NovelToon NovelToon
Dosen Ngilang, Skripsi Terbengkalai

Dosen Ngilang, Skripsi Terbengkalai

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Persahabatan / Slice of Life
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Atikany

Realita skripsi ini adalah perjuangan melawan diri sendiri, rasa malas, dan ekspektasi yang semakin hari semakin meragukan. Teman seperjuangan pun tak jauh beda, sama-sama berusaha merangkai kata dengan mata panda karena begadang. Ada kalanya, kita saling curhat tentang dosen yang suka ngilang atau revisi yang rasanya nggak ada habisnya, seolah-olah skripsi ini proyek abadi.
Rasa mager pun semakin menggoda, ibarat bisikan setan yang bilang, "Cuma lima menit lagi rebahan, terus lanjut nulis," tapi nyatanya, lima menit itu berubah jadi lima jam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 4

“Di sini X1 harga, X2 kepercayaan, dan Y itu minat konsumen,” ucap bapak dosen sambil menulis di bagian cover proposal dengan tangan yang sangat terampil.

Bapak menulis dengan sangat rapi, dan tiap goresan penanya membuatku merasa semakin paham.

“X1 dan X2 adalah variabel independen. Sementara itu, Y adalah variabel dependen,” tambahnya sambil melingkari kata ‘harga’ dan ‘kepercayaan’ dengan lingkaran, dan ‘minat konsumen’ dengan lingkaran yang lebih tebal.

Aku memperhatikan dengan seksama. Ternyata, bapak dosen enggak semengerikan yang aku bayangkan. Justru dia kelihatan cukup sabar dan telaten menjelaskan. Aku berusaha keras untuk mencerna semua penjelasan ini.

"Variabel independen adalah faktor-faktor yang mempengaruhi sesuatu, dalam hal ini harga dan kepercayaan. Sedangkan variabel dependen adalah hal yang dipengaruhi, yaitu minat konsumen," kata bapak dengan nada yang jelas dan terstruktur.

Baru saat itu aku benar-benar paham. Oh, jadi itu maksudnya. Aku harus memisahkan dengan jelas mana yang menjadi penyebab dan mana yang menjadi akibat dalam penelitian ini.

Bapak juga menjelaskan tentang PT, “Untuk PT ini, kamu sesuaikan sama subjek penelitianmu. Karena studi kasusmu ada di desa..., maka kamu harus tanya-tanya dulu, harus survei dulu, PT mana yang lebih dikenal oleh mereka.”

Aku merasa seperti ada lampu yang menyala di kepalaku. Jadi, ini bukan hanya tentang menulis judul yang terlihat keren, tapi juga tentang memahami dan menerapkan teori dengan benar.

Aku harus turun ke lapangan, melakukan riset, dan mencari tahu PT mana yang relevan dengan subjek penelitianku. It’s not just theory, it’s about practical application.

“Besok atau setelah kamu revisi proposalnya, ngadap ke saya lagi,” ucap bapak dengan nada yang tenang dan jelas.

 Aku cuma bisa mengangguk lagi, merasa lega karena mendapatkan pencerahan yang sangat dibutuhkan.

 “Baik, pak,” jawabku dengan penuh semangat, meskipun masih ada rasa gugup yang tersisa.

***

Setelah aku keluar dari ruangan bapak dosen, ternyata beliau juga keluar dari ruangan. Aku merasa bersalah banget karena menunggu giliran agak lama, sementara teman-temanku belum sempat bertemu dengan bapak dosen.

Rasanya kayak sudah menyita waktu orang lain, apalagi mereka juga pasti cemas menunggu giliran.

Temanku, mendekat dengan tatapan penasaran. “Kenapa lama banget, sih? What happened in there?” tanyanya, masih penasaran.

Aku cuma bisa jawab seadanya, “Bapak banyak nanya dan menjelaskan. Sepertinya dia mau aku benar-benar paham tentang bagian judul dan variabel.”

“Serius cuma bagian judul doang?” tanya dengan raut wajah campur aduk antara penasaran dan skeptis.

Baru aku nyadar kalau selama konsultasi tadi, pembahasannya memang cuma sebatas judul. Bapak dosen bahkan belum membuka daftar isi atau Bab 1 proposalku. Jadi, all about the title, nothing more.

“Iya, bagian judul aja,” jawabku kikuk, merasa sedikit malu juga karena baru nyadar kalau masalahku terfokus hanya di judul.

“Antara enak dan nggak enak sih. Kalau cuma bagian judul, kamu nggak terlalu dibantai. Kalau aku, tadi dibantai habis-habisan. Aku nggak bisa jelasin sumber yang aku ambil dengan jelas, penulisan catatan kaki aku kayak kaki ayam gitu deh,” keluhnya dengan nada yang penuh frustrasi.

Lalu aku merespons dengan nada penuh kekhawatiran, “Lah, aku gimana? Judul aja lama banget bahasnya. Gimana besok kalau bapak liat isinya.”

Aku membayangkan skenario terburuk yang benar-benar mengerikan. Rasanya seperti setiap detik itu penuh dengan kemungkinan yang buruk. Bagaimana kalau bapak dosen ternyata menemukan banyak masalah dalam isi proposalku?

“Tapi kok bisa selama itu sih bahasa judul?”

