Kisah ini bermula ketika JAPRI (Jaka dan Supri) sedang mencari rumput untuk pakan ternak mereka di area hutan pinus. Sewaktu kedua bocah laki-laki itu sedang menyabit rumput, beberapa kali telinga Supri mendengar suara minta tolong, yang ternyata berasal dari arwah seorang perempuan yang jasadnya dikubur di hutan tersebut. Ketika jasad perempuan itu ditemukan, kondisinya sangat mengenaskan karena hampir seluruh tubuhnya hangus terbakar.
Siapakah perempuan itu? Apa yang terjadi padanya? dan siapakah pembunuhnya?
Ikuti kisahnya di sini...
Ingat ya, cerita ini hanya fiktif belaka, mohon bijak dalam berkomentar... 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zia Ni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 4 Teror
"Lo le, kamu kok sudah pulang? Jangan-jangan kamu colut," Bu Aminah yang saat itu sedang membolak balik jemuran gabah merasa agak heran karena anak tunggalnya pulang beberapa jam lebih awal dari biasanya.
"Di sekolah ada kejadian horor, Mak," sahut Supri setelah meletakkan tas dan pantatnya di lantai teras depan rumah.
"Kejadian horor gimana le maksudnya?" tanya wanita paruh baya itu penasaran.
"Ada yang kesurupan, Mak," balas si gembul apa adanya.
"Lah, ada yang kesurupan? Tenane (beneran) le?" karena kaget Bu Aminah sampai menghentikan aktifitasnya.
"Iyo Maaak, beneraaan. Yang kesurupan tadi Sri sama Dina," terang bocah bertubuh gemuk itu.
"Kok bisa? Padahal sebelumnya di sekolahmu tidak pernah ada yang kesurupan to le?" cecar wanita paruh baya tersebut.
"Yo gak tau Mak, kok tanya aku," ucap Supri.
"La kesurupannya kayak gimana le?" imbuh Bu Aminah ingin tahu.
"Nangis-nangis sama ngomong sakit sakit gitu, Mak," jelas si gembul.
"Tapi anehnya pas aku mau pulang tadi mbak baju birunya ada di sekolahan lo, Mak," tambah bocah bertumbuh gemuk itu.
Mendengar perkataan anaknya yang terakhir membuat Bu Aminah ikutan duduk di teras.
"Kok bisa muncul di sekolahanmu to le?" tanya wanita paruh baya tersebut tambah penasaran.
"Yo aku gak tau juga, Mak. Mendingan Emak tanya sendiri saja ke mbaknya. Kan sama-sama perempuan. Siapa tau mbaknya mau curhat ke Emak," mbanyolnya Supri mulai keluar.
"Yang bisa lihat dia kan kamu to le. Kalau Emak sih yo emoh kalau dilihati hantu," kata Bu Aminah jujur sambil bergidik.
"Jangan ngomong gitu, Mak. Nanti kalau mbak nya ada di sini trus dengar, nanti malam Emak bisa didatengi beneran lo," si gembul malah nakut-nakuti.
"Kamu kalau ngomong jangan sembarangan to le. Sudah tau Emakmu ini penakut malah kamu tambah-tambahi," sungut wanita paruh baya itu.
"Tapi mbak nya itu cantik lo, Mak. Kira-kira ada masalah apa yo, kok meninggalnya mengenaskan seperti itu. Gak tega aku lihat jasadnya kemarin," ucap bocah bertubuh gemuk itu apa adanya.
"Emak juga kasihan le. Kok ada yo manusia yang kejamnya seperti itu. Seperti mbakar sampah saja."
Di saat Bu Aminah dan Supri sedang ngobrol di teras rumah, muncullah sosok Pak Bedjo dengan menaiki sepeda motornya.
"Kamu kok sudah pulang to le?!" seru pria paruh baya tersebut setelah mematikan mesin motornya.
"Supri colut, Pak!" si gembul sengaja menggoda bapaknya.
"Kamu kalau sampek berani colut tak suruh ikut mbahmu saja le," kata Pak Bedjo sambil berjalan menghampiri istri dan anaknya, lalu ikutan duduk di lantai teras.
"Jam segini kok sudah di rumah kenapa? Gurumu ada rapat?" sekali lagi pria paruh itu bertanya.
"Bu Aminah tolong jelaskan pada suami anda kenapa saya pulang lebih awal. Saya sedang malas untuk mengulang ceritanya," sekalipun geregetan dengan omongan anaknya, tapi Bu Aminah menurut juga.
Mendengar cerita istrinya, Pak Bedjo juga lumayan kaget.
"Menurut Supri, yang ngrasuki Sri dan Dina itu mbak baju biru, Pak," si gembul berspekulasi.
