NovelToon NovelToon
JAEWOO WITH LOVE FANFICTION

JAEWOO WITH LOVE FANFICTION

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / Dosen / Poligami / Mafia
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Withlove9897_1

kumpulan fic Jaewoo

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Withlove9897_1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Happen Ending Part 003

...***...

Kemenangan di pertandingan final masih tidak juga mampu merobohkan dinding beku di antara mereka. Disaat seluruh anggoa tim berlari ke kearahnya, mengacak rambutnya, merangkulnya, menepuk punggungnya, menendangnya, maupun memeluknya, meraka semua tertawa dan menangis haru di antara sorak sorai penonton dalam stadium. Tapi salah satu sisi dari hatinya justru mejerit pilu.

Suara deheman kecil berhasil membungkam euforia tim, semua orang membuka jalur untuk sang kapten yang kini berjalan perlahan ke arah Jungwoo. Jaehyun tersenyum, kali ini tampak tulus dan murni. Satu tangannya mengepal dan terulur lalu membawa tinju kecil pada dada kiri Jungwoo.

"Kerja bagus, Jungwoo." Dan itulah pertama kalinya mereka saling menatap mata satu sama lain setelah berbulan-bulan diselimuti kabut tebal. Anehnya, Jungwoo justru ingin menangis. Tapi ia berhasil tertawa, memasang cengiran bodoh dan mengangkat tangannya untuk mengajak Jaehyun toss.

"Ini hadiah dari kami semua untukmu, Kapten!" Ia berseru, merasakan getaran itu masih ada ketika Jaehyun menyambut toss darinya. "Ini hadiah untuk kelulusan semua anak kelas tiga dalam tim!"

"Hahaha! Tidak usah sok bijak!" Doyoung datang merangkulnya erat. Kali ini ia bahkan tersenyum kepada Jaehyun. "Kita berhasil."

Jaehyun balas tersenyum. "Ya," Matanya menatap Jungwoo, penuh suka cita. "Kita berhasil."

Dan kita selesai.

Kalimat itu hanya mampu terucap dalam hati. Selesai sudah. Semuanya akan berakhir mulai dari saat ini. Jungwoo menanamkan pemikiran itu dalam-dalam di kepalanya. Mulai sekarang, keadaan akan bertambah mudah. Selepas ini, semua anggota kelas tiga termasuk Jaehyun akan pensiun. Dan seperti yang Jaehyun katakan, akan lebih mudah baginya untuk melupakan perasaannya yang tak terbalas mulai saat ini.

***

Tepat satu bulan setelah final, Jaehyun dikabarkan masuk rumah sakit.

"Operasi usus buntu." Kata Doyoung yang berdiri di depan semua tim. "Tapi kami sudah sempat berdiskusi soal pemilihan kapten selanjutnya bersama pelatih."

Usus buntu? Jungwoo mengulang vonis itu dalam hati. Jadi Jaehyun sakit selama ini? Ia mendengus, rupanya orang itu masih saja jago berakting yang menyembunyikan apa yang dia rasakan, ya?

"...Jungwoo!"

"..."

"...Jungwoo!"

"..."

"KIM JUNGWOO!"

Tersentak keget, Jungwoo mendongak dan memandang sekeliling dengan panik. "Apa? Apa? Ada apa?"

Doyoung berdecak jengkel. "Kau akan jadi kapten."

"Oh, jadi kapten.. ku kira-APAAA?!"

"Beri sambutan untuk kapten baru!"

Riuh tepuk tangan menggema sepenjuru kafeteria, sementara Jungwoo melongo di tempat. "Tunggu, tunggu, tungguuuu... kenapa aku?"

"Ini keputusan bulat."

"Aah, jangan seenaknya!" Jungwoo memprotes. "Aku tidak cocok jadi kapten. Kenapa bukan Sungchan saja sih?"

"Berengsek, berhenti sok merendah begitu!."

Semua orang kini sibuk tertawa, menepuk bahunya atau sekedar menjabat tangannya untuk memberi selamat. Tapi Jungwoo justru melipat bibirnya kesal.

"Berhenti pasang wajah merajuk!" Doyoung memperingatkan dengan tegas.

"Itu menodai reputasi kapten!"

"Dan jangan berteriak bodoh di tengah pertandingan!"

