Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Ponselku masih tergenggam erat di tangan sambil aku beringsut perlahan menjauhi ruangan tempat Naura sedang bermain ponsel supaya bisa meredakan rasa sakitnya.
Aku tak ingin gadis kecil itu mendengar percakapan yang mungkin akan meningkat nada. Hatiku berdebar saat mendengar suara yang seharusnya familiar terdengar asing seketika.
Aku [ "Mas Adnan?"] gumamku pelan, kebingungan menyelimuti pikiranku.
Tadi jelas ada suara perempuan sebelum Mas Adnan menjawab telepon. Apakah aku salah dengar?
Dengan raut muka yang dikuasai kecurigaan, aku menekan tombol speaker. [Siapa perempuan tadi, Mas?" ]tanyaku, mencoba menyelidiki.
Mas Adnan terdengar jengkel di seberang sana. ["Perempuan? Kamu ngingo atau gimana? Udah, to the point saja kamu mau apa?"] ujarnya dengan nada yang meninggi.
Aku merasakan emosi memuncak, rasa kesal bercampur kecewa menguar dalam dada. ["Aku gak ngingo, Mas. Aku sedang menjaga anak kita, kamu yang lagi bersama perempuan!"] balasku, suaraku keras dan penuh tuduhan.
Ruang sekitar seakan menegang, ponsel di tanganku terasa berat, dan kekhawatiran tentang kebenaran di balik suara tadi semakin mengusik pikiran.
Aku menunggu jawaban dari Mas Adnan, tapi di dalam hati, sebagian dariku takut mendengar apa yang akan diungkapkan selanjutnya.
Mas Adnan menghubungiku melalui video call, ["Mana perempuannya? Lihat, aku sendirian di ruangan Rania! Udahlah, jangan aneh-aneh, aku akan segera ke sana."] Aku menjawab singkat,
[ "Oo," ] lalu segera mematikan teleponnya.
Kamu fikir aku percaya begitu saja Mas? Aku sudah melihatmu bersama perempuan itu, ada struktur pembelian kalung berlian, blouse penuh noda tapi bukan milikku, suara perempuan yang menggoda, bagaimana aku bisa tidak berpikir aneh-aneh?
Hatiku tidak tenang, namun aku mencoba untuk tetap berpikir positif. Mungkin di kantor, rekan kerja perempuan memang banyak, dan bisa jadi itu hanya kesalahpahaman belaka.
"Mamah," panggil Naura dari kejauhan.
"Iya nak, ada apa?" Aku segera berlari ke arahnya.
"Mah, Naura lapar," serunya.
"Iya nak, sabar ya. Sebentar lagi Nenek sama Aunty Tyas datang," jawabku sambil menyeka keringat di keningku.
Aku mencoba menenangkan hati, menghadapi perasaan cemas dan bimbang.
"Yeay! Ada Nenek sama Aunty Tyas, Naura jadi nggak kesepian di sini," seru Naura dengan wajah ceria.
Melihat anakku yang masih polos ini, aku berjanji pada diri sendiri untuk mencari tahu kebenaran tentang Mas Adnan dan melindungi keluarga kecilku, apa pun yang terjadi nantinya.
Aku mengelus pipi Naura lembut, merasakan kehangatan cinta yang tulus darinya. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Ibu serta adikku Tyas masuk dengan membawa makanan serta buah anggur kesukaan Naura.
Aku merasa bahagia melihat mereka, apalagi mereka jauh-jauh datang ke rumah hanya untuk menjenguk dan menyemangati Naura.
"Nenek, autny!" Naura bersorak kecil, wajahnya berseri-seri saat melihat kedatangan kedua orang yang sangat dicintainya.
"Cucu nenek," sahut Ibu sambil tersenyum lebar dan mengusap kepala Naura dengan penuh kasih sayang.
Aku melihat betapa bahagianya Ibu saat berjumpa dengan Naura. Rasa syukur pun menghampiri hatiku, karena melihat hubungan Ibu dan Naura yang begitu erat.
"Keponakan aunty si paling cantik," seru Tyas sambil menggoda, membantu menghidupkan suasana yang sebelumnya agak cemas.
Aku tersenyum melihat betapa adikku itu begitu peduli dan perhatian kepada Naura. Dalam hati, aku merasa sangat beruntung memiliki keluarga yang begitu mendukung dan mencintai satu sama lain.
Sejenak aku bersyukur pada Tuhan, karena telah mengaruniakan kebahagiaan ini, dan membuatku semakin termotivasi untuk menjaga keharmonisan dalam keluarga.
