Kembali lagi mommy berkarya, Semoga kalian suka ya.
Mahreen Shafana Almahyra adalah seorang ibu dari 3 anak. Setiap hari, Mahreeen harus bekerja membanting tulang, karena suaminya sangat pemalas.
Suatu hari, musibah datang ketika anak bungsu Mahreen mengalami kecelakaan hingga mengharuskannya menjalani operasi.
"Berapa biayanya, Dok?" tanya Mahreen, sebelum dia menandatangani surat persetujuan operasi.
"500 juta, Bu. Dan itu harus dibayar dengan uang muka terlebih dahulu, baru kami bisa tindak lanjuti," terang Dokter.
Mahreen kebingungan, darimana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?
Hingga akhirnya, pertolongan datang tepat waktu, di mana CEO tempat Mahreen bekerja tiba-tiba menawarkan sesuatu yang tak pernah Mahreen duga sebelumnya.
"Bercerailah dengan suamimu, lalu menikahlah denganku. Aku akan membantumu melunasi biaya operasi, Hanin," ucap Manaf, sang CEO.
Haruskah Mahreen menerima tawaran itu demi Hanin?
Atau, merelakan Hanin meninggal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Hanin Sadar
Akhirnya, siang itu Hanin mulai membuka matanya. Mahreeen, yang sejak pagi duduk di sisi tempat tidur anaknya, tertegun melihat kelopak mata Hanin perlahan terbuka. Dengan air mata kebahagiaan, Mahreeen langsung memeluk anaknya.
“Hanin... sayang, ibu di sini. Ibu ada untukmu,” suara Mahreeen bergetar, menahan haru.
Hanin, meskipun masih lemah, tersenyum kecil.
“Ibu... aku... aku kangen,” suaranya terdengar serak, namun penuh kasih sayang.
Mahreeen mencium dahi anaknya dan terus berucap syukur dalam hati. Alhamdulillah, sayang. Alhamdulillah kamu kembali sadar.
Manaf yang berada di belakang Mahreeen turut merasa lega melihat Hanin sudah sadar. Dia perlahan mendekat, menepuk bahu Mahreeen dengan lembut.
“Kamu kuat sekali, Hanin. Kami semua sangat bangga padamu,” ucap Manaf dengan senyum hangat.
Setelah dokter memeriksa Hanin, Manaf dipanggil ke ruangan dokter untuk mendiskusikan kondisi Hanin lebih lanjut. Mahreeen tetap di sisi Hanin, menggenggam erat tangan anaknya. Hanin kemudian membuka mulut, bercerita tentang sesuatu yang mengganggu pikirannya.
“Ibu...”** panggil Hanin dengan nada lemah.
“Ada apa, sayang?” Mahreeen menjawab sambil mengusap tangan Hanin.
“Aku... aku bermimpi aneh, Bu...,” suara Hanin pelan, matanya mulai basah.
Mahreeen merapatkan duduknya di tepi tempat tidur Hanin, memandang penuh perhatian.
“Mimpi apa, Hanin? Ceritakan pada ibu,” tanyanya lembut.
“Aku mimpi... Bapak datang dan membawa aku pergi jauh... menjauh dari ibu dan kakak kakakku. Dia bilang aku nggak bisa tinggal sama ibu lagi, aku menangis Bu. Aku ga mau pisah dengan kalian,” ucap Hanin, suaranya bergetar menahan isak.
Mahreeen menelan ludah, hatinya seperti diremas mendengar kata kata Hanin. Dia berusaha keras menahan air matanya agar tak jatuh.
“Itu hanya mimpi, sayang. Ibu akan selalu ada di sini bersamamu, tak ada yang bisa memisahkan kita. Percayalah,” jawab Mahreeen, berusaha meyakinkan Hanin meski dalam hatinya ada kekhawatiran yang dia sembunyikan.
“Tapi... tapi kenapa aku merasa takut, Bu? Aku takut Bapak benar benar akan memisahkan kita...,”** Hanin melanjutkan, air matanya mulai jatuh.
Mahreeen memeluk Hanin dengan erat, berusaha menenangkan putrinya yang sedang ketakutan.
“Dengar ya, sayang... apapun yang terjadi, ibu akan selalu melindungi kamu. Tidak ada yang bisa mengambil kamu dari ibu. Ibu akan berjuang untuk kita, untuk kamu dan kakak kakakmu,” ucap Mahreeen dengan penuh ketegasan, meskipun hatinya masih terasa berat.
“Janji, Bu?” tanya Hanin dengan suara kecil.
“Ibu janji, Hanin. Ibu janji,” jawab Mahreeen, mencium kepala anaknya penuh cinta.
"Bu, siapa Om yang tadi?" Tanya Hanin yang baru ingat.
***
Sementara itu, di ruangan dokter, Manaf sedang mendengar kabar mengejutkan tentang kondisi Hanin.
“Tuan Manaf, ada sesuatu yang harus Anda ketahui tentang kondisi Hanin,” jelas dokter memulai dengan nada hati hati.
Manaf mengerutkan kening, firasat buruk mulai menghampirinya. “Apa itu, Dokter? Ada masalah serius?” tanyanya dengan cemas.
Dokter mengangguk pelan.
“Hanin mengalami kelumpuhan sementara pada kakinya akibat operasi dan trauma yang dialaminya. Ini bukan sesuatu yang permanen, tapi butuh terapi intensif untuk membantunya pulih. Kami yakin dia bisa kembali berjalan, namun prosesnya bisa memakan waktu, tergantung pada bagaimana tubuhnya merespon terapi.” jelas Dokter itu.