"Kok hantunya bisa di sekolahanmu to le," Pak Bedjo juga merasa heran.
"Mungkin mbak nya lagi pingin jalan-jalan atau punya cita-cita jadi guru tapi gak kesampaian, Pak," balas bocah bertubuh gemuk itu asal-asalan.
Tengah malamnya...
Di malam yang sepi, sedikit berkabut dan hanya terdengar suara binatang malam, tampaklah sosok perempuan berambut panjang lurus sepinggang, sedang melangkah pelan di jalanan Desa Suka Makmur.
Perempuan itu menangis pilu menyayat hati hingga suaranya terdengar jauh karena terbawa angin. Beberapa warga yang sudah tertidur lelap menjadi terbangun karena suara tangisan tersebut.
Pak Bedjo, Bu Aminah dan Supri yang juga terbangun karena mendengar suara tangisan, bangkit dari kasurnya lalu keluar kamar.
"Bapak sama Emak juga dengar suara tangisan to? Tak kira cuma aku tok," kata si gembul masih setengah ngantuk sambil mengucek-ngucek kedua matanya.
"Coba kita cek di luar," ucap Pak Bedjo yang tak lama kemudian mereka bertiga melangkah ke luar rumah.
Begitu sampai di luar rumah, ternyata sudah ada beberapa warga yang sedang berdiri di jalanan depan rumah masing-masing saking penasarannya dengan suara tangisan itu.
Sampai sekarang suara tangisan tersebut terus terdengar namun entah darimana asalnya.
Beberapa pria pun akhirnya sepakat untuk keliling kampung dan mengecek keadaan, sementara para ibu dan anak disuruh kembali ke dalam rumah.
"Jangan-jangan ini tangisan arwah dari jasad yang ditemukan di hutan kemarin," tebak Pak Amir.
"Sepertinya juga begitu, Pak. Wong kita sudah keliling kampung dari tadi tapi sumber suaranya tidak tahu darimana asalnya," sahut Pak Komar.
"Kalau begitu kita balik pulang saja, Bapak-Bapak. Dicari sampai besok pagi pun gak bakalan ketemu karena ini bukan tangisan manusia. Sudah biarkan saja, yang penting kita banyak ibadah dan berdoa supaya desa kita tenang lagi," usul Pak Danu si kepala dusun yang kemudian disetujui yang lain.
Sekitar jam 3 dini hari suara tangisan perempuan itu baru menghilang.
Jam 04. 40 pagi...
"Kepalaku pusing Maak gara-gara kurang tidur. Hantunya gak tau sopan santun blas. Sudah tahu malam-malam waktunya orang tidur kok ya nangis berjam-jam. Apa gak capek gitu lo," omel Supri sambil duduk malas di kursi yang ada di dapur sekaligus ruang makan. Bocah bertubuh gemuk itu terlihat menguap hingga beberapa kali.
"La mau gimana lagi to le, namanya juga hantu," ucap Bu Aminah sambil menggoreng lele untuk sarapan.
"Kalau masih ngantuk begini mau sekolah rasane kok yo males," keluh bocah bertubuh gemuk itu.
"Males gak males tetep harus sekolah le. Sekolah itu penting lo," sela Pak Bedjo yang baru bangun tidur.
"Capek-capek sekolah ujung-ujungnya juga nggarap sawah, Pak," kata Supri ada benarnya juga karena sawah milik bapaknya lumayan luas.
"Uwes gak usah alesan, ndang mandi sana," perintah pria paruh baya itu yang tak lama kemudian dituruti anaknya dengan males-malesan.
*
"Kamu kemarin juga denger, Jak?" tanya Supri dalam perjalanan menuju ke sekolah.
"Bukan cuma aku, Pri. Tapi semua anggota keluargaku juga denger," jawab Jaka apa adanya.
"Bisa-bisanya itu demit ganggu jam tidur malamnya warga kampung," lanjut si gembul.
"Mungkin arwahnya tidak tenang Pri karena dibunuh dengan cara keji seperti itu," tebak Jaka.
"Tapi mbok ya jangan se ekstrim gitu maksudku, ganggu orang tidur saja," Supri masih menggerutu.
"Namanya juga demit, Pri. Ya semaunya sendiri," kata anaknya Pak Rahmat.
"Kira-kira di sekolahan nanti ada kejadian aneh lagi gak ya?" ucap si gembul was-was.
"Mudah-mudahan saja gak, Pri."
Begitu masuk ruang kelas, sepasang mata Supri sudah melihat penampakan mbak baju biru yang sedang berdiri di pojokan, sampai-sampai dia terlonjak kaget.
Busyet, la kok malah sudah ada di kelas. Mateeng mateeng... rutuk Supri dalam hati.