"Hapalkan yel-yelnya, Kim Jungwoo, akan jadi sangat memalukan apabila kau lupa di tengah pertandingan resmi."

"Sungchan... tolong jangan ikut-ikutan!"

"Haah, ini akan jadi sejarah baru punya kapten ber-IQ jongkok."

"HEY!"

"Tugasmu akan berat, yang tabah yaa..."

"HEY! AKU KAPTEN SEKARANG! HARGAI AKU SEDIKIT!"

"SIAP!"

"Aarrghhh, kalian ini!"

Jungwoo berseru kesal, tapi semua orang tertawa senang. Dan itu juga pada akhirnya membuatnya ikut tertawa. Benar-benar tertawa, rasanya seolah sudah lama sekali ia tidak tertawa sepuas ini. Ada kelegaan tersendiri yang menyusup di hatinya. Malam ini, ia merasa perlahan-lahan kembali hidup seperti dulu. Tertawa lepas tanpa Jung Jaehyun

...***...

Jungwoo sudah tahu bahwa ada yang tidak beres ketika pelatih masuk ke kelasnya pada jam ke lima. Bicara sebentar dengan guru bahasa Inggrisnya, kemudian sang guru menyebut namanya, mempersilakannya untuk meninggalkan jam pelajaran.

Kecurigaannya makin memburuk ketika mendapati semua nggota tim inti sudah berada di dalam bus sekolah, lengkap dengan sopir. Mereka semua memasang wajah muram yang ganjil. Jungwoo masuk ke dalam, memutuskan untuk tidak bertanya dulu. Ia mengambil bangku di depan, dan Doyoung segera duduk di sebelahnya. Tak lama, bus melaju di jalan raya, meninggalkan bangunan sekolah yang megah.

"Kita akan ke rumah sakit."

Sebelum Jungwoo sempat bertanya, Doyoung sudah lebih dulu menjawab. Nada suaranya tenang dan rendah.

"Kenapa lagi sekarang?" Jungwoo bertanya heran.

Sebelumnya, setelah dikabarkan bahwa Jaehyun operasi usus buntu, seminggu kemudian kabar baru menyusul bahwa sang mantan kapten belum bisa kembali karena bekas jahitannya terbuka, dan memaksanya untuk tinggal di rumah sakit lebih lama. Minggu selanjutnya, kabar lain menyusul. Mereka bilang Jaehyun akan menjalani operasi mata sekalian untuk memperbaiki penglihatannya yang kian memburuk. Dan sekarang apa lagi kira-kira yang menahan Jaehyun di rumah sakit? Jika dihitung-hitung sudah nyaris satu bulan pemuda itu tinggal di rumah sakit.

Doyoung mengatupkan rahangnya rapat, tampak menahan sesuatu. Tapi Jungwoo menanti dengan sabar, mencoba untuk tidak terdengar mendesak. "Dia membohongi kita semua."

Kali ini pelipis Jungwoo berkerut. "Apa maksudmu?"

"Operasi usus buntu, luka jahitan yang terbuka, operasi mata, semua itu bohong."

"Hah?"

"Jaehyun menderita Kanker Pankreas stadium akhir."

...***...

"Jadi, di sinilah kau."

Adalah kalimat pertama yang berhasil terlontar dari belah bibir Jungwoo begitu mendapati Jaehyun terbaring tak sadakan diri, ditunjang alat bantu napas, dan selang infus di uratnya. Ia menjadi orang terakhir dari tim yang mendapat giliran masuk ke ruangan Jaehyun.

"Berwajah tenang seolah kau akan segera bangun dan memberiku lebih banyak kesedihan." Jungwoo mendengus kecil, menatap lekat-lekat wajah Jaehyun yang pucat. Ia bertanya-tanya sudah berapa lama tak mampu menatap wajah itu? Berapa banyak ia melewatkan waktu hanya demi egonya dan menolak untuk menatap Jaehyun? Berapa lama, sampai ia tak sadar bahwa ia sangat merindukan wajah itu?

"Aku sempat berpikir bahwa kita akan bersama selamanya." Jungwoo maju dan duduk di dekat tubuhnya. Mendengar bunyi monitor petunjuk detak jantung yang monoton.

"Bukannya terlalu percaya diri, tapi... yah, cuma insting."

