NovelToon NovelToon
Stuck On You

Stuck On You

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / CEO / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: _Sri.R06

Kehidupan Agnia pada awalnya dipenuhi rasa bahagia. Kasih sayang dari keluarga angkatnya begitu melimpah. Sampai akhirnya dia tahu, jika selama ini kasih sayang yang ia dapatkan hanya sebuah kepalsuan.

Kejadian tidak terduga yang menorehkan luka berhasil membuatnya bertemu dengan dua hal yang membawa perubahan dalam hidupnya.

Kehadiran Abian yang ternyata berhasil membawa arti tersendiri dalam hati Agnia, hingga sosok Kaivan yang memiliki obsesi terhadapnya.

Ini bukan hanya tentang Agnia, tapi juga dua pria yang sama-sama terlibat dalam kisah hidupnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Sri.R06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Berusaha Sembuh Dari Rasa Sakit

“Ini adalah tempatku.” Suara Abian terdengar, Agnia menatap pria itu sekilas sebelum kembali menatap bangunan megah di depan mereka saat ini.

Agnia memperhatikan setiap detail bangunan mewah di depannya. Memang sangat besar dan indah. Biasanya Agnia hanya melihat rumah-rumah besar seperti ini hanya lewat internet, televisi, atau terkadang saat dia melewati suatu tempat.

Tapi sekarang, saat Agnia akan tinggal di rumah itu untuk sementara, justru hatinya malah merasa resah, dia terlalu takut kalau kedatangannya justru akan membuat orang rumah tidak nyaman.

Dugaannya itu memang benar, karena saat Abian mengajak Agnia untuk masuk. Banyak pasang mata sudah menatap Agnia dengan pandangan menilai. Jelas-jelas banyak dari mereka dengan terang-terangan menunjukkan ketidak sukaan saat melihat Agnia.

Agnia mengulas senyum kecil sambil menganggukkan kepalanya saat bertemu tatap dengan orang itu, namun dia tidak berani untuk berbicara lebih dulu, atau berkenalan lebih jauh. Dia sadar dia hanyalah orang asing di rumah itu.

Saat sampai di ruang keluarga, sudah ada orang yang Abian kenali duduk di sana. Dia menatap mereka, sebelum berbicara. “Dia Agnia, tamu yang aku undang. Jadi tolong perlakukan dia dengan baik. Untuk sementara dia akan tinggal di sini.” 

“Apa dia tidak memiliki rumah sampai tinggal di rumah orang lain?” Itu adalah suara Eriana, anak pernama dari Arsenio—kakek Abian.

Kentara sekali wanita itu tampak terganggu dengan kehadiran Agnia. Dia bahkan terang-terangan menggunakan nada suara yang keras dan terkesan sinis saat berbicara. 

“Apa rumah ini menjadi terlalu kecil untuk menerima satu orang lagi?” tanya Abian, membalikkan situasi. Benar, lagipula rumah itu masih terlalu luas hingga orang-orang tidak perlu berebut oksigen untuk tinggal di sana.

Eriana mendengus, menatap sinis keponakannya itu. Sejak dulu, sikap Abian memang selalu keras dan terlalu dingin. Jadi dia tidak berniat untuk menjawab Abian

Di sana memang tidak seramai biasanya, hanya ada Eriana dan juga putrinya, juga bibi keempatnya yang menunjukkan raut lebih ramah ketimbang yang lain.

Kemudian wanita yang sedari tadi diam namun memiliki raut wajah paling lembut itu berdiri menghampiri Agnia. “Apakah kamu Agnia? Orang yang Abian bilang akan tinggal di rumah ini?” tanya Nora—anak ke empat sekaligus terakhir. Dia yang sedari tadi memiliki raut wajah paling ramah itu.

“Benar, Nyonya,” jawab Agnia, dia segan saat bertemu dengan wanita itu.

