**Meskipun cerita ini beberapa diantaranya ada berlatar di kota dan daerah yang nyata, namun semua karakter, kejadian, dan cerita dalam buku ini adalah hasil imajinasi penulis. Nama-nama tempat yang digunakan adalah *fiksi* dan tidak berkaitan dengan kejadian nyata.**
Di tengah kepanikan akibat wabah penyakit yang menyerang Desa Batu, Larasati dan Harry, dua anak belia, harus menelan pil pahit kehilangan orang tua dan kampung halaman. Keduanya terpisah dari keluarga saat mengungsi dan terjebak dalam kesendirian di hutan lebat.
Takdir mempertemukan mereka dalam balutan rasa takut dan kehilangan. Saling menguatkan, Larasati dan Harry memutuskan untuk bersama-sama menghadapi masa depan yang tak pasti.
Namun, takdir memiliki rencana besar bagi mereka. Pertemuan mereka bukanlah kebetulan, karena keduanya ditakdirkan untuk memikul tanggung jawab yang jauh lebih besar. Menjadi Penjaga Gerbang Semesta. Dan pelindung dunia dari kehancuran!. Selamat menikmati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ansus tri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Ketika Ketenaran Menjadi Ancaman
Tanpa kata, Larasati sigap mengambil ramuan herbal beraroma menenangkan dari kotak kayu ukirannya. Dengan sentuhan lembut, ia mengoleskan ramuan itu ke pergelangan kaki petani yang bengkak, sementara Harry dengan cekatan memijatnya. Ruangan itu dipenuhi aroma hangat jahe dan kayu manis.
Tak lama kemudian, rasa sakit di wajah petani itu berganti dengan keterkejutan. Ia mencoba berdiri, ragu-ragu pada awalnya, lalu berdiri tegak dengan senyum lebar.
“Luar biasa! Kakiku sembuh total!” serunya, takjub.
Harry dan Larasati tersenyum. Kebahagiaan dan rasa syukur di mata orang-orang yang mereka bantu adalah hadiah terbesar bagi mereka.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak penduduk desa yang datang dengan berbagai penyakit. Mereka percaya bahwa tidak ada penyakit yang tak dapat disembuhkan oleh Tabib Ajaib. Hingga suatu hari, muncullah sebuah usulan yang tak terduga.
“Tabib Ajaib,” ucap seorang warga dengan penuh hormat, “keahlian kalian sangat dibutuhkan di Kota Seroja. Kami ingin kalian membuka klinik di sana agar lebih banyak orang yang tertolong.”
Usulan itu disambut hangat oleh warga lainnya. Mereka bergotong royong membantu Harry dan Larasati membangun sebuah klinik sederhana namun nyaman di jantung Kota Seroja.Klinik “Sehat Sejahtera” pun berdiri, menjadi oase penyembuhan bagi penduduk kota.
Ketenaran Harry dan Larasati semakin berkibar di Kota Seroja. Namun, mereka tak pernah melupakan akar mereka. Setiap beberapa hari, mereka kembali ke gubuk kecil di hutan, merawat penduduk desa, dan mengisi kembali jiwa mereka dengan energi alam yang menenangkan.
Hutan adalah tempat mereka menemukan keajaiban, dan mereka akan selalu menjaganya tetap hidup dalam hati mereka.
Di jantung kota yang ramai, di mana hiruk-pikuk kehidupan berpadu dengan aroma rempah-rempah yang eksotis, tersiar kabar tentang dua sosok tabib muda dengan kemampuan luar biasa.
Harry dan Larasati. Ketenaran mereka bak meteor yang melesat cepat, meninggalkan jejak kecemerlangan yang menyilaukan mata banyak orang, namun juga membakar hati sebagian yang lain.
Di sebuah kedai kopi tua dengan aroma kopi robusta yang menenangkan, sekelompok tabib senior berkumpul, wajah mereka dibayangi gurat-gurat kecemasan.
“Andi, bagaimana mungkin mereka, dua anak muda itu, mencuri panggung secepat ini?” tanya Tabib Dina, suaranya bergetar menahan emosi. “Pengalaman dan reputasi kita seakan tak berarti apa-apa di mata masyarakat.”
