tapi menawarkan aku mutasi ke bagian administrasi dengan gaji yang menyesuaikan. Selisih gajinya lumayan dibanding dengan gaji lama.
Kupikir, Utami dan keluarganya akan mengerti kondisi ini. Ternyata tidak. Lebih parahnya lagi Utami seolah-olah mau dianggap tetap punya uang sampai mau mengorbankan kesejahteraan anak-anak kami. Kalau keluarganya minta, dia tetap berusaha memenuhinya. Padahal, sudah kuminta dia untuk memberitahu keluarganya soal keadaan kami sekarang.
Aku ingat pertengakaran kami yang terakhir 6 bulan lalu, saat entengnya keluarganya meminta uang untuk pernikahan adik iparku yang ke 2.
"Kalau kamu mau bantu, silahkan usahakan sendiri uangnya. Aku tidak mau bantu bayar hutangmu nanti. Dan saat itu terjadi, siap-siap sekalian ku pulangkan kamu ke orang tuamu. Aku sudah tidak sanggup memenuhi keinginanmu dan keluargamu. Anak-anak akan ikut aku nantinya!" kataku dengan tegas.
Utami membelalakkan matanya sambil menangis. Anak-anak ada di kamar. Sepertinya mendengarkan pertengkaran kami.
"Tega kamu, Mas. Cuma gara-gara uang mau menceraikan aku?"
"Kamu bilang cuma? Cuma gara-gara uang? Terus yang kemarin marah-marah karena kehabisan uang belanja, siapa? Yang ketakutan saat ditagih utang, siapa? Itu semua karena apa? Uang kan?" kataku lagi.
"Aku tidak masalah kalau ada. Selama 7 tahun kita menikah, apa aku pernah keberatan kamu bantu keluargamu. Bahkan lebih banyak yang kukasih untuk keluargamu dari pada ibu bapakku. Padahal, kan semestinya nafkah orang tuamu bukan tanggunganku. Kenapa saat aku minta keluargamu mengerti kondisi kita, kok sulit sekali? Lihatlah suamimu ini, Utami. Sudah cacat aku ini, masih untung perusahaan tidak membuangku seperti sampah. Hanya dimutasi dan turun gaji. Aku masih bisa menafkahi kalian meski tidak sebesar dulu. Harusnya keluargamu mengerti itu. --- Terus kakakmu ngapain di sana? Dia kan anak laki-laki. Tanggung jawab keluargamu, ya di kakakmu itu mestinya. Kok kita yang harus berhutang sana sini untuk kebutuhan kita karena uang belanja, kamu kasih ke mereka. Semua! Semua lho ini."
Aku mengambil napas sejenak. Mencoba meredam emosi. Utami masih saja menangis.
"Kamu gak kasihan lihat anak-anakmu? Mereka mau jajan gak bisa. Beli baju baru gak bisa. Keperluan sekolah kemarin hutang. Lalu tiap kali aku gaiian, bukannya kamu bayar hutang-hutang itu, malah kamu kirim lagi ke keluargamu. Pikiranmu di mana?!"
"Tapi, mereka butuh, Mas ...!"
"Kita lebih butuh!" kupotong perkataannya. "Kita ini hidup di rantau. Tidak ada sanak keluarga yang bisa kita mintai tolong dengan cepat kalau kita kenapa-kenapa. Lah keluargamu semua di sana. Kalau yang 1 butuh, ada yang lain nolong. Kenapa harus kita yang masih kekurangan ini? Kenapa? Apa adikmu akan mati kalau kamu tidak bantu biaya pernikahannya? Terus kalau kita ada kenapa-kenapanya, mereka mau bantu? Saat kita butuh uang setahun ini, mana? Ada keluargamu yang bantu? Tidak usah ngasih, cukup bayar aja hutangnya yang sudah bertahun-tahun itu. Ada? Ada gak? Jawab!"
"Bagaimana mereka mau bayar, Mas, mereka aja masih kekurangan kok!"
"Kita juga kurang kan?! Kalau tidak kurang, mana mungkin berhutang."
Astaga, masih saja ngeyel dia.
"Lihat anak-anakmu. Kurus dan lusuh begitu. Mau jajan, nahan. Kepingin apa, kita cuma bisa menjanjikan. Tega kamu sama mereka!"
Nanda dan Nindi menghambur dari kamar ke arahku.
"Bapak ...."
