Kitty adalah gadis sederhana yang bekerja di toko keluarganya, menjual angsa bakar. Hidupnya berubah saat Calvin Hernandez, pria kaya dan dingin, mengajukan permintaan mengejutkan, "Jadi pacarku!" Meski hatinya sudah terpaut pada pria lain, Kitty menolak tanpa ragu.
Namun, Calvin tidak menyerah. Dengan segala pesona dan kekayaannya, ia mencoba memasuki dunia Kitty, menunjukkan sisi lembut yang tak terduga. Kitty berada di persimpangan sulit: setia pada cinta lamanya atau membuka hati untuk Calvin yang ternyata memiliki perasaan mendalam padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Calvin Pingsan
Kitty yang mengusik pria itu sengaja menyentuhnya, membuat Calvin semakin kesal.
"Jangan sentuh aku!" bentak Calvin, menepis tangan gadis itu.
"Aku ingin sentuh wajahmu juga," ucap Kitty, mencubit wajah pria itu dengan kedua tangannya.
Calvin menepis tangan gadis itu dan merasa risih. "Singkirkan tanganmu, dasar virus!" bentak Calvin.
"Aku sudah menyentuh tanganmu, dadamu, serta wajahmu. Apakah kamu akan operasi wajahmu juga?" tanya Kitty sambil tersenyum.
"Setelah aku keluar dari sini, aku akan menuntutmu dan kau harus bertanggung jawab atas kejadian hari ini," kecam Calvin.
"Kamu cukup tampan. Sepertinya sungguh menyenangkan memainkan wajahmu," kata Kitty dengan sengaja.
Calvin menghela napas, mencoba menenangkan diri. "Kamu ini gila, tahu tidak?"
Kitty tertawa kecil. "Mungkin sedikit, tapi itu membuat hidup lebih menarik, bukan?"
Calvin hanya bisa menggelengkan kepala, setengah marah, sambil menahan emosi,"Kalau aku tidak keluar dari sini dalam waktu dekat, aku benar-benar akan gila. Jadi, bisakah kita fokus mencari cara keluar?"
"Aku ada caranya," ujar Kitty dengan semangat, matanya bersinar penuh keyakinan.
"Cara apa?" tanya Calvin, suaranya penuh curiga. Dia melihat Kitty berlari mendekati pintu dengan langkah cepat.
"Buka pintunya... buka pintu... tolong ada kebakaran di gudang kalian...," teriak Kitty dengan nada tinggi, suaranya menggema di ruangan sempit itu. Dia berharap kebohongannya akan membuat seseorang datang untuk membuka pintu dan membebaskan mereka.
Calvin menatap tajam pada gadis itu, semakin risih dengan kelakuannya yang tidak terduga. Dia merasa tindakan Kitty hanya akan menimbulkan masalah baru.
"Lebih baik diam daripada menimbulkan keributan," ujar Calvin tegas, mencoba menenangkan situasi.
"Bagaimana kalau kita bakar saja gudangnya? Mungkin setelah mereka melihat asapnya mereka akan datang?" tanya Kitty dengan nada serius, matanya bersinar dengan ide gilanya.
"Apa yang ada di dalam kepalamu? Mungkin sebelum mereka menyadarinya, kita sudah mati duluan di sini," jawab Calvin dengan nada sarkastis, sambil memeriksa handphonenya yang tidak ada sinyal. Dia menghela napas, frustrasi dengan keadaan mereka.
"Pasti tidak akan lama, kita tunggu saja di sini," ucap Kitty yang kemudian duduk di lantai, berusaha tetap tenang.
"Di sini tidak panas walau tidak ada jendela, kenapa malah dingin, ya?" tanya Kitty sambil melirik ke arah gudang itu. Dia merasa ada sesuatu yang aneh, tetapi tidak bisa menjelaskan perasaannya.
Calvin mengabaikan gadis itu, hanya fokus pada handphonenya yang terus-menerus kehilangan sinyal. Dia merasa putus asa dengan kurangnya komunikasi dengan dunia luar.