“Eh, jangan memanggil seperti itu, kamu adalah tamu di rumah ini, panggil Saya Tante saja, ya,” jawab Nora, dengan senyumannya yang lembut.

“Baik, Tante.” Agnia mengangguk dengan senyuman kecil di bibirnya.

“Kalau begitu kamu bawa Agnia ke kamarnya Abian, semuanya sudah disiapkan. Sesuai seperti yang kamu minta,” kata Nora, membuat Abian mengangguk.

Abian menatap Agnia yang juga menatapnya, dia kemudian menarik tangan Agnia pelan dan membawanya ke lantai atas.

“Kita mau ke mana?” tanya Agnia, mengikuti langkah Abian yang membawanya.

“Ke kamarmu, tidak mungkin kamu terus berdiri di sini hanya untuk diperhatikan oleh mereka, ‘kan?” jawab Abian. Agnia terdiam mendengar perkataan pria itu. Sepertinya dia telah salah paham tentang terakhir kali. Bahkan Abian mengatakan Agnia sebagai tamu, dia juga tidak mengatakan permasalahan Agnia sebenarnya yang bahkan dijual oleh orang tuanya sendiri.

Karena jika itu Abian lakukan sudah pasti mereka akan menatap Agnia lebih buruk dari sebelumnya.

Kemudian mereka berhenti di depan pintu di lantai atas. Abian membuka pintu kamar dan membuka jalan untuk Agnia bisa masuk.

“Aku akan meninggalkanmu sendiri, nanti seseorang akan membawakan keperluanmu,” kata Abian, membuat Agnia mengangguk. Dia memasuki kamar berukuran besar itu, namun sebelum pintu tertutup Agnia berbalik untuk mengatakan sesuatu.

“Abian?” panggil Agnia, Abian berbalik hanya untuk menemukan Agnia yang sedang tersenyum kecil ke arahnya.

“Ya?”

“Terima kasih.” Abian mengangguk sebagai tanggapan.

“Dan juga … maaf,” kata Agnia, dengan kepala yang tertunduk.

Abian kini mengerutkan kening. “Untuk apa?” tanyanya.

“Karena telah merepotkanmu, juga—” Agnia menjeda ucapannya sebelum melanjutkan dengan kembali menatap tepat pada mata Abian. “—karena telah salah paham kepadamu tentang sebelumnya, maaf.” Dia kembali mengucapkan  kata itu.

Abian terdiam sejenak, sebelum kemudian berkata. “Tidurlah, ini sudah terlalu larut. Tentang sebelumnya tidak perlu dipikirkan. Saat itu aku yang salah karena telah mengejutkanmu,” kata Abian, mendapat anggukan dari Agnia, Abian kemudian menutup pintu kamar Agnia membuat Agnia kini kembali sendirian dalam sunyinya malam.

***

Dia memeluk tubuhnya dalam kesunyian. Helaan napasnya terdengar berat. Tatapan matanya kosong seolah pikirannya telah terbawa ke tempat lain.

Air di pelupuk matanya mungkin berteriak ingin pergi, namun sekuat tenaga dia tahan. Malam telah menjadi pendengar dari rasa sakitnya, rembulan seolah memeluk tubuhnya yang telah lelah.

Agnia merasakan kehampaan yang mendalam. Potongan memory membawa pesan manis namun menyakitkan. Hingga saat dia tersadar, ternyata sang mentari hampir mencuat ke permukaan.

Dengan cepat kakinya ia paksa untuk pergi ke kamar mandi, setidaknya dia tidak ingin menunjukkan rasa sakitnya di hadapan orang lain. Meski perlahan, namun dia akan berusaha untuk mencoba sembuh dari rasa sakit.

.

.

Di pagi harinya Agnia turun ke area dapur, dia tidak ingin hanya duduk diam sambil menikmati kehidupannya di tempat baru. Jadi setidaknya dia akan berusaha untuk menjadi berguna.

Agnia melihat beberapa wanita dengan pakaian seragam khusus tampak sibuk memilih bahan masakan. Sementara yang lain tampak membereskan sesuatu di sisi lain.

