Sejak Menolong pria bernama Reyvan, nasib Annira berubah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marlita Marlita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lelaki Nekat
Anira dipanggil oleh Reyvan dari luar berkali-kali tetapi tidak ada sedikitpun ia berniat keluar dan menemui lelaki itu. Ia akan membiarkannya di luar sana, berharap setelah lelah, lelaki itu pergi dengan sendirinya. Anira hanya memantau dari jendela, Reyvan yang berdiri di luar pagar di bawah teriknya panas matahari menunggunya. Sebenarnya Anira tidak tega melihatnya kepanasan dengan wajah merah dan penuh keringat, tetapi ia harus melakukannya, ia tidak ingin bertemu Reyvan.
“Sial! Jangan salahkan gue kalau gue nekat.” Ucap Reyvan sudah habis kesabaran lalu memanjat pagar, tidak peduli para tetangga melihat pergerakan tidak sopan sembarangan memanjat pagar, siapa suruh Anira tidak mendengarkannya.
Anira tercengang ketika membuka kembali tirai dari dalam, lelaki berseragam SMA dari sekolah lain sudah lolos memanjat pagar asramanya dengan mudah.
“Mati! Dia cowok gila yang nekat. Tolol! Gak punya otak apa.” Maki Anira dari dalam, ia melupakan ketakutannya atas rasa trauma kemarin, sekarang saatnya ia keluar menemui lelaki lancang itu dengan penuh amarah.
“Kamu nggak sopan banget, kenapa manjat pagar?” Anira menetap Reyvan dengan muka masamnya, mereka saling beradu wajah. Wajah masam Anira bertemu dengan wajah manis Reyvan yang sedang tersenyum melihatnya.
“Lagian tadi dipanggil baik-baik gak mau dengar. Pura-pura tuli di dalam, gue tau lo ngintip dari jendela itu kan?” Reyvan menunjuk satu-satunya jendela di dekat pintu yang gelap ditutupi gorden warna cokelat dari dalam. Anira tidak mendengarkan ucapan lelaki itu, dibenaknya sudah mantap akan meletuskan amarahnya.
“Kamu tolol, gak punya malu. Tetangga pada liat, mungkin sebentar lagi pak rt datang. Bikin malu tau gak?” Anira mendorong tubuh lelaki itu menjauh tetapi lelaki itu dengan tenang memperbaiki jaket kulit berwarna hitam menutupi seragam SMA miliknya yang sempat berantakan saat Anira mendorongnya disertai senyuman getir.
“Bodo amat.” Jawabnya ringan dan semakin membuat Anira kesal. Pikiran Anira mulai tidak tenang dan benar-benar tepat rasanya lelaki di depannya bukan laki-laki benar, jelas dari sikapnya anak ini sangat nakal pantas saja kemarin dipukul warga.
“Kamu akan membuat masalah.” Ujar Anira dengan suara meninggi.
“Sudah sering, tapi nggak apa-apa. Aku nggk datang nggak sendiri kok. Dari jauh ada pengikutku udah setia berkorban buat ngantri ke rumah sakit.”
Anira membelalakkan matanya tak percaya lelaki di depannya setegap ini dengan sifat badboynya.
“Kamu benar-benar gila. Sebenarnya apa tujuan kamu kemari?” Anira sudah melihat ke sekeliling takut akan ada tetangganya melihat ataupun mengintip mereka dari celah pagar.
“Mau ajak kamu ke suatu tempat.”
“Ke mana? Aku nggak mau.” Anira mengikat kata 'suatu tempat' terucap lagi terkesan terulang lalu ia menepis muka gusarnya ke luar pagar.
“Kenapa liat keluar pagar, liat aku yang super ganteng dong.” Goda Reyvan membuat Anira mencibir, lelaki itu terlalu percaya diri. Memang sih dia ganteng tapi Anira tidak bisa mengakuinya sekarang.
Suara pintu gerbang yang terbuat dari besi dibuka dari luar membuat Anira panik sementara Reyvan tak bergeming sedikitpun, lelaki itu terlihat santai saja tidak berniat menoleh ke belakang melihat pintu gerbang yang perlahan terbuka.
“Kamu cepat sembunyi, matilah aku kalau bu Wini tahu.” Anira membayangkan muka masam ibu asramanya yang kemudian akan memarahinya.
“Santai aja, gak usah panik amat.” Kata Reyvan ringan bahkan ketika bu Wini, orang yang ditakutkan Anira sudah terlihat jelas muncul melihat Anira terpaku ketakutan Reyvan masih santai sembari menoleh ke arah bu Wini.
“Selamat siang bu.” Reyvan bahkan menyalami bu Wini, Anira tercengang melihat bu Wini tersenyum ramah ketika Reyvan menyalami tangannya. Aneh! Anira menyusul untuk bergabung dengan mereka.