Kalau ia bicara terus, apakah Jaehyun bisa mendengarnya? Apakah Jaehyun akan terbangun begitu mendengar suaranya? Apakah harapannya terlalu berlebihan? Apakah salah mengharapkan keajaiban?

Jungwoo mencoba menatap wajah Jaehyun dan bergumam pelan, "Kau bukan Putri Tidur, kan? Kenapa kau tidak bangun saja sebelum aku membuat keributan?"

Ia diam, mengharapkan jawaban yang ia tahu tidak akan diterimanya. Jaehyun tetap tak bergeming. Jungwoo menghela napas dan menunduk.

"Aku... sudah tahu kebenarannya," gumam Jungwoo. Suaranya lirih. Hanya sebesar itulah tenaga yang bisa dikerahkannya untuk bicara.

"Aku bahkan bicara dengan ayahmu. Ayahmu terlihat sangat sedih, meski ia bilang sudah merelakanmu . Ayahmu juga bilang, bahwa kau sepertinya menunggu kami..." Jungwoo mengangkat wajah dan tersenyum singkat, lalu menunduk kembali ketika merasa matanya perih.

"Omong-omong, kau mirip ayahmu. Ku harap kau tidak keberatan aku bertanya banyak padanya. Kau tahu aku sangat gampang penasaran. Aku ingin mendapat sedikit gambaran bagaimana kehidupanmu selain disekolah."

Jungwoo mendesah pelan. "Aku juga... sudah tahu alasan kenapa kau memilih menyembunyikan penyakitmu." Jungwoo mengamati wajah Jaehyun, berharap melihat sedikit reaksi. Tapi tidak ada sama sekali.

"Aku sama sekali tidak paham jalan pikiranmu. Bagaimana bisa kau merahasiakan ini dari kami semua, Bangsat? Kau memilih untuk menggunakan sisa waktumu bersama kami? Kau bahkan lebih idiot dariku!" Jungwoo meremas-remas tangannya sendiri. Menahan untuk tidak menghantamkan sebuah tinju kesal.

Jungwoo kembali menunduk. "Aku masih sakit hati, kau tahu?" Air matanya menetes ke kepalan tangan yang ditumpukan di kedua lututnya. Sial! Kenapa ia tidak bisa mengendalikan air matanya? Dengan cepat ia mengusap mata.

"Selama ini kau selalu bersikap buruk padaku. Kau menolakku, dan mengucapkan kalimat-kalimat menyakitkan. Bahkan di sisa hidupmu, kau tampaknya masih sempat menyusun sejuta cara untuk melukaiku. Hebat, Jung Jaehyun. Hebat sekali."

Jungwoo memaksa diri mengangkat wajah dan menatap wajah Jaehyun. Kemudian berujar. "Andai bisa memutar waktu... bukankah sangat menyenangkan jika kita bisa kembali ke hari itu?" Tanya Jungwoo retorik.

"Hari itu... saat pertama kali kita bertemu. Saat aku belum jatuh hati padamu, saat kita masih bisa bercanda tanpa canggung, berteriak dan main kejar-kejaran untuk memaksamu berlatih denganku." Suaranya gemetar. Tangannya juga.

"Aku senang bersamamu. Kau membuat segalanya menyenangkan, menyebalkan, dan juga... menyakitkan. Aku selalu mengira saat itu bisa bertahan selamanya."

Bolehkah ia bersikap egois sekarang? Bolehkah ia meminta Jaehyun agar tetap bersamanya? Ia sekali lagi menatap Jaehyun dan matanya melebar. Apakah ia salah lihat? Tidak... Sebelah mata Jaehyun sepertinya basah.

Jaehyun menangis... Jaehyun bisa mendengarnya!

Jungwoo mencondongkan tubuhnya dan menyentuh lengan Jaehyun dengan perlahan.

"J-Jaehyun," panggilnya, terbata. "Kau bisa mendengarku? Kau mendengar semua kataku?"

Setetes air mata bergulir turun dari mata Jaehyun yang terpejam, namun Jaehyun sama sekali tidak bergerak.

Jungwoo mulai terisak. Ia menarik napas dengan susah payah.

"Dengarkan aku, Jaehyun..." Jungwoo berbisik, suaranya bergetar selagi air mata meleleh ke pipinya.

"Tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku janji akan berusaha menjadi kapten yang baik. Aku pasti baik-baik saja. Kau dengar aku? Aku memang masih sakit hati, tapi aku baik-baik saja. Mungkin butuh waktu, tapi aku akan baik-baik saja. Kau boleh lihat sendiri nanti. Kau akan lihat tidak lama lagi aku akan kembali latihan, tertawa, dan mengoceh seperti biasa. Aku janji."

Jungwoo memegang lengan Jaehyun lebih erat.

"Tidak masalah kau tidak membalas perasanku... aku tidak marah padamu." Isak Jungwoo pelan.

"Kau tetap orang terhebat di mataku."

Lalu Jungwoo mendengar bunyi panjang dan datar yang membuatnya bulu kuduknya meremang. Ia mengangkat kepala dan menatap monitor penunjuk detak jantung. Hanya ada garis lurus yang terlihat di sana. Dan bunyi panjang dan monoton itu...

Segalanya seakan berlangsung dalam gerakan lambat. Ia memutar kepala dan menatap Jaehyun. Wajah Jaehyun masih tenang seperti sebelumnya. Kepala Jungwoo berputar kembali ke monitor yang menunjukkan garis lurus itu.

Sebelum ia sempat berpikir, pintu kamar terbuka dan orang-orang berpakaian putih menerobos masuk.

Jungwoo tidak menyadari Doyoung menariknya menjauh dari ranjang dan memeluknya. Sosok Jaehyun menghilang ditelan kerumunan orang berbaju putih itu.

Namun kenyataannya usaha dokter dan perawat yang mengelilingi ranjang Jaehyun tidak membuahkan hasil. Jungwoo melihat mereka perlahan-lahan menjauh dari ranjang. Matanya beralih menatap monitor yang tetap menunjukkan garis lurus itu.

Tidak berubah...

Jungwoo merasa tubuh yang memeluknya gemetar. Doyoung menangis. Ia juga melihat Jung Yunho menangis sambil memeluk tubuh putranya.

***

Jungwoo tidak menangis sedikitpun di pemakaman. Ia masih tidak percaya sosok Jung Jaehyun kini telah terbujur kaku, berbaring di dalam peti mati dan kerkubur di bawah tanah. Bagaimana bisa sosok seperti Jaehyun mati begitu saja? Ia selalu melihat Jaehyun bersinar begitu menyilaukan. Ia dikelilingi banyak orang yang memujinya setinggi langit. Lalu ada apa sekarang? Semua orang harus menunduk agar bisa membaca nisannya yang bisu? Apa Tuhan sedang bercanda?

Jungwoo mencoba mengingat percakapan terakhirnya dengan Jaehyun. Tapi kapan? Saat mereka berdiri di lapangan dan berhasil menang? Rasanya tidak, mereka masih sempat bicara sedikit setelah itu. Kapan? Otaknya mencoba mengingat, menggali memori demi memori selagi orang-orang mulai berlalu pergi meninggalkan makam Jaehyun.

Senja itu... ia berhasil mengingat waktu. Satu minggu sebelum Jaehyun masuk rumah sakit. Jungwoo sedang berlari sendirian di lapangan, dan Jaehyun berdiri di undakan tangga. Mata mereka bertemu singkat, kemudian Jaehyun turun untuk menghampirinya. Ia ingat Jaehyun mengulas senyum, wajahnya agak pucat, dan keringat sebesar biji jagung menempel di wajahnya. Jaehyun jelas sempat bicara, tapi apa?

"Sikap dinginmu itu ternyata lumayan menyebalkan, Partner."

Itukah kata-kata terakhir Jaehyun untuknya? Menyebutnya partner setelah semua yang terjadi? Konyol. Ini sangat konyol. Kenapa rasanya seperti kembali ke dua tahun yang lalu saat mereka sama sekali belum mengenal satu sama lain?

"Hei," Satu remasan kuat di bahunya, Jungwoo menoleh. Mendapati Doyoung berdiri di sebelahnya. "Sudah saatnya kita pergi, ayo."

Maka Jungwoo menarik napas panjang sekali lagi. Menoleh ke nisan Jaehyun yang membisu. Hanya ada ayahnya yang berdiri tegak di samping nisan itu. Laki-laki kurus berkaca mata yang tampak lesu, di tangannya sebuah amplop putih pucat digenggam erat.