“Apa aku boleh membantu melakukan sesuatu?”

Seorang wanita pertengahan 30-an berbalik menatap Agnia cukup lama. Dia kemudian sedikit menunduk. “Tidak perlu, Saya dengar kamu adalah tamu dari Tuan Abian. Tuan bilang kami juga harus memberikan semua yang kamu minta,” jawabnya dengan sopan.

Agnia dengan cepat menggeleng, dia tidak suka diperlakukan seperti ini. “Tidak apa-apa. Lagi pula aku bisa melakukannya sendiri. Sekarang katakan, apa aku harus membantu memotong ini.” Agnia mengangkat bawang bombay yang belum dipotong.

“Tapi—”

Agnia segera mengambil pisau, ia lantas tersenyum. “Tidak apa-apa. Aku juga pernah melakukan ini.

“Kalau begitu maaf karena telah merepotkan Nona,” kata wanita itu, tersenyum hangat, dia tidak tahu jika tamu Tuannya sangat baik.

Agnia membalas senyuman itu tak kalah hangat. “Tidak masalah, dan juga panggil aku Agnia,” kata Agnia, membuat wanita itu mengangguk pelan.

***

Jujur saja, Agnia sebenarnya tidak terlalu pandai memasak, namun dia bisa melakukan beberapa masakan mudah dan juga pernah memotong bahan makanan. Jadi, itu tidak terlalu sulit. Karenanya pekerjaan Agnia tadi cukup memuaskan untuk wanita itu.

Agnia saat ini sedang memakan makanan yang dibuatkan maid sebelumnya. Saat Agnia bilang akan membuatnya sendiri, wanita itu memaksa ingin melakukannya karena merasa Agnia mungkin sudah lelah. Ini juga sekaligus rasa terima kasihnya karena telah membantu urusan dapur tadi.

Agnia menikmati sarapannya, menghabiskannya hingga akhir. Dia juga tahu mungkin sebentar lagi anggota keluarga Abian yang lain akan segera turun untuk sarapan. Jadi Agnia akan membantu untuk menghidangkan makanan untuk mereka.

“Ini bagus.” Agnia merasa senang karena telah menata makanan dengan rapi, dengan melakukan banyak aktifitas dia juga bisa sedikit melupakan masalahnya.

“Kamu sudah di sini?” Itu suara Abian, Agnia berbalik kemudian tersenyum.

Agnia mengangguk kecil. Dia hendak kembali ke kamar namun urung saat Abian menghentikan pergerakannya. “Mau ke mana?”

“Ke kamar,” jawab Agnia.

“Sarapan dulu, kamu sudah berada di sini kenapa kembali lagi?” tanya Abian, dia mengira Agnia mungkin masih merasa canggung.

“Oh, aku sudah sarapan tadi, aku hanya membantu menata makanan di meja,” katanya tenang.

Namun Abian justru menunjukkan raut tidak bersahabat. “Kenapa kamu melakukan itu, kamu bukan pekerja di rumah ini,” kata Abian tegas.

Agnia melepaskan cekalan tangan Abian yang terasa semakin mengencang di pergelangan tangannya. “Itu bukan apa-apa, aku juga membutuhkan sesuatu untuk bisa dilakukan. Jika berdiam diri hanya membuatku terus menerus mengingat kejadian itu.”

Abian menghela napas kecil, dia tahu maksud Agnia. “Baiklah, terserah kamu saja. Kakekku memintamu untuk bertemu dengannya. Datanglah ke ruang kerjanya jam 10 siang nanti.”

Agnia tersentak, mendadak dia takut. “Apa kakekmu marah karena aku tinggal di sini tidak meminta izin dulu darinya?” tanya Agnia. 

“Bukan, temui saja dia nanti,” kata Abian, Agnia akhirnya mengangguk. Melihat anggota keluarga yang lain mulai turun Agnia memilih untuk pergi lewat jalan lain. Dia yakin jika dirinya masih berada di sana pasti mereka akan merasa sangat terganggu.