"Bapak jangan marahi Ibu lagi." kata Nanda. "Nanda gak akan minta jajan lagi."
"Nindi juga gak akan minta baju lagi. Tapi, jangan marah-marah lagi ya, Pak."
Aku memeluk kedua anakku sambil menangis. "Maaf kan Bapak ya, Nak. Maafkan Bapak."
Utami hanya menangis melihat kami. Dia sudah dewasa, biar berpikir bagaimana menentukan prioritasnya.
Sejak hari itu, aku melihat perubahannya. Suatu hari tiba-tiba pulang kerja aku disuguhkan oleh banyak bungkusan keripik di ruang tengah. Kulihat Nindi yang sedang menonton televisi. Tak kulihat Utami.
"Keripik siapa ini, Ndi?" kutanya anakku.
Nindi menghampiriku dan mencium punggung tanganku.
"Keripiknya ibu, Pak. Ibu jualan keripik pangsit."
"Sekarang Ibu mana?"
"Lagi ke warung depan, beli bumbu."
"Masmu ke mana?"
"Mas Nanda mandi, Pak. Dari tadi disuruh mandi, gak mau terus. Nindi dong sudah wangi. Nih Pak cium Nindi, wangi kan?"
Aku terkekeh sambil mencium pipinya. "Wanginya anak Bapak."
Nindi tersenyum senang.
Begini saja aku sudah bahagia. Tak berapa lama, Utami pulang, bersamaan dengan Nanda yang keluar dari kamar mandi.
"Baru datang atau sudah dari tadi, Mas?" Utami menghampiriku dan mencium punggung tanganku.
Nanda juga melakukan hal yang sama setelah menaruh handuknya di jemuran.
"Barusan. Ngobrol sama Nindi dulu, nih. Mau langsung mandi, eh kamar mandinya dipakai Nanda. Kamu mandi sore amat, Nan?"
"Iya, Pak. Hehehe" Nanda cengengesan.
"Keasikan main tuh. Diancam jewer baru bergerak ...," sela Utami.
"Lain kali jangan ya. Mandi kesorean gak bagus buat tulang ...," kuelus kepala Nanda.
"Iya, Pak."
"Kamu jualan keripik, Mi?"
"Iya, Mas. Buat tambahan kita. Kutitipkan ke warung-warung sekitar sini. Tadi sudah janjian sama warung-warungnya. Ada 3 warung yang mau dititipin. Sudah ku pikirkan perkataan Mas kemarin. Aku memang salah selama ini. Maaf ya, Mas."
"Syukurlah kalau kamu sadar. Ingat ya, bukan kita gak mau nolong. Kalau kita ada, ya boleh-boleh aja. Kalau tidak ada, ya bagaimana lagi."
"Iya, Mas. Nanti rencanaku keuntungan jualan ini dipakai untuk sehari-hari. Gaji Mas buat bayar hutang. Gimana, Mas?"
"Begitu juga boleh. Nanti dilihat dulu kan keuntungan jualanmu berapa, kebutuhan kita berapa. Kalau tidak mencukupi ya ditutup pake gajiku. Sisa gaji buat bayar hutang."
Namanya manusia hanya bisa berencana. Tuhan tetap yang menentukan. Nindi tiba-tiba sakit gejala tifus. Biaya berobatnya memang ditanggung BPJS.
Namun, kebutuhan transport dan pengeluaran printilan lainnya kan harus keluar dari kantong pribadi. Alhasil, tidak ada hutang yang bisa dibayar. Apalagi Utami libur selama Nindi dirawat.
Setelah beberapa bulan berjalan, akhirnya kami sepakat untuk kembali saja ke kampung halaman. Aku akan membantu mengurus kebun bapak dan ibu, Utami bisa tetap jualan keripik pangsit. Untuk pelunasan hutang dan biayanya terpaksa kutebalkan muka untuk minta tolong keluargaku.
Mirisnya saat video call dengan Raya, terlihat adik-adikku sedang kumpul di rumah bapak. Seperti perayaan, hati ini tercubit. Di sini kami sendirian hidup irit seirit-iritnya. Mereka di sana perayaan kumpul keluarga.
Bukan iri. Tidak, aku tidak iri. Cuma getir sendiri. Sepertinya, keputusan untuk kembali ke kampung halaman bukan keputusan yang salah.
*
*
Bersambung.....
akhirnya ya rama 😭