Andi, tabib dengan sorot mata tajam, mengangguk setuju. “Kemampuan mereka memang tak bisa dipungkiri, tapi kepopuleran mereka yang tiba-tiba ini… terasa janggal.”
Sementara itu, di sisi lain kota, Harry dan Larasati bersiap membuka praktik mereka. Antrian pasien sudah mengular sejak fajar menyingsing, seolah menegaskan kembali reputasi mereka yang melejit. “Laras, lihatlah,” bisik Harry, matanya menyapu barisan manusia yang sabar menanti. “Tanggung jawab kita semakin besar.”
Larasati, dengan senyum lembut yang selalu menghiasi wajahnya, mengangguk. “Kita akan memberikan yang terbaik, Harry. Seperti biasa.”
Seorang pria paruh baya, wajahnya dipenuhi guratan keputusasaan, memasuki ruang praktik. “Tabib Harry, Tabib Larasati, tolong… hanya kalian harapan terakhir saya.”
Harry dan Larasati mendengarkan dengan seksama, hati mereka tergerak oleh kepedihan yang terpancar dari sorot mata pria itu. Larasati dengan cekatan meracik ramuan herbal, sementara Harry memijat lembut titik-titik tertentu di tubuh pria itu, menyalurkan energi penyembuhan.
Kelegaan tergambar jelas di wajah pria itu saat dia berpamitan. “Kalian memang tabib ajaib! Terima kasih…”
Namun, kebahagiaan mereka terusik oleh kehadiran seorang tabib bernama Budi.
Tatapannya dingin, menyiratkan ketidak sukaan yang mendalam. “Kalian memang berbakat,” ucapnya sinis, “tapi ingat, roda kehidupan terus berputar. Jangan sampai kesombongan meracuni hati kalian.”
Larasati merasakan hawa dingin merayapi tulang punggungnya. “Ada yang tidak beres, Harry,” bisiknya cemas.
Harry, meskipun merasakan firasat buruk, mencoba tenang. “Kita fokus pada tujuan kita, Laras: membantu mereka yang membutuhkan.”
Menjelang senja, saat langit berwarna jingga keemasan, seorang wanita muda menerobos masuk, wajahnya pucat pasi. “Tolong… adik saya… hanya kalian…”
Tanpa membuang waktu, Harry dan Larasati mengikuti wanita itu, mengarungi jalanan kota menuju sebuah perkampungan kumuh di pinggiran kota. Perasaan tak tenang mencengkeram hati mereka, pertanda bahwa badai akan segera datang.
Di dalam gubuk reyot yang diterpa angin malam, mereka menemukan seorang anak kecil terbaring lemah. Napasnya tersengal-sengal, wajahnya pucat pasi. “Kita harus segera bertindak,” ujar Harry, nada suaranya serius. “Laras, siapkan ramuan penyembuh. Aku akan memberikan energi penyembuhan.”
Larasati segera meracik ramuan dengan kecepatan dan ketepatan seorang ahli, sementara Harry menumpangkan tangannya di atas tubuh mungil sang anak, menyalurkan energi hangat yang menenangkan. Perlahan, warna kembali merona di wajah anak itu, napasnya berangsur teratur.
“Terima kasih… Kalian sungguh Tabib Ajaib…” lirih sang ibu, air mata haru mengalir di pipinya.
Larasati tersenyum lembut, “Ini sudah menjadi tugas kami. Yang terpenting adikmu sudah membaik.”
Malam itu, dalam perjalanan pulang, Harry berkata, “Kita tidak bisa memuaskan semua orang, Laras. Tapi selama kita melakukan yang terbaik untuk pasien, itulah yang terpenting.”
Larasati mengangguk setuju. “Kita akan terus fokus pada tujuan kita: membantu mereka yang membutuhkan.”
Ketenaran Harry dan Larasati terus meroket, namun mereka menyadari bahwa jalan yang mereka tempuh tidaklah mudah. Tantangan datang silih berganti, seiring dengan meningkatnya ekspektasi publik.
Mereka harus menghadapi persaingan tidak sehat, kritik pedas dari tabib-tabib senior yang merasa tersaingi, dan tekanan yang semakin berat.