.

.

“Abian di mana Agnia, kenapa dia tidak makan bersama kita?” tanya Nora, saat tidak mendapati Agnia di meja makan.

“Dia sudah sarapan. Jadi tidak ikut sarapan dengan kita,” jawab Abian.

“Memang seharusnya dia tahu diri. Dia, kan, hanya menumpang, kenapa harus makan satu meja dengan kita,” tukas Eriana. Membuat beberapa orang diam-diam mengangguk setuju.

Abian ingin menanggapi namun suara Felicia—sang Ibu membuat Abian berhenti. “Siapa Agnia?”

“Itu, loh, wanita yang di bawa anakmu ke rumah ini, siapa yang tahu asalnya dari mana. Sebaiknya kamu perhatikan Abian agar tidak mudah percaya pada orang baru.”

“Oh, dia. Mama juga belum bertemu dengan wanita itu,” kata Felicia.

“Mungkin sekarang sedang berada di kamarnya. Mau Abian panggilkan, Ma,” tanya Abian dengan suara lembut.

“Tidak perlu, nanti saja,” kata Felicia, nampak tidak berminat.

Beberapa jam berlalu, Agnia dalam perjalan menuju ruang kerja Tuan Arsenio—kakek Abian. Namun tiba-tiba dia malah berpapasan dengan seorang wanita dewasa yang masih sangat cantik meskipun usianya sudah terbilang tidak muda lagi.

Wanita itu tampak memperhatikan Agnia dari atas hingga bawah, tatapan matanya seolah menilai. Agnia dapat melihat kesamaan wanita itu dengan Abian. Kini dia dapat menebak sesuatu.

“Kamu Agnia?” tanya wanita itu.

“Benar,” jawab Agnia, mengangguk kecil.

“Kapan kamu akan keluar dari rumah ini?” tanya wanita itu, nada suaranya terdengar tenang namun perasaan yang ditimbulkan lebih dari itu.

“Maaf, tapi secepatnya Saya akan segera pergi,” kata Agnia, kemudian dia melihat wanita itu mengangguk, sebelum pergi melanjutkan perjalanannya.

Agnia menghela napas, dia harus bisa secepatnya menemukan  kost atau rumah kontrakan yang bisa segera di tinggali.

***

Agnia mengetuk pintu di depannya, saat terdengar suara dari dalam yang menyuruhnya masuk, Agnia pun membuka pintu tanpa ragu. Terlihat seorang pria paruh baya sedang duduk di sofa single di sudut ruangan. Tampak menikmati minumannya di atas meja. 

“Tuan, Saya Agnia,” sapa Agnia, setelah berada di depan pria tua itu.

Pria itu mendongak, lantas senyum ramah muncul di bibirnya. “Ah, Agnia. Ayo, silahkan duduk.” Pria itu menyapa Agnia dengan hangat membuat wanita itu lebih tenang, Setelah Agnia duduk di salah satu sofa di sana, dia lantas kembali bertanya.

“Tuan, Saya dengar, Anda ingin bertemu dengan Saya?”

Arsenio tersenyum, lantas mengangguk. “Benar,” kata Arsenio. “Saya ingin tahu, kamu masih seorang mahasiswi, bukan?” Arsenio kembali bertanya. Agnia tertegun, ternyata Kakek Abian sudah mencari tahu tentang latar belakangnya.

Agnia kemudian mengangguk, membuat Arsenio juga menganggukkan kepalanya.  “Kalau begitu kamu harus rajin belajar, luluslah dengan nilai yang baik. Tinggalah di tempat ini sebanyak yang kamu butuhkan, jangan pedulikan tentang anggota keluarga yang lain. Mereka hanya tidak terbiasa dengan orang baru.”