Jungwoo mengangguk kecil ke arah Doyoung sebelum membungkuk sopan memohon pamit dan berbalik pergi.

"Tunggu."

Dua langkah, dan ia kembali berhenti. Doyoung juga ikut menghentikan langkah, menoleh kembali pada sosok Jung Yunho. Lelaki paruh baya itu berjalan mendekat ke arah mereka berdua.

Ada senyum kecil yang dikulum lemah di bibir laki-laki itu.

"Jaehyun bilang, aku seharusnya membakar ini. Tapi ku rasa, kau pantas menerimanya." Yunho

menyodorkan sebuah amplop ke arah Jungwoo. Tak ada tulisan apapun yang tertera di amplop putih itu, hanya polos, tanpa alamat tujuan maupun keterangan pengirim. Tapi Jungwoo menggerakkan tangannya untuk menerima.

Jung Yunho kemudian mengusap puncak kepalanya ringan, tersenyum lembut.

"Jaehyun sebenarnya orang yang baik, kau tahu itu kan?"

...***...

Jungwoo,

Sekarang sudah pukul setengah 2 pagi. Tepat enam jam setelah kau menyatakan cinta padaku, enam jam terhitung sejak aku menolakmu, enam jam telah berlalu, dan aku sama sekali tidak bisa tidur.

Aku bahkan tidak yakin akan seterlambat apa surat ini sampai ke tanganmu, atau bisa jadi justru tidak pernah sampai sama sekali. Tapi biarpun begitu, rasanya aku memang perlu menulis.

Jadi, Jungwoo, seandainya suatu hari kelak kau membaca ini, maka bisa dipastikan aku pasti sudah mati.

Hei, bagaimana rasanya membaca surat dari orang mati?

Ku jamin ini akan jadi pengalaman pertama untukmu. Apa setelah aku mati kau masih menganggapku menyebalkan? Apa kau menangisiku? Berapa banyak umpatan tak sopan yang kau lontarkan di depan nisanku? Membayangkan kau yang menyemburkan sejuta sumpah serapah dengan mata menangis... Ah, seperti Kim Jungwoo sekali... Rasanya aku malah ingin tertawa.

Aku akan buat beberapa pengakuan, Jungwoo. Kejujuran yang tak pernah berani kuungkapkan selagi aku hidup dan bernapas. Jadi, tolong simak ini baik-baik. Aku tidak bercanda mulai dari baris ini.

Pertama, aku mengakuimu. Lebih dari siapapun. Kau mungkin mengaggapku pembohong besar, karena nyatanya aku jarang sekali memujimu. Tapi inilah yang sebenarnya, aku mengakuimu, mengakui bakatmu, kerja kerasmu, dedikasimu, dan segala hal yang kau salurkan demi tim. Aku mengakui kehebatanmu, Jungwoo. Setiap operan yang kau tujukan padaku dalam banyak pertandingan selalu berada di luar ekspetasiku, kau selalu dipercaya untuk menghadapi lawan terkuat, kepercayaan dirimu, bahkan kilat tak kenal takut di matamu. Sadarkah kau bahwa keberadaanmu dalam tim bahkan lebih berpengaruh daripada aku yang seorang kapten?

"Good job! You've done well!" Itu semua adalah teriakan yang tak pernah berhasil ku serukan padamu dalam tiap pertandingan kita. Maka akan ku bayar kali ini. "Kau sangat hebat, Jungwoo!"

Kedua, kau adalah junior favorit ku. Kau senang sekarang? Di antara semuanya, kau selalu jadi orang yang paling kusukai. Tapi aku punya tanggung jawab, Jungwoo. Pelatih menyuruhku berlatih dengan Taeyong, dan itulah mengapa aku harus lebih memprioritaskannya dibanding kau. Tidak peduli sebesar apa keinginanku untuk berlatih denganmu, aku tetap harus memasang senyum palsu dan menolakmu berulang-ulang. Aku harus tetap menyeringai tak peduli ketika binar matamu meredup kecewa. Aku sendiri yang harus membunuh kata hatiku juga kecewa, tapi aku tidak berdaya. Aku tahu penolakanku menyakitimu, tapi apakah kau tahu kalau itu juga membunuhku?