Manaf terdiam sejenak, mencerna kabar tersebut.
“Berapa lama waktu yang diperlukan? Apa ada peluang besar dia bisa sembuh total?” tanyanya serius.
Dokter mengangguk.
“Dengan semangat hidup yang kuat dan terapi yang konsisten, peluang kesembuhan sangat besar. Tapi seperti yang saya katakan, prosesnya tidak singkat. Mungkin beberapa bulan hingga setahun, tergantung pada progresnya.” jawabnya.
Manaf menarik napas panjang.
“Saya ingin yang terbaik untuk Hanin. Lakukan apa pun yang diperlukan, saya tidak peduli berapa lama. Yang penting dia bisa berjalan lagi dan menikmati hidupnya seperti dulu,” tegas Manaf.
“Kami akan melakukan yang terbaik, Tuan. Tapi dukungan dari keluarga, terutama dari ibunya, sangat penting untuk kesembuhan Hanin,” ucap dokter.
"Anda tidak perlu khawatir, karena Hanin akan selalu di dampingi keluarganya." tegas Manaf.
Setelah pertemuan itu, Manaf keluar dari ruangan dokter dengan pikiran berat.
Bagaimana dia akan menyampaikan kabar ini pada Mahreeen? Bagaimana caranya agar tidak membuat Mahreeen kembali tenggelam dalam kesedihan?
Di saat yang bersamaan, Malika mendekat dengan langkah tenang.
“Tuan Manaf, apakah Anda baik baik saja? Anda tampak cemas,” tanya Malika dengan nada lembut bukan mau mengambil hatinya tapi memang dia sama dengan Olaf peka dan sigap sebagai bawahan yanh handal.
Manaf menoleh, menyembunyikan rasa khawatir di balik senyum tipis.
“Hanin... dia butuh terapi untuk bisa berjalan lagi. Tapi aku belum tahu bagaimana caranya memberitahu Mahreeen,” ucapnya dengan suara rendah.
Malika menatap Manaf sejenak, lalu memberikan saran. “Mungkin kita bisa memberitahunya perlahan, Tuan. Jangan langsung mengatakan bahwa Hanin lumpuh, tapi fokuskan pada kabar baik bahwa ada harapan besar dia bisa pulih dengan terapi. Kita bisa memotivasi Mahreeen untuk terus memberikan semangat pada Hanin.” idenya.
“Kamu benar, Malika. Itu akan lebih baik daripada membuat Mahreeen terpuruk. Terima kasih atas sarannya.” ucap Manaf mengangguk, menyetujui ide tersebut.
***
Sementara itu, Mahreeen dan Hanin terus berbicara. Meskipun hatinya masih dihantui ketakutan tentang Peros dan masa depan anak anaknya, Mahreeen berusaha memberikan yang terbaik untuk Hanin.
“Bu... aku takut...,” ucap Hanin tiba tiba, kembali mencari tangan ibunya.
“Kenapa takut, sayang? Kamu aman di sini, ibu akan selalu bersamamu,” jawab Mahreeen, menggenggam tangan Hanin dengan lembut.
“Aku takut kalau nanti aku nggak bisa jalan lagi...,” ucap Hanin pelan, menunduk.
Deg!
Apa katanya? Takut ga bisa jalan lagi? Batin mahreeen.
Mahreeen terdiam, merasa dadanya sesak. Dia mencoba menutupi rasa cemasnya dengan senyum lembut.
“Kamu pasti bisa jalan lagi, Hanin. Kamu hanya perlu istirahat dan menjalani terapi, dan ibu akan ada di sampingmu, menyemangati kamu setiap hari. Jangan takut, ya, sayang.” pinta Mahreeen.
“Tapi... tapi bagaimana kalau aku nggak bisa? Apa ibu akan tetap sayang sama aku?” tanya Hanin dengan mata berkaca kaca.
Mahreeen langsung memeluk Hanin erat erat, menahan air mata yang ingin tumpah.
“Kamu tetap anak ibu, apapun yang terjadi. Ibu akan selalu sayang sama kamu, lebih dari apapun. Jangan pernah ragu tentang itu, sayang.” mencium kepala Hanin terus menerus seolah untuk membuatnya tenang. Bahkan mungkin untuk dirinya sendiri juga.
Di luar kamar, Manaf melihat momen itu dan merasa hatinya teriris. Dia bertekad untuk memberikan yang terbaik untuk keluarga ini, untuk Hanin dan terutama untuk Mahreeen. Apa pun yang terjadi, dia tak akan membiarkan Mahreeen merasa sendirian lagi. Manaf masuk dan mendekat pada mereka yanh saling memeluk.
"Kamu tidak perlu takut, Hanin yang cantik. Kamu bisa melalui ini bahkan bukan berjalan saja tapi berlari lagi. Aku sangat yakin itu," ucap Manaf.
"Apa benar Ibu? Yang dikatakan Om itu?" tanya Hanin yang tersenyum.
Mahreeen hanya menganggukkan saja kepalanya karena air matanya terus mengalir tidak bisa dk hentikannya. Antara bahagia dan kesedihan berbaut menjadi satu diwaktu bersamaan.
...****************...
Hi semuanya!!! Jangan lupa tinggalkan jejak kalian ya.
bentar lagi up ya di tunggu
Yang suka boleh lanjut dan kasih bintang ⭐⭐⭐⭐⭐
Dan yang ga suka boleh skip aja ya.
Terima kasih para raiders ku.