Tiga tahun lalu, Agnia dan Langit nyaris menikah. Namun karena kecelakaan lalu lintas, selain Agnia berakhir amnesia, Langit juga divonis lumpuh dan mengalami kerusakan fatal di wajah kanannya. Itu kenapa, Agnia tak sudi bersanding dengan Langit. Meski tanpa diketahui siapa pun, penolakan yang terus Agnia lakukan justru membuat Langit mengalami gangguan mental parah. Langit kesulitan mengontrol emosi sekaligus kecemburuannya.
Demi menghindari pernikahan dengan Langit, Agnia sengaja menyuruh Dita—anak dari pembantunya yang tengah terlilit biaya pengobatan sang ibu, menggantikannya. Padahal sebenarnya Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa karena desakan keluarga yang meragukan ketulusan Agnia.
Ketika Langit mengetahui penyamaran Dita, KDRT dan talak menjadi hal yang kerap Langit lakukan. Sejak itu juga, cinta sekaligus benci mengungkung Dita dan Langit dalam hubungan toxic. Namun apa pun yang terjadi, Dita terus berusaha bertahan menyembuhkan luka mental suaminya dengan tulus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Empat
Mobil mewah Langit berangsur berhenti di depan sebuah restoran mewah. Dita refleks melongok dari dalam. Kedua matanya menatap kagum bangunan mewah restoran yang juga sangat megah. Ini menjadi kali pertama dirinya akan mengunjungi tempat elite dan itu karena Langit.
“Masya Allah ... suamiku romantis sekali. Bawa kami ke sini alamatnya bingung, doyan enggak sama makanan di dala. Soalnya sudah terbiasa paling mewah nasi padang,” ucap Dita sambil menatap manis suaminya penuh terima kasih.
“Ini restoran saudara. Restorannya Hyera. Makanan di sini terjamin, enggak kalah higenis dari masakan mama. Jadi, aman juga buat baby,” ucap Langit tak kalah manis.
Akan tetapi, emosi Langit yang jadi kembali datar, membuat Dita menjadikannya sebagai PR tersendiri. Bersama dunianya yang seolah berputar lebih lambat, Dita meraih tangan kanan Langit kemudian mendaratkan bibirnya yang masih tertutup cadar, di pipi kanan suaminya itu.
Tak lama setelah apa yang Dita lakukan dan memang masih berlangsung, Langit juga sengaja menempelkan bibirnya di kepala Dita.
“Kalau Mas sedang merasa enggak nyaman, Mas bisa mengandalkan aku. Cerita, biar aku tahu harus bagaimana. Jangan ke yang lain, jangan dipendam sendiri biar Mas enggak meledak. Biar Mas enggak beban. Istrimu ini, bisa menciptakan beribu keajaiban buat Mas. Sedangkan menyembuhkan Mas, merupakan jadi bagian dari kewajibanku!” yakin Dita.
“Ruang VIP sudah penuh. Hanya tinggal ruang biasa,” santun pelayan kepada seorang wanita yang menggerai rambut panjangnya.
Wanita yang menutupi wajahnya menggunakan masker dan kacamata hitam tebal di depan pelayan, berangsur melepas kacamata maupun maskernya. Hingga wajahnya terpampang jelas dan itu Agnia. Agnia menatap judes pelayan di hadapannya.
“Kamu tidak kenal saya? Saya istrinya Langit, saudara dekat Hyera yang punya restoran ini!” tegas Agnia benar-benar geregetan.
Dari cara Agnia yang begitu bengis, membuat sang pelayan merasa. Agnia nyaris menerkamnya hidup-hidup andai ia tak menuruti kemauannya.
“Maaf, Nona ... tapi—” Sang pelayan belum selesai bicara, tetapi Agnia sudah telanjur meninggalkannya, sesaat setelah wanita itu juga sampai meludahi wajahnya.
Pelayan tersebut benar-benar syok sekaligus merasa terpukul. Kedua matanya berkaca-kaca, tapi seorang pelayan perempuan yang sempat menyaksikan apa yang terjadi kepadanya, segera menghampiri. Pelayan wanita yang datang, memberi rekannya tisu kering. Ia menenangkannya, dan merasa makin iba setelah mengetahui apa yang terjadi.
Berbeda dengan Agnia, di dalam salah satu ruang VIP dan menjadikan lilin romantis sebagai penerang di tengah meja makan. Di sana, Dita justru menyikapi setiap pelayan yang membantu dengan sangat ramah. Senyuman yang membuat kedua matanya menyipit, terus menjadi balasan di setiap pelayanan yang diberikan.
“Makasih banyak!” lembut Dita benar-benar manis.
Langit yang duduk di hadapan Dita, dibuat terpesona tanpa jeda pada sikap mania istrinya. “Kamu cantik banget. Manis banget!”
“Karena Mas sukses bikin aku bahagia!” balas Dita. “Jangan lupa, istri cerminan suami!”
Langit tersipu kemudian mengambil sebotol air mineral kemasan kaca dari hadapannya. Ia membukakannya kemudian menaruhnya di gelas Dita.