Ketiga, kau adalah kekuatan tim, sekaligus kelemahan terbesarku. Jika aku harus menuliskan satu babak dimana dalam hidup aku merasa benar-benar tak berguna, maka namamu akan ada di dalamnya. Kim Jungwoo yang mengalami cedera. Itulah titik terendah dalam hidupku. Sebagai kapten, sebagai sunbaemu, sebagai teman satu tim, aku tidak mampu bermain tanpa kehadiranmu. Sejujurnya ada banyak sekali yang ingin aku katakan padamu saat itu, Jungwoo. Tapi tiap kali bertemu dengan wajah murammu, segala kalimatku tertahan di ujung lidah, menguap bersama udara, dan hilang tanpa jejak.

Tapi malam ini, jika aku bisa memutar waktu, maka inilah yang ingin ku katakan...

"Itu bukan salahmu, Jungwoo. Itu salahku. Seratus persen salahku. Aku tahu kondisimu sudah tidak terlalu baik, tapi aku memaksakan diri dan menolak meminta time. Itu bukan salahmu. Aku melihat lawan maju satu langkah dan sengaja menjebakmu melakukan pelanggaran. Itu bukan salahmu, demi Tuhan! Kau tidak pantas murung dan menderita sendirian. Jadi aku mohon, jangan menyiksa dirimu. Tersenyumlah lagi, percaya dirilah seperti biasanya."

Keempat, aku sakit, Jungwoo. Yaah, meski kurasa sekarang kau pasti sudah tahu. Aku sakit. Dokter telah menghitung kalkulasi sisa umurku tidak akan bisa mencapai musim semi tahun ketigaku. Aku sekarat. Jenis perawatan kanker pankreas yang paling banyak dilakukan adalah dengan melakukan operasi karena bisa mengobati kanker pankreas hingga sembuh sepenuhnya. Namun tidak semua penderita kanker pankreas bisa melakukan operasi, hanya 1 dari 5 pasien yang cocok untuk melakukan operasi pengangkatan tumor. Sayangnya, aku bukanlah satu yang beruntung itu. Bahkan dokter dan ayahku sudah melarangku sekolah, tapi aku bersikeras ingin menghabiskan sisa waktuku untuk untuk berada didekatmu. Karena bagiku, menghabiskan waktu bersama denganmu adalah sejuta kali lebih bermakna daripada harus terbaring di rumah sakit dan menjalani serangkaian pengobatan yang hanya berfungsi sedikit memperlambat kematianku. Lebih baik energiku kuhabiskan untukmu, daripada hanya berdiam menatap mimpi dari jauh sambil menunggu energiku habis dimakan waktu, bukan?

Kelima, dan terakhir. Rahasia dan kejujuran paling besar sekaligus tak masuk akal yang kupendam sedalam-dalamnya.

Aku mencintaimu.

Aku mencintaimu sejak sangat lama. Terlalu lama, sampai aku tidak bisa pastikan kapan tepatnya aku jatuh cinta padamu. Mungkin sejak pertama kau one on one melawan Johnny? Atau bahkan sejak aku melihatmu dari sudut lapangan sedang menantangnya? Seorang bocah yang entah terlalu polos, terlalu baik, terlalu naif, atau murni idiot karena berani menantang seorang monster seperti Johnny. Ku rasa, kerja otak dan hatiku memang mulai konslet sejak saat itu, karena bisa-bisanya aku justru berdebar-debar tak wajar.

Aku juga mencintaimu, Jungwoo. Harus ku katakan berapa banyak sampai kau percaya? He, tapi sekarang rasanya percuma saja. Sebanyak apapun ku tulis, kau tetap tidak akan puas jika tidak mendengarnya langsung dari mulutku, kan? Tapi tidak bisa, Jungwoo. Saat kau membaca surat ini, hidupku sudah berakhir. Aku tidak bisa lagi berbicara padamu, bahkan bernapas pun mustahil. Selagi kau membaca semua pengakuanku ini, tiap kalimat, tiap kata, tiap huruf yang kutulis, ragaku sudah mulai membusuk dibawah tanah. Aku sudah kehabisan waktu.

Aku memang mencintaimu, Jungwoo. Dan karena aku mencintaimu maka aku harus menolakmu.

Karena aku benar-benar mencintaimu, maka aku terus menunjukkan sikap dingin dan tak peduli.

Karena aku begitu mencintaimu, maka aku harus menjadi orang jahat dan berengsek.