“Anira kamu sudah sembuh?” Ibu Wini meletakkan telapak tangannya di dahi Anira, terpaksa Anira tersenyum manis dengan perlakuan hangat ini.
“Belum bu, maaf ya ini mungkin gara-gara saya kemarin lama mengantarnya pulang. Jadi dia sampai sakit, karna itu hari ini saya datang untuk membawa Anira ke rumah sakit.” Bukannya Anira yang menjawab, malah Reyvan yang mengambil alih hak bicara Anira sehingga gadis itu hanya diam.
“Oh baiklah kalau niat baikmu membuat Anira sembuh silakan!” ibu Wini dengan mudahnya memberi ijin.
“Apa? Bu tapi aku-“ ucap Anira gantung, kala Reyvan menggenggam jemarinya dengan santai.
“Anira, daripada kamu sakit dan sendirian di asrama.” Ucap Bu Wini.
“Oke Bu, aku bawa Anira ya.” Reyvan dengan senang hati menggandeng tangan gadis itu.
“Nggak mau.” Anira ingin melepaskan jemarinya dari Reyvan, sayang sekali sulit untuk di lakukan.
“Bye Bu.” Reyvan menyeret paksa Anira bersamanya secara egois setelah bersalaman dan mendapat ijin dari Bu Wini.
“Apa maumu. Jangan membuat masalah baru lagi di hidupku, aku capek.” Anira melepaskan kaitan tangan mereka.
“Aku sudah mendapat ijin, ayo.” Reyvan menyuruh Anira naik ke atas motor.
“Nggak pokoknya aku nggak mau pergi sama kamu.” Kekeh Anira sehingga membuat Reyvan turun kembali dari motornya berniat merengkuh Anira yang keras kepala.
“Ehh apa-apaan ini.” Reyvan sudah mengangkat Anira ke atas motor dengan entengnya, seringan itukah Anira?
“Udah duduk manis aja kita berangkat.” Reyvan menaiki motornya kemudian melaju meninggalkan halaman asrama. Hati Anira berkecamuk hebat, saat motor melaju ingin sekali rasanya ia melompat agar bisa kabur dari Reyvan.
“Tuhan, semoga tidak akan terjadi apa-apa denganku. Kalau dia macam-macam aku ijin kepada-Mu untuk membunuh pria ini.” Batin Anira.
Dari kaca spion sebenarnya Anira sudah mencuri pandang wajah tampan lelaki itu, tetapi karena perasaan waspadanya, ia tidak bisa menikmati ketampanan Reyvan.
“Pegangan, awas saja kalau berniat buat loncat. Kamu tidak akan kulepaskan dan kukembalikan ke asrama.” Kecam Reyvan.
“Kamu mengancamku?” Anira kesal, namun bertepatan dengan kejahilan Reyvan menambah kecepatan mengendaranya membuat Anira terkejut dan secara refleks melingkarkan kedua tangannya di pinggang Reyvan.
“Gini dari tadi kan aman.” Tutur Rey dengan senyuman semringah.
"Kamu sengaja bikin aku hampir jatuh?" Kesal Anira tetapi mendapati pertanyaannya tidak digubris. Ingin sekali rasanya membilas perut lelaki itu dengan kedua tangannya namun di pikir-pikir ini membahayakan nyawa mereka.
Sesampainya di depan bangunan bertingkat yang belum pernah Anira datangi, tetapi Anira sudah tahu kalau bangunan ini adalah apartemen. Kenapa Reyvan membawanya kemari?
“Ayo ikut, aku tahu kamu tidak sakit. Jadi aku tidak harus membawamu ke rumah sakit.” Ujar Reyvan sembari menggenggam tangan Anira menuntunnya menuju bangunan mewah itu.
“Jangan macam-macam ya. Kalau nggak, aku akan teriak.” Anira sudah menunjukkan muka pucatnya karena takut, ini kali pertamanya dibawa pria ke apartemen, tentu ia harus waspada.
“Perasaan sebelumnya aku sudah menjadi orang baik, bermula dari mengupas buah-buahan untukmu, saat kamu sekarat di rumah sakit tidak pernah aku melalukan perbuatan jahat.”
“Itukan rumah sakit, dan ini apartemen.” Protes Anira.
“Siapa suruh mengusik hidupku.” Gumam Reyvan membawa paksa Anira menuju lift.
Bahkan di dalam lift Anira masih ketakutan, ketakutan yang bertambah karena baru pertama kali menginjakkan kakinya disana. Lantas Reyvan yang melihat muka pucat dan mulut bungkam gadis itu sontak merangkulnya. Anira tidak menolak rangkulan Reyvan, jujur lebih aman dan reda rasa takutnya ketika rangkulan itu seakan memberi penenangan.
“Takut naik lift?” batin Reyvan tersenyum getir melihat gadis patuh di dalam rangkulannya.