“Sebenarnya aku sudah ingin menjalani aktivitas seperti orang-orang.” Langit menatap Dita penuh keteduhan. “Aku punya banyak undangan pernikahan. Aku ingin ajak kamu ke sana.”
“Jujur, niatku memang pamer. Aku mau mamerin kamu yang sudah bikin aku sedamai ini. Walau di beberapa kesempatan, aku tetap sering ketakutan.”
“Memangnya apa lagi yang membuat Mas takut? Mas lupa, aku istri Mas dan aku akan selalu menciptakan banyak keajaiban buat Mas?”
“Masalahnya aku takut kehilangan kamu. Kamu terlalu sempurna, di luar sana pasti banyak yang ingin mendapatkan sekaligus merebut kamu dari aku!”
“Mereka boleh saja sibuk berusaha merebutku, tetapi cinta dan hidupku cuma buat Mas!”
“Aku tetap enggak bisa percaya itu. Pikiranku terus tarung. Aku ketakutan banget ... dan—”
“Ini aku lagi hamil anak Mas loh ... gini saja, Mas. Dijalani saja, pelan-pelan. Nikmati, percaya kepadaku. Percaya kepada Mas. Kalau semuanya serba dipikirin ... yang ada, Mas sakit. Sini, bentar aku berdiri dulu. Mas mau peluk aku?”
Langit terpaku menatap Dita, tapi ia berangsur menghampiri Dita yang sudah memberinya uluran kedua tangan. Dita siap melakukannya. Langit langsung memeluk Dita erat.
“Enggak tahu kenapa, aku jadi enggak percaya diri. Aku ini g ila kan?” ucap Langit ketar-ketir sendiri.
“Mas tahu, aku bucin maksimal ke Mas? Sebelumnya aku enggak pernah sebebas ini. Aku ke yang lain, beneran senyum saja hampir jarang. Sementara ke Mas. Aku ke Mas, kayak wanita kegatelan kan? Ayo semangat! Aku bakalan mencintai Mas lebih ugal-ugalan dari sebelumnya!” Dita tersenyum hangat menatap suaminya. “Susah, ya?” Ekspresi sang suami yang masih saja ragu, menjadi alasannya mengatakannya. Terbukti, Langit berangsur mengangguk-angguk. “Sabar ya ... nikmati prosesnya. Biar pacaran kita lebih bermakna."
Di luar restoran, Agnia yang kembali menutupi wajahnya menggunakan masker dan kacamata hitam, tak sengaja melihat mobil Langit. Mobil Lexus hitam keluaran terbaru yang terparkir si tempat parkir depan restoran, diyakini Agnia merupakan mobil Langit.
“Iya, ... ini mobil Langit. Si lumpuh buruk rupa itu apa kabar, ya? Ngapain masih kelayaban, tahu-tahu lumpuh buruk rupa? Bikin malu saja. Gitu-gitu kan, orang tahu kalau dulu, aku pernah pacaran sama dia. Malahan statusnya ... eh, statusnya tetap suami aku karena Dita kan pengantin samaran yang sengaja menggantikan aku,” pikir Agnia yang buru-buru masuk ke mobil yang mendekat.
Mobil yang mendekati Gania, merupakan taksi online yang wanita itu pesan. Berbeda dengan Dita yang jadi dicintai oleh Langit penuh obsesi, dan ke mana-mana selalu dengan mobil mewah. Agnia justru hanya memakai taksi, itu saja tidak ada seperempat kemewahan yang Dita dapatkan. Padahal yang Agnia tahu, Dita tak lebih dari penga tin samaran yang menggantikannya.
Sekitar satu jam setengah kemudian, kepulangan Agnia ke rumah, sukses mengejutkan kedua orang tuanya. Orang tua Agnia yang sedang duduk di sofa ruang keluarga lantai bawah, terbengong-bengong menatapnya.
Keadaan di rumah Agnia terasa mati. Televisi yang biasanya menjadi satu-satu hiburan di sana. Karena keluarga Agnia tipikal yang tidak suka mengobrol, juga dalam keadaan mati.
“Ma ... Pa ... aku pulang!” sergah Agnia sambil melepas kacamata maupun maskernya. Agnia memberikan koper besarnya kepada sang ART yang sebelumnya, membukakan pintu untuknya.
“Aduh ... aku laper banget. Tadi mampir ke restoran Hyera malah makin sakit hati!” Agnia pamit makan sambil buru-buru melangkah ke dapur.
“Sebenarnya kamu dari mana?” Itulah yang papanya Agnia katakan. Pertanyaan yang langsung mematahkan langkah Agnia. Sebab pertanyaan sang papa, dirasa Agnia seolah sang papa tak tahu keberadaannya selama ini. Padahal harusnya, sang papa tahu, semenjak menikah dengan Langit walau itu Dita yang menjalani. Tentu Agnia bersama Langit.
“Apa udah terjadi sesuatu? Dita berulah apa gimana?” pikir Agnia makin ketar ketir.