"Semoga keluarga kita selalu dilindungi oleh-Nya," bisikku dalam hati.
***
Pagi hari ini, aku, ibu, dan Tyas bersiap-siap menunggu operasi Naura. Semalaman, ponsel Mas Adnan sudah tak bisa dihubungi, jadi aku memutuskan untuk tidak menelfon Mas Adnan lagi.
Biarlah dia mau apa! Lagi pula, saat aku menelpon bibik Mas Adnan, dia tidak pulang ke rumah, dan saat menelpon teman-temannya, mereka bilang tidak ada lemburan di kantor.
"Untuk sekarang, aku harus fokus pada Naura dan mengesampingkan kecurigaanku pada Mas Adnan," batin aku sambil merasakan keresahan yang melingkupi hati.
Tiba-tiba, Sumi dan Sonya datang dan langsung memelukku erat. "Sabar ya, Besti," bisik Sonya. Aku mengangguk lirih, kami pun melepaskan pelukan.
Kami duduk di kursi tunggu operasi. Sonya dan Sumi menyapa Ibu dan Tyas. Aku merasa sangat gugup dan deg-degan, tak henti-hentinya aku berdoa agar operasi Naura berjalan dengan lancar.
Aku sadar bahwa aku harus kuat demi Naura dan menghadapi semua ujian ini dengan tegar,.aku pijat keningku merasa sangat pusing.
Sonya menggenggam erat tanganku, memberikan dukungan yang sangat aku butuhkan saat ini. Sementara itu, Sumi tampak sibuk dengan telepon yang datang dari butiknya. Semua berjalan seperti slow motion, namun akhirnya operasi pun selesai.
Air mataku tak bisa kutahan lagi. Wajah cantik putriku yang pucat membuat hatiku sakit yang tak tertahankan. Tanpa berpikir panjang, kami berjalan menuju bangsal Naura bersama para suster.
"Eeemm, Ran..." lirih Sonya, mencoba menyemangatiku.
"Iya, So," jawabku sambil mengusap air mata yang terus mengalir.Tidak ada yang bisa menenangkan hati ini.
"Adnan kemana, ya? Kok nggak kelihatan?" tanyaku heran.
Aku semakin merasa kecewa dan marah saat menyadari Adnan tak ada di sisiku di saat-saat kritis seperti ini. Dia malah menghilang entah kemana, tanpa bisa dihubungi.
"Gak tahu, So. Ponselnya nggak bisa dihubungi. Di saat seperti ini, dia malah menghilang," ungkapku dengan kecewa.
Rasa sakit hati ini seolah menjadi tambahan beban yang harus kutanggung seorang diri, apalagi dari malam Naura terus memanggil nama papanya.
"Rania, aku segera ke butik dulu ya," seru Sumi.
"Iya Sum, aku yakin kami bisa menghandle semuanya," seruku.
"Iya Ran, aku permisi dulu, Bu," ucap Sumi sambil menyalami tangan ibuku.
Sumi pun segera pergi, dan kami masuk ke dalam bangsal. "Nak, Naura masih di bawah pengaruh obat bius, kalau sudah sadar, boleh makan apa saja," ujar suster.
"Baik, Suster. Terima kasih," sahut kami kompak.
Sonya harus pergi untuk menghadiri acara lain, sementara Tyas mencari sarapan.
"Rania," panggil ibu, membuatku menoleh ke arahnya. "Adnan kemana? Dari kemarin, ibu tidak melihatnya," tanyanya.
"Kerja, Bu," jawabku singkat.
Melihat reaksi ibuku yang tersenyum sinis, hatiku sedikit bergolak. Sejujurnya, aku juga merasa sedikit kecewa dengan Adnan yang tidak ada di sisi Naura saat dibutuhkan.
Namun, dia juga pasti punya alasan tersendiri, bukan? Tapi...
"Kerja kok sampai gak ada waktu untuk Naura? Dia butuh sosoknya, kasihan dia," seru Ibu dengan kecewa yang begitu terasa.
Di dalam hati, aku berbicara pada diri sendiri, "Apakah Adnan memang lebih mementingkan pekerjaannya daripada Naura dan aku? Haruskah aku marah dan menuntut perhatiannya? Atau mungkin, aku harus lebih memahami kondisi dia dan tetap sabar menunggu dukungannya?" Aku merasa bingung dan terpecah antara cinta, kesabaran, dan kekecewaan terhadap Adnan.
***