Lahir di sebuah keluarga yang terkenal akan keahlian berpedangnya, Kaivorn tak memiliki bakat untuk bertarung sama sekali.
Suatu malam, saat sedang dalam pelarian dari sekelompok assassin yang mengincar nyawanya, Kaivorn terdesak hingga hampir mati.
Ketika dia akhirnya pasrah dan sudah menerima kematiannya, sebuah suara bersamaan dengan layar biru transparan tiba-tiba muncul di hadapannya.
[Ding..!! Sistem telah di bangkitkan!]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bayu Aji Saputra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjadi pahlawan sejati?
[Ding!]
[Misi utama telah ditemukan!]
[Misi: Menjadi Pahlawan Sejati]
[Deskripsi: Hancurkan kegelapan dan selamatkan umat manusia dari kehancuran yang tak terelakkan]
[Hadiah: ???]
[Hukuman: Kematian]
[Misi ini tidak dapat ditolak.]
Kaivorn, menatap layar transparan di hadapannya dengan sorot mata yang berusaha tetap tenang, meski hatinya bergetar hebat.
Matanya terpaku pada satu kata: Kematian.
"Kematian...?" pikir Kaivorn dengan kening berkerut, tubuhnya sedikit gemetar di bawah pakaian bangsawannya. “Jika aku gagal... aku akan mati?”
Ia melirik ke arah Franca, Saintess yang ada di hadapannya, dengan ekspresi yang sulit ditebak.
"Sialan..." gumam Kaivorn perlahan.
“Maaf?” Franca mengangkat alis, sedikit terkejut dengan kata-kata kasar Kaivorn di depan dirinya.
Kaivorn menghela napas panjang dan bangkit dari kursinya, tangannya secara refleks menyentuh rambut putih indah yang menjadi ciri khas keluarganya.
“Lupakan,” katanya dingin.
Ia melangkah lebih dekat, mendekati Franca yang masih berdiri dengan sikap anggun namun penuh kelelahan.
Wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Franca, matanya memancarkan keingintahuan yang mendalam.
"Jadi..." bisiknya dengan nada enggan, "apa yang harus aku lakukan untuk menjadi pahlawan?"
Senyum halus menghiasi wajah Franca, cahaya keemasan menguar dari dirinya, memancarkan aura kesucian yang begitu murni hingga ruangan itu tampak lebih terang hanya dengan kehadirannya.
“Syukurlah...” ucap Franca lirih, seolah beban besar telah terangkat dari pundaknya. "Tuan muda Kaivorn, anda telah dipilih oleh Dewa. Tak ada yang perlu anda lakukan selain menerimanya. Takdir telah ditetapkan."
"Tidak perlu melakukan apapun...?" Kaivorn menyipitkan mata, merasa tidak puas.
Pandangannya kembali tertuju pada layar yang masih menampilkan misi yang belum selesai.
[Ding!]
[Misi utama telah ditemukan!]
[Misi: Menjadi Pahlawan Sejati]
[Deskripsi: Hancurkan kegelapan dan selamatkan umat manusia dari kehancuran yang tak terelakkan]
[Hadiah: ???]
[Hukuman: Kematian]
[Status: Berjalan]
[Misi ini tidak dapat ditolak.]
“Kalau begitu, kenapa misi ini belum selesai?” gumam Kaivorn, nada suaranya sarat kecurigaan.
Franca menatapnya dengan tenang, senyumnya memudar sedikit saat ia menyadari bahwa pahlawan terpilih ini masih belum memahami sepenuhnya apa yang akan dihadapinya.
“Setidaknya untuk sekarang,” jawab Franca, matanya serius, meskipun ada kelembutan di dalam tatapannya.
Kaivorn mengerutkan kening, rasa bingung merayapi pikirannya. “Apa maksudmu, Saintess?”
Namun sebelum Kaivorn bisa menuntut jawaban lebih lanjut, "Sebelum itu..." Franca menatap kaivorn serius.
"Ya...??" Balas Kaivorn, siap menerima segala hal yang dikatakan Franca.
"Bolehkah aku duduk?" Ucap Franca dengan ekspresi lelah. "Aku sangat lelah setelah perjalanan panjang dari kota suci Azzas menuju wilayah Vraquos."
Kaivorn menahan dengusan, hampir tak percaya. "Saintess macam apa ini?" batinnya, merasa heran dengan keanehan sikap wanita suci yang berdiri di depannya.
Namun, rasa hormatnya kepada kedudukannya lebih kuat daripada ketidaknyamanannya.
