Liu Wei, sang kultivator bayangan, bangkit dari abu klannya yang dibantai dengan Pedang Penyerap Jiwa di tangannya. Dibimbing oleh dendam dan ambisi akan kekuatan absolut, dia mengarungi dunia kultivasi yang kejam untuk mengungkap konspirasi di balik pembantaian keluarganya. Teknik-teknik terlarang yang dia kuasai memberinya kekuatan tak terbayangkan, namun dengan harga kemanusiaannya sendiri. Di tengah pertarungan antara takdir dan ambisi, Liu Wei harus memilih: apakah membalas dendam dan mencapai keabadian lebih penting daripada mempertahankan sisa-sisa jiwa manusianya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pralam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Resonansi Takdir
Waktu kembali mengalir, membawa bersamanya gelombang kejut energi spiritual yang meledak dari tubuh Liu Wei. Para tetua Sekte Awan Hitam yang masih berdiri terhempas, menabrak pilar-pilar kuno Kuil Seribu Kabut.
Liu Wei berdiri tegak, Pedang Penyerap Jiwa yang kini bersinar dengan cahaya keemasan terangkat di depannya. Retakan di permukaannya telah lenyap sepenuhnya, digantikan oleh ukiran-ukiran kuno yang berpendar dengan energi murni.
"Tidak mungkin," salah satu tetua berbisik, wajahnya pucat pasi. "Pedang itu... telah memilih."
Guru Feng tersenyum bangga, meski Liu Wei bisa melihat kelelahan di wajahnya. "Memang sudah waktunya."
Liu Wei merasakan... perubahan dalam dirinya. Pengetahuan dan ingatan yang bukan miliknya mengalir dalam benaknya seperti sungai tak terbendung. Teknik-teknik kultivasi kuno, rahasia-rahasia yang telah hilang dalam kabut sejarah - semuanya kini ada dalam genggamannya.
"Wei'er," Biksu Hui Chen berkata, matanya yang putih seolah menembus jiwa Liu Wei. "Kau telah membuka segel pertama. Tapi ingat, dengan kekuatan besar..."
"...datang tanggung jawab yang lebih besar," Liu Wei menyelesaikan kalimatnya, suaranya bercampur dengan gema suara lain - suara Kaisar Bayangan. "Aku tahu."
Salah satu tetua - yang tampaknya adalah pemimpin mereka - melangkah maju. "Kau pikir ini mengubah segalanya, Anak Muda? Kau pikir dengan membuka segel pertama, kau bisa menghentikan apa yang telah ditakdirkan?"
Liu Wei menggeleng. "Tidak. Tapi ini mengubah caraku melihat takdir itu."
Dengan gerakan yang bahkan membuat Guru Feng terkesiap, Liu Wei menghunuskan Pedang Penyerap Jiwa ke tanah kuil. Seketika, lingkaran formasi rumit muncul di sekitar mereka, bersinar dengan cahaya yang sama dengan pedang itu.
"Formasi Pengadilan Seribu Bayangan," Guru Feng berbisik takjub. "Bahkan dalam legenda, hanya Kaisar Bayangan yang bisa..."
"Aku, Liu Wei, pewaris sah Klan Liu dan pemegang Pedang Penyerap Jiwa," Liu Wei berkata, suaranya bergema dengan otoritas yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri, "meminta pengadilan atas kejahatan Sekte Awan Hitam terhadap klanku."
Para tetua mencoba bergerak, tapi formasi itu menahan mereka di tempat. Bahkan kabut di sekitar mereka seolah memadat, menjadi saksi bisu atas momen bersejarah ini.
"Kalian mencari wadah untuk ritual kalian," Liu Wei melanjutkan, matanya menyapu para tetua satu per satu. "Kalian menciptakan monster dari seorang anak yang kehilangan segalanya. Tapi yang tidak kalian sadari..." dia mengangkat pedangnya, membiarkan cahaya keemasannya menyinari wajah para tetua, "...adalah bahwa takdir memiliki rencananya sendiri."
Mendadak, Pedang Penyerap Jiwa berdenyut, mengirimkan gelombang energi yang membuat Liu Wei terhuyung. Guru Feng segera menangkap lengannya.
"Segel kedua," dia berbisik cemas. "Kau belum siap, Wei'er."
Liu Wei mengangguk, menahan rasa sakit yang mulai menjalar dari pedang ke seluruh tubuhnya. Di benaknya, suara Kaisar Bayangan berbisik peringatan: *"Hati-hati, Penerus. Ada harga yang harus dibayar untuk setiap rahasia yang terungkap."*
"Cukup!" pemimpin para tetua berteriak. "Kau pikir kau bisa mengadili kami? Kami yang telah menjaga keseimbangan dunia kultivasi selama ribuan tahun? Kami yang--"
Kata-katanya terpotong saat Biksu Hui Chen melangkah maju, tongkatnya terangkat. "Keseimbangan, katamu? Berapa banyak darah yang telah kalian tumpahkan atas nama 'keseimbangan' ini?"
"Hui Chen," tetua itu mendesis. "Kau melanggar sumpah netralitasmu."
"Tidak," biksu itu menggeleng. "Aku menegakkannya. Kuil ini adalah saksi atas kejahatan dan keadilan. Dan hari ini..." dia menoleh pada Liu Wei, "...keadilan telah memilih sisinya."
Liu Wei memejamkan mata, membiarkan pengetahuan dari pedang mengalir dalam benaknya. Saat dia membuka mata, ada resolusi baru dalam tatapannya.
"Aku tidak akan membunuh kalian," dia berkata, mengejutkan semua yang hadir. "Karena itu akan membuat kematian keluargaku sia-sia. Sebaliknya..." dia mengangkat Pedang Penyerap Jiwa, membiarkan cahayanya menyinari seluruh area kuil, "...aku akan membuka mata dunia tentang kebenaran di balik Sekte Awan Hitam."
Dengan satu ayunan pedang, Liu Wei memecah formasi yang menahan para tetua. Mereka jatuh berlutut, energi spiritual mereka terkuras oleh Formasi Pengadilan.
"Pergi," Liu Wei memerintahkan. "Tapi ingat - mulai hari ini, setiap langkah kalian, setiap rencana kalian... akan kuawasi. Pedang Penyerap Jiwa telah memilih, dan dengan itu, takdir telah ditetapkan."
Para tetua perlahan mundur, menghilang ke dalam kabut yang kini mulai menipis. Menyisakan Liu Wei, Guru Feng, dan Biksu Hui Chen di halaman kuil yang kini sunyi.
"Wei'er," Guru Feng akhirnya berkata setelah keheningan yang panjang. "Kau tahu ini baru permulaan, bukan?"
Liu Wei mengangguk, matanya masih menatap ke arah para tetua menghilang. "Ya. Dan kali ini..." dia menggenggam erat Pedang Penyerap Jiwa, merasakan resonansi antara jiwanya dan jiwa para pendahulunya, "...aku siap."
Karena dia tahu - takdir mungkin telah memilihnya, tapi pilihan tetap ada di tangannya.
Dan Liu Wei telah memilih untuk menjadi cahaya di tengah kegelapan yang telah terlalu lama menyelimuti dunia kultivasi.