Agnia merasa hatinya menjadi lebih tenang, setidaknya di rumah ini dia masih memiliki seseorang yang mendukungnya. “Terima kasih Tuan, Saya akan selalu mengingat kebaikan Anda.” 

Kemudian Arsenio tertawa mendengar penuturan Agnia, dia senang seseorang yang tahu sopan santun. “Tidak perlu seperti itu. Saya hanya tidak ingin kamu merasa tidak nyaman berada di sini.” 

“Saya baik-baik saja, Tuan, terima kasih atas perhatian Anda.” ujar Agnia sedikit menundukkan kepalanya, merasa tidak ada yang ingin Arsenio katakan lagi, Agnia kembali berbicara, “Kalau begitu Saya permisi,” kata Agnia, mulai berdiri.

“Baiklah kalau begitu.” Arsenio tersenyum tenang, menatap kepergian Agnia dalam hening.

***

Sudah dua minggu sejak Agnia tinggal di kediaman Bellamy. Tidak ada yang berbeda setelah itu. Keluarga inti tetap tidak menunjukkan keramahan padanya. Namun, Tuan Arsenio tetap begitu baik dan memperlakukannya dengan sopan.

Selama itu juga Agnia mulai kembali pada Aktivitas biasanya. Kembali kuliah dan bekerja sambilan. Meskipun waktu yang dibutuhkan untuk sampai di tempat itu lebih jauh, tapi Agnia bisa menanganinya.

Selama hampir dua minggu itu juga Agnia tidak bertemu dengan Abian, pria itu melakukan pekerjaan ke luar kota, entah kapan dia kembali.

Dan satu lagi berita yang Agnia dengar akhir-akhir ini. Ternyata orang tua angkatnya telah ditangkap atas dugaan prostitusi yang dilakukan sejak lama, mereka juga ternyata adalah pemakai narkoba. Apa Agnia terlalu bodoh sehingga menganggap mereka terlalu sempurna selama ini, hingga tidak sadar betapa mereka begitu diselimuti oleh lumpur kotoran?

“Senang bisa melihatmu kembali tertawa, Agnia. Kamu tahu aku sangat khawatir karena melihat kamu yang sering menyendiri akhir-akhir ini.”

Agnia baru saja pulang dari Universitasnya dan kini sedang berjalan dengan seorang teman wanita dari jurusan yang berbeda.

“Beberapa waktu lalu aku hanya sedang mengalami masalah, tapi sekarang semuanya sudah baik-baik saja. Terima kasih karena kamu sudah mau terus menemaniku, Windy,” kata Agnia, tulus, perempuan bernama windy itu tersenyum menunjukan gigi-giginya yang kecil.

“Jemputanku sudah datang, kamu yakin tidak ingin aku antar?” tanya Windy.

Agnia menggeleng pelan, lantas tersenyum kecil untuk meyakinkan. “Tidak perlu,” jawabnya.

Windy menghela napas, dia tidak bisa memaksa sahabatnya jika sudah seperti ini. “Baiklah, tapi ingat, kamu harus hati-hati,” pinta Windy, sudah seperti seorang ibu yang mengkhawatirkan anaknya.

Agnia tertawa kecil melihat itu. “Baik, Bu!” Dia membentuk hormat, kemudian mereka tertawa bersama untuk beberapa saat.

Namun Agnia tidak sadar, dari kejauhan sudah ada seseorang yang memperhatikannya dengan begitu tajam. Kubu-kubu jarinya bahkan sudah memutih karena terus mengepal.

“Sepertinya kamu sudah terlalu lama bersenang-senang, Sayang. Aku jadi tidak sabar untuk bisa mengikatmu agar berada disisiku.” Pria itu menunjukkan seringai kecil di bibirnya. Saat jendela pintu mobil tertutup, dia pergi dengan isi kepala yang sudah dipenuhi segala macam rencana, menunggu waktu yang tepat untuk bisa segera dilakukan.

1
Jam Jam
ceritanya bagus ka, dilanjut ya kak. Semangaaat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!