“Silakan duduk,” katanya dengan nada datar, menunjuk ke kursi yang sebelumnya ditempati oleh Elandra.
Franca segera duduk, melepaskan napas lega sembari mengangkat kedua lengannya ke atas untuk meregangkan otot-otot yang tegang.
“Lega sekali...” katanya ringan, seperti bukan Saintess yang baru saja mengumumkan takdir kehidupan dan kematian seseorang.
Kaivorn menatapnya tanpa berkedip, menyaksikan wanita yang dianggap suci ini melakukan hal-hal yang tampaknya begitu sederhana, namun terasa sangat asing di hadapannya.
"Dia tampak seperti manusia biasa." Pikir Kaivorn. "Apakah dia benar-benar Saintess of Light?"
Dia menggelengkan kepalanya, "Apa yang kau pikirkan Kaivorn? Tentu saja dia Sai tess of Light sungguhan." Batin Kaivorn menyadarkan dirinya sendiri. "Buktinya Komandan kesatria suci mengawalnya."
Kaivorn mengalihkan perhatiannya dari Franca yang terlihat terlalu santai untuk seorang Saintess yang membawa pesan penting.
Lalu mengalihkan perhatiannya kembali pada layar biru transparan yang masih melayang.
[Misi ini tidak dapat ditolak.]
Kalimat itu berulang kali terngiang di benak Kaivorn, seakan menyindir keadaannya.
Terperangkap dalam takdir yang dipaksakan, dan yang lebih buruk, kematian menjadi taruhan.
“Menjadi pahlawan, ya?” gumam Kaivorn, kali ini dengan nada sarkastik. "Aku bahkan tidak tahu musuhnya siapa."
Franca, yang sudah duduk lebih nyaman, mendongak dari kursinya. "Tentu saja, menjadi pahlawan tak semudah hanya menerima peran itu, Tuan Muda Kaivorn." Ia tersenyum tipis. “Namun, takdirmu sudah tertulis.”
Kaivorn tertawa kecil, lebih karena menertawakan keadaannya yang menyedihkan.
"Takdir? Kalau begitu, kenapa aku lebih merasa seperti sebuah boneka?" Kata Kaivorn tajam. "Dewa memberiku misi, tapi tidak memberiku petunjuk tentang apa yang sebenarnya harus kulakukan."
Franca terdiam sejenak.
Ada keheningan canggung yang melayang di antara mereka.
Kaivorn memutuskan untuk melanjutkan, pandangannya tetap tajam.
“Kalau memang Dewa sudah menentukan segalanya, apa yang akan terjadi pada umat manusia jika aku gagal?” Kaivorn mengajukan pertanyaan itu dengan santai, seolah tengah berbicara soal hal yang sepele.
Franca menatapnya, dan kali ini tanpa senyuman. “Mereka akan musnah.”
Jawaban itu sederhana, tetapi efeknya menggema di kepala Kaivorn.
Begitu banyak kehidupan yang bergantung pada seorang anak berusia 15 tahun yang bahkan belum dianggap cukup berharga oleh keluarganya sendiri.
“Jadi, semua ini...” Kaivorn menunjuk ke layar biru yang masih mengapung di hadapannya, “...tidak lebih dari permainan hidup dan mati. Jika aku gagal, aku mati, dan begitu juga umat manusia.”
Franca menundukkan kepala sedikit, mengakui kenyataan pahit yang ia sampaikan. “Itulah beban seorang pahlawan.”
Kaivorn menatapnya dalam diam.
Sebuah beban yang ia tidak pernah minta, sebuah takdir yang terasa menjengkelkan baginya.
“Kalau begitu,” kata Kaivorn, mengabaikan rasa cemas yang merayap di dadanya, “aku akan bermain dengan aturanku sendiri.”
Franca tampak bingung. “Apa maksudmu?”
Senyum tipis terbit di sudut bibir Kaivorn, matanya berkilat penuh keyakinan.
“Jika Dewa menginginkan pahlawan, maka aku akan menjadi pahlawan—tapi tidak dengan cara yang mereka inginkan.”
Franca memandangnya dengan sedikit ketidakpastian. “Tuan Muda, ini bukan sesuatu yang bisa anda siasati begitu saja.”
Kaivorn memutar matanya. "Aku bisa" balasnya. "Bukankah aku adalah manusia yang telah di pilih oleh sang Dewa?" tambah Kaivorn, terdengar seperti sebuah sindiran.