"Tidak usah lihat lagi, kita berada di ruang bawah tanah. Pasti tidak ada jaringan," kata Kitty dengan nada yakin, seolah-olah dia tahu segalanya.
Calvin hanya menghela napas lagi, merasa semakin frustrasi."Setiap kali bertemu denganmu, pasti tidak ada hal baik," gerutu Calvin, mengingat semua masalah yang pernah terjadi saat mereka bersama.
"Apakah kamu bersifat sombong kepada semua orang?" tanya Kitty, mencoba memprovokasi Calvin untuk mendapatkan reaksi.
"Setelah keluar, Kita jangan bertemu lagi!" kata Calvin dengan tegas.
"Susah dipastikan juga, Bagaimana kalau tiba-tiba bertemu di jalan?" tanya Kitty.
"Apapun itu, jangan sampai ada yang tahu, kita dikurung di sini. Apa kau mengerti?" tanya Calvin dengan nada tegas.
Di sisi lain, Robin dan Maggie sedang mondar-mandir di ruang tamu, menunggu kepulangan putri mereka dengan cemas.
Di tangan Maggie terlihat rotan yang sering dia gunakan untuk menghukum putrinya itu, menggenggamnya erat-erat sebagai bentuk ketidaksabarannya.
"Kemana anak ini, sudah pukul 5 kenapa masih belum pulang?" tanya Robin yang cemas, matanya terus-menerus melirik jam dinding.
"Dia pasti melarikan diri lagi, ini bukan pertama kali dia melakukannya. Selalu saja tidak patuh," ucap Maggie dengan nada dingin, jelas tidak puas dengan perilaku putrinya.
"Maggie, jangan terlalu keras padanya, lebih baik kita tanya baik-baik," ujar Robin, mencoba menenangkan istrinya yang temperamental.
"William mengatakan sepertinya dia melihat Kitty di sana, tapi anak itu malah lari saat dipanggil. Pikirkan saja, kalau bukan menghindar kenapa harus lari? Seorang anak gadis tidak bisa dijinakan. Kelak harus jadi apa dia," ucap Maggie dengan nada tegas, ketidakpuasan jelas terpancar di wajahnya.
"Jangan galak-galak! Kitty masih muda, untuk apa kamu paksa dia berkencan dengan pria lain," ujar Robin.
"Aku hanya tidak ingin dia selalu bersama bocah tidak setia itu. Aku tidak tahu apa kelebihannya. William lebih tampan dan baik, selain itu kedua orang tuanya juga baik. Sedangkan orang tua Samuel selalu saja meremehkan putri kita," jawab Maggie.
Sementara Calvin mulai merasa tidak nyaman, ia menyentuh bagian dadanya. Terlihat keringat membasahi wajahnya. Ia berdiri sambil menahan tembok, napasnya semakin berat dan wajahnya semakin pucat.
"Apa kamu sakit?" tanya Kitty yang bangkit dan menghampiri pria itu, kekhawatiran jelas tergambar di wajahnya.
"Jangan mendekat!" perintah Calvin, menatap tajam pada gadis itu. Dia tidak suka didekati oleh siapapun, apalagi dalam keadaan lemah seperti ini.
"Wajahmu sudah pucat. Mungkin saja kamu tidak sehat. Kenapa kamu tidak duduk saja?" tanya Kitty lagi, mencoba menawarkan bantuan meskipun dia tahu Calvin tidak akan menerimanya dengan mudah.
Calvin seolah kesakitan pada bagian dadanya, ia mengeluarkan botol obat dari saku celananya dan berusaha membukanya. Namun, tangannya gemetar dan botol tersebut jatuh ke lantai.
Calvin terkapar, kesakitan dan tidak berdaya.
"Hei, bangun! Apa kamu baik-baik saja?" tanya Kitty dengan cemas, mengambil botol obat yang terjatuh. Ia menuangkan sebutir obat tersebut ke tangan dan mencoba memberikannya kepada Calvin.