Aku mulai menjelaskan mengapa bahasan judul bisa memakan waktu lama. Bapak dosen memang menjelaskan dengan panjang lebar, mulai dari variabel dependen dan independen sampai bagaimana penentuan PT yang tepat untuk penelitian. Prosesnya melibatkan pemahaman yang mendalam dan penyesuaian yang cukup rumit, sehingga membuat konsultasi kali ini jadi sangat panjang.

Sementara aku menjelaskan, temenku justru terlihat agak sinis dan berkata, “Enaknya jadi kamu cantik, jadi kamu dapet privilage.” Dia tersenyum masam, seolah-olah ada ketidakpuasan dalam ungkapan itu.

Aku terkejut mendengar komentar itu. “Maksudnya?” tanyaku, sedikit bingung.

"Memang nggak semua dosen kayak gitu, tapi kadang kalau liat mahasiswi yang cantik atau goodlooking, mereka tuh memperlakukannya beda banget dibandingkan mahasiswi yang modelan kayak aku. Rasanya, perhatian dan perlakuan khusus yang diberikan itu jelas terasa berbeda, padahal kualitas dan usaha yang ditunjukkan bisa jadi sama aja."

***

Membahas soal privilege, aku sebenarnya nggak goodlooking loh. Bahkan, kamu tuh lebih cantik daripada aku. Kadang aku merasa bingung kenapa seolah-olah, ketika ada hal yang sama-sama kita lakukan, dan aku merasa lebih dipermudah dalam prosesnya, orang-orang langsung menganggap bahwa aku mendapatkan semua itu hanya karena privilege atau penampilan.

Rasanya seperti ada standar yang berbeda yang diterapkan, padahal apa yang kita capai seharusnya dihargai berdasarkan usaha dan kerja keras, bukan hanya penampilan luar.

Sementara aku berusaha keras untuk mencapai sesuatu, kadang orang-orang sekitar lebih fokus pada bagaimana aku terlihat daripada apa yang sebenarnya aku lakukan.

"You know, sometimes it feels like no matter how hard I work, people still see my appearance first rather than my effort," kata-kataku kadang terlintas dalam pikiran.

 Aku sering merasa terjebak dalam persepsi bahwa segala sesuatu yang aku dapatkan hanyalah hasil dari privilege, bukan hasil dari usaha dan dedikasi.

Aku melihat bagaimana kamu, yang memang lebih cantik, sering kali harus menghadapi anggapan bahwa segala kemudahan yang kamu dapatkan mungkin lebih karena penampilanmu daripada kerja kerasmu.

Sedangkan aku, yang sebenarnya juga berjuang keras, malah sering dianggap tidak layak mendapatkan apa yang aku capai.

Jadi, kenapa harus ada anggapan bahwa segala sesuatu yang aku raih adalah hasil dari privilege, sementara kita semua, baik kamu maupun aku, sebenarnya berjuang dengan cara kita masing-masing?

Rasanya tidak adil jika setiap pencapaian atau kemudahan dianggap hanya berdasarkan tampilan luar. Kita semua memiliki perjuangan dan usaha yang tidak selalu terlihat oleh orang lain.

***

Tapi yah, aku mulai merenung kalau kata-katamu memang ada benarnya. Dunia ini, ternyata, memang lebih mudah dan lebih berpihak padaku karena penampilanku. Orang-orang cenderung memperlakukanku dengan baik—cara mereka memandangku, mereka membantuku, menyapaku, dan tersenyum setiap kali kita bertemu.

Bahkan bukan cuma laki-laki, perempuan juga sama. Mereka sering kali memelukku saat kita bertemu, seolah-olah kehadiranku saja sudah cukup untuk membuat mereka merasa nyaman.

"Is it really because I’m pretty?" pikirku dalam hati.

Rasanya aneh untuk berpikir bahwa semua perhatian dan kebaikan ini hanya karena penampilanku. Kadang aku merasa bahwa itu bukan semata-mata soal penampilan, tapi juga tentang bagaimana aku bersikap pada mereka.

Aku percaya bahwa kebaikan itu bersifat timbal balik—ketika aku berusaha menjadi baik kepada orang lain, mereka pun akan membalasnya dengan kebaikan yang sama.

Aku sering berpikir, mungkin ada benarnya bahwa penampilan memang memberi keuntungan tersendiri, tapi jika itu yang membuat orang-orang lebih mudah merasa nyaman dan terbuka, aku tetap percaya bahwa sikapku juga memegang peranan penting.

"When people see kindness and warmth, it doesn’t matter how you look. It’s the way you treat them that really counts," kata-kata itu sering kali muncul di pikiranku.

Jadi, meskipun aku menyadari bahwa penampilanku mungkin memberikan kemudahan, aku tetap berusaha untuk menjadi orang yang baik dan menyenangkan. Kebaikan yang aku terima adalah cerminan dari kebaikan yang aku berikan.

Mungkin di dunia ini memang ada privilege terkait penampilan, tetapi pada akhirnya, sikap kita—baik atau buruk—akan menentukan bagaimana hubungan kita dengan orang lain.

It’s not just about how you look, but also about how you make others feel.

1
anggita
like👍☝tonton iklan. moga lancar berkarya tulis.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!