Marina, wanita dewasa yang usianya menjelang 50 tahun. Telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk keluarganya. Demi kesuksesan suami serta kedua anaknya, Marina rela mengorbankan impiannya menjadi penulis, dan fokus menjadi ibu rumah tangga selama lebih dari 27 tahun pernikahannya dengan Johan.
Tapi ternyata, pengorbanannya tak cukup berarti di mata suami dan anak-anaknya. Marina hanya dianggap wanita tak berguna, karena ia tak pernah menjadi wanita karir.
Anak-anaknya hanya menganggap dirinya sebagai tempat untuk mendapatkan pertolongan secara cuma-cuma.
Suatu waktu, Marina tanpa sengaja memergoki Johan bersama seorang wanita di dalam mobilnya, belakangan Marina menyadari bahwa wanita itu bukanlah teman biasa, melainkan madunya sendiri!
Akankah Marina mempertahankan pernikahannya dengan Johan?
Ini adalah waktunya Marina untuk bangkit dan mengejar kembali mimpinya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#30
#30
Dalam perjalanan pulang kembali ke rumah Farida, Marina hanya melamun, sementara sopir taksi yang membawa Marina hanya diam sambil terus membawa kendaraannya melaju menuju lokasi tujuan.
Rasanya sudah habis air matanya, seiring dengan semakin memudarnya perasaan Marina terhadap Johan. Ingin sekali Marina membongkar semua kelakuan Johan di belakangnya, tapi apa daya ia bukan orang terpelajar yang mengerti seluk-beluk hukum.
Menyewa pengacara pun, tak terpikirkan olehnya, karena ia tak memiliki finansial yang cukup. Karena semua keuntungan yang diperolehnya selalu habis untuk mengembangkan usaha, dan menginovasi produk jualannya.
Sekarang Marina mengerti, sungguh pelik jika terlibat dalam hukum, silat lidah, sangkalan, dugaan, bahkan kebohongan rela dikemukakan demi memenangkan sebuah kasus.
Marina melihat sendiri, Diana bahkan menuduh orang