"Ini obatnya, cepat telan!" seru Kitty, menepuk wajah Calvin dengan perlahan, berharap bisa menyadarkannya.
"Tuan Sombong, bangun. Kenapa kamu malah pingsan di sini? Apakah tidak bisa pingsan saat pulang ke rumahmu?" ucap Kitty dengan nada cemas.
Kitty memeriksa Calvin apakah masih bernafas dengan dua jarinya, meletakkannya di bawah hidung pria itu. Tidak ada napas.
Panik mulai menyelimuti dirinya."Hah, kenapa tidak bernafas? Apakah dia meninggal?" tanya Kitty pada dirinya sendiri, mendekatkan telinganya ke dada Calvin. Tidak ada detak jantung.
"Gawat! Dia meninggal," ucapnya dengan cemas, mulai merasa putus asa. Namun, dia segera mengingat pelatihan pertolongan pertama yang pernah diajarkan di sekolah. Dengan cepat, dia mengambil posisi dan menekan bagian dada Calvin dengan perlahan, berusaha memompa jantungnya.
"Ayo, sadarlah!" serunya sambil terus melakukan penekanan pada dada Calvin, berusaha menghidupkan kembali pria itu..Selain menekan dada, Kitty tahu bahwa dia juga harus memberikan pernapasan buatan dari mulut ke mulut.
Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Calvin, merasa ragu sejenak, tetapi kemudian melakukannya. Kitty melakukan pernapasan dari mulut ke mulut berulang kali, berhenti sesekali untuk memeriksa apakah ada tanda-tanda kehidupan. Dia tidak menyerah, terus berusaha semaksimal mungkin. Dengan setiap napas yang dia berikan, dia berharap bisa menyelamatkan Calvin.
"Tuan Sombong, cepat sadar!" serunya sambil menekan dada pria itu tanpa henti. Kitty juga memberi napas dari mulut ke mulut pria itu, berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkannya.
Kitty melakukannya selama beberapa menit, tanpa henti. Perlahan, mata Calvin mulai terbuka, dan dia merasakan sentuhan lembut bibir Kitty yang penuh kehangatan dan kepanikan. Napasnya yang terputus-putus mulai kembali normal, tetapi dia masih terlalu lemah untuk berbicara atau bergerak.
Kitty kemudian menatap pria itu yang sedang menatapnya.
"Kamu sudah sadar? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Kitty dengan polos, memeriksa pernapasan Calvin dengan dua jarinya.
Napasnya teratur, namun dia masih terbaring diam menatap Kitty.
"Sudah bernafas! Tapi kenapa kamu diam saja? Coba kamu bicara lagi atau kamu tidak bisa bicara?" tanya Kitty yang menatap pria itu dengan jarak dekat, keheranan terlihat jelas di wajahnya.
Calvin yang masih berbaring diam, menatap gadis itu. Dia baru saja kembali dari ambang kematian, dan usaha Kitty menyelamatkannya telah membuatnya terharu.
"Kamu masih diam? Atau mungkin napas yang kuberikan tidak cukup?" ucap Kitty sambil menggaruk kepalanya, bingung dan cemas.
Kitty, tanpa menyadari bahwa Calvin sudah sadar sepenuhnya, melanjutkan memberi napas kepadanya dari mulut ke mulut. Dia begitu fokus pada upayanya untuk menyelamatkan Calvin sehingga dia tidak memperhatikan bahwa pria itu sudah mulai menggerakkan tangannya.
Calvin perlahan mengangkat tangannya dan menyentuh kepala gadis itu.
ngehaluin mereka berdua bikin guemesss plus ngakak dengan kekonyolannya 😅😅😅
Pacaran ada batasan. Setelah menikah ya menikah bukan pacaran setelah menikah. Pacaran kan bisa putus kapan aja...beda dg menikah.... hmm.ya gitulah