Namun, di tengah badai yang menerpa, Harry dan Larasati tetap teguh pada prinsip mereka: integritas, keberanian, dan dedikasi tanpa pamrih.
Mereka percaya bahwa keberhasilan mereka bukan hanya tentang menyembuhkan penyakit fisik, tetapi juga tentang menebarkan harapan dan inspirasi bagi semua orang.
Suatu pagi, saat mentari baru saja menyapa, seorang anak laki-laki berlari terengah-engah menuju praktik mereka. Wajahnya dipenuhi kecemasan, sorot matanya memohon bantuan.
“Tabib Harry! Tabib Larasati! Tolong! Adik saya…” teriak anak laki-laki itu, napasnya tersengal-sengal. “Dia terluka saat bermain di sungai!”
Tanpa membuang waktu, Harry dan Larasati mengambil kotak peralatan medisnya mereka, dan bergegas mengikuti anak laki-laki itu menuju tepi sungai. Di sana, mereka menemukan seorang gadis kecil terbaring lemas, kakinya terluka cukup parah.
Dengan sigap, Harry membersihkan luka dan membalutnya, sementara Larasati menenangkan gadis kecil itu dan memberikan ramuan pereda nyeri. Dito, sang kakak, mengamati mereka dengan sorot mata penuh harap.
Tak lama kemudian, tangis gadis kecil itu berganti dengan senyum lega. “Terima kasih, Tabib Harry, Tabib Larasati,” ucap Dito, wajahnya berseri-seri. “Kalian memang hebat!”
Harry dan Larasati membalas senyum Dito. Kelelahan mereka terbayar sudah dengan senyum kebahagiaan pasien-pasien mereka.
Hari itu pun berlalu, dan malam menyelimuti kota dengan selimut kelam yang tenang. Harry dan Larasati duduk berdampingan di beranda, menikmati angin malam yang sejuk.
“Laras,” bisik Harry, “aku rasa kita telah menemukan tujuan hidup yang lebih besar dari sekedar menyembuhkan penyakit.”
Larasati mengangguk, matanya berkilau di bawah cahaya bintang. “Kita menyentuh hati mereka, Harry. Memberikan harapan di saat mereka kehilangan.”
“Ya,” sahut Harry mantap. “Dan kita akan terus melakukannya, dengan hati yang tulus dan pikiran yang terbuka.”
Di bawah langit malam yang bertabur bintang, Harry dan Larasati merenungkan perjalanan mereka.
Tantangan akan selalu ada, namun mereka siap menghadapinya, demi mewujudkan mimpi mereka: membawa kesembuhan dan harapan bagi dunia.
Mereka larut dalam keheningan, masing-masing tenggelam dalam renungan mereka sendiri. Perjalanan mereka sebagai Tabib Ajaib telah mengajarkan mereka bahwa kesuksesan sejati bukanlah tentang popularitas atau pujian, melainkan tentang menyentuh hidup orang lain dan menyalakan api harapan di dalam hati mereka.
Saat cahaya kuning keemasan mulai mengintip di ufuk timur, menandai awal hari yang baru, Harry dan Larasati saling berpandangan, sebuah keyakinan terpancar dari sorot mata mereka.
Mereka telah menemukan panggilan jiwa mereka, jalan hidup yang akan mereka tempuh dengan penuh dedikasi dan cinta. Mereka adalah Tabib Ajaib, pembawa cahaya bagi mereka yang merindukan kesembuhan, baik jiwa maupun raga.
****
Ketegangan di Kota Seroja mencekik, udara pekat dengan kecemburuan dan kebencian. Keberhasilan Harry dan Larasati bagai duri yang menusuk hati beberapa tabib lain.
Berbagai upaya untuk menjatuhkan mereka telah dilakukan, namun hasilnya selalu nihil, membuat rasa dendam semakin membara.
Malam itu, setelah melayani pasien terakhir, suara gaduh memecah kesunyian. Harry mencuri pandang dari balik jendela, sekelompok pria kekar berkumpul di depan praktik mereka, aura mengancam terpancar dari balik raut wajah mereka.