Karena aku sangat mencintaimu, aku lebih baik melihat kau membenciku daripada harus melihatmu menangisiku.

Aku ini seorang penakut, Jungwoo. Aku pengecut. Aku ketakutan setiap waktu. Aku begitu takut akan kematian. Aku ingin hidup lebih lama, aku ingin punya waktu lebih banyak. Aku tidak ingin mati. Aku tidak ingin dilupakan. Aku sangat ketakutan tiap kali sakitku bertambah parah. Aku ingin sekali menjerit dan menyalahkan Tuhan atas semua yang menimpaku. Kenapa harus aku?

Aku punya masa depan yang begitu cerah! Kenapa harus aku yang menderita penyakit terkutuk ini?

Dan aku menjadi sejuta kali lebih takut ketika aku harus berdekatan denganmu. Sebagian besar dari seluruh mimpi masa depanku ada padamu, Jungwoo. Aku memimpikan bisa terus bersama denganmu. Masuk universitas yang sama denganmu. Berada di club basket yang sama denganmu.

Aku memimpikan tahun-tahun untuk hidup bersamamu. Masuk tim yang sama, tinggal bersama, menggodamu setiap waktu, berbaring di sebelahmu, pergi berlibur denganmu, memasak bersamamu, memelukmu pada malam-malam musim dingin ketika hujan salju, bercanda denganmu, berciuman denganmu, berhubungan sex, bahkan bertengkar denganmu. Kau adalah pusat dari segala impianku tentang masa depan, Jungwoo. Dan mendapati kenyataan bahwa impian itu hanya bisa jadi mimpi yang akan segera pupus dibawah garis kematian, membuatku merasa sakit.

Malam tadi, saat kau akhirnya menyatakan cinta padaku.. Aku mati-matian menahan gejolak dalam hatiku untuk tidak menerjang dan memelukmu, Jungwoo. Aku menahan kakiku tetap berpijak di tempat yang sama, menahan mataku untuk tidak menangis, dan mencoba menjawab sesinis mungkin. Waktuku tidak banyak, dan meski di sisa-sisa waktuku yang pendek ini aku begitu ingin menghabiskan setiap detiknya bersamamu, aku tetap tidak bisa lepas dari pemikiran-pemikiran mengerikan bahwa kau akan jadi jauh lebih terluka saat aku harus pergi.

Aku pernah kehilangan orang yang sangat dekat dan sangat kusayangi, Jungwoo. Aku masih ingat betapa sesak dadaku ketika ibuku pergi. Dan jika hari ini aku menyambut cintamu, berarti aku juga membuka gerbang awal penderitaanmu. Aku tidak ingin kau merasakan apa yang aku rasakan. Aku tidak ingin kau menderita. Sama sekali bukan gayaku, ya? Kau selalu mengatakan betapa licik dan egoisnya diriku, tapi aku membuang semua itu jika sudah berurusan denganmu. Bukankah ini sangat aneh?

Andai ada kata yang lebih besar dari terima kasih, dan lebih rendah dari maaf, itulah yang ingin aku sampaikan.

Terima kasih, Kim Jungwoo karena sudah datang di tahun-tahun terakhir sisa umurku.

Terima kasih, karena telah membuat hidupku yang singkat ini terasa lebih berwarna.

Terima kasih, karena sudah mencintaiku. Dan maaf... karena cintaku tidak pernah bisa membuatmu bahagia.

Selamat tinggal, Partner.

Kekasihmu,

Jung Jaehyun

final

***

Jung Yunho menatap perih pada putranya yang duduk bersandar pada ranjang.

Mata Jaehyun kian meredup dari hari ke hari, tubuhnya bertambah kurus, dan kulitnya kian memucat. Rasanya baru beberapa hari yang lalu putranya tampak begitu bersinar dan berhasil menarik perhatian serta kekaguman semua orang dengan kehebatannya di lapangan. Tapi sekarang? Jaehyun tak ubahnya seorang ringkih pesakitan yang sama sekali kehilangan selera untuk hidup.

Pria itu membuang napas berat, menata ekspresianya agar tidak tampak sedih kemudian mendekat ke arah Jaehyun.

"Hei, Ayah." Jaehyun menyapa ringan, menyeringai kecil padanya.

Jung Yunho hanya balas tersenyum sekenanya, lalu mengambil posisi duduk di dekat ranjang sang putra. "Jadi, bisa ceritakan kenapa kau suka sekali menatap ke luar jendela?"

Satu alis Jaehyun terangkat sedikit.

"Ini lantai tujuh. Kau hanya bisa melihat hamparan langit dari sini. Apa itu menyenangkan?"

Jaehyun mendengus sebelum tertawa kecil. "Ah, yaa.. langitnya sangat biru di sini. Dan ini mengingatkanku pada musim panas."

Setitik ngilu hinggap di relung hati Yunho detik itu juga. Musim panas terakhir putranya... meski putranya sama sekali tidak pernah terang-terangan menangis di depannya, mengeluh, atau berkata macam-macam soal nasibnya, tapi Jaehyun tetaplah seorang anak tujuh belas tahun dengan sisi emosional seperti remaja lainnya.

Merasa tak sanggup menatap wajah putranya, pria itu kemudian berpaling pada tangan Jaehyun. Ia sudah lama menyadari ini, bahwa Jaehyun memegang satu benda di tangannya sejak masuk rumah sakit. Sebuah ampop surat polos berwarna putih pucat. Namun Yunho masih enggan bertanya surat siapa sebenarnya itu.

Di hari-hari lain, ada kalanya Yunho mendapati sang putra hanya berbaring lemah di ranjang rumah sakit. Tidak bergerak sepanjang hari. Tidak terbangun. Tidak membuka mata. Amplop pucatnya digenggam erat di atas dadanya yang naik turun dengan lemah, dan amplop putih itu bergerak halus seiring napasnya.

Jika kondisi Jaehyun cukup baik, Jaehyun bahkan mengajaknya berjalan-jalan ke luar. Berkeliling di taman rumah sakit bersama tiang infusan. Masih tetap membawa sepucuk surat yang tak pernah terbuka.

Satu minggu sebelum Jaehyun menghembuskan napas terakhir, Yunho memutuskan untuk bertanya.

"Sebenarnya apa isi surat itu?"

Putranya balik menatap. Berkedip dua kali, kemudian menunduk untuk memandangi surat di tangannya. "Ini?"

Yunho menangguk kecil sebagai jawaban.

Jaehyun mengulas senyum, kemudian bersandar lagi pada bantal. "Pengakuan dosa."

"Akui dosamu di depan pendeta, anakku. Bukan dengan surat."

Jaehyun balas tertawa geli. "Itu lain cerita."

"Jadi, apa rencanamu soal surat pengakuan dosa itu?"

Jaehyun diam sebentar, tampak berpikir sebelum mendelikkan bahu ringan. "Entah. Ayah boleh membakarnya setelah aku pergi."

"Kenapa harus ayah yang membakar? Kau bisa membakarnya sekarang."

Sang putra balas menyeringai geli. "Well, aku tidak sanggup melakukannya. Jadi... ku serahkan tugas ini pada ayah."

"Kenapa?"

Jaehyun mengulas senyum, begitu sendu, begitu lemah. "Karena aku tidak punya keberanian. Aku tidak layak memilikinya."

"Memilikinya?" Ulang Jung Yunho ragu-ragu. "Siapa yang kau maksud?"

Namun Jaehyun justru mengalihkan pandangan ke luar jendela, tersenyum dengan begitu tulus dan jujur. "Tapi ku rasa... memang ada beberapa hal yang menjadi indah karena tidak dapat dimiliki."

...***...

...End...

Stop nyuruh bikin angst Jaewoo, gak kuat...😭😭😭😭😭

1
🌸 Airyein 🌸
Buset bang 😭
🌸 Airyein 🌸
Heleh nanti juga kau suka. Banyak pula cerita kau woo
🌸 Airyein 🌸
Bisa bisanya aku ketinggalan notif ini
Novita Handriyani
masak iya tiap kali selesai baca harus ninggalin jejak, Thor. saya hadir ✋️
Novita Handriyani
ngga suka cerita sedih
Novita Handriyani
kayaknya pernah baca nih cerita
kebikusi
astaga cerita ini mau dibaca berapa kali kok tetep bikin berkaca-kaca ya, untung banget punya otak pikunan jadi setiap baca selalu ngerasa kaya buat yang pertama kalinya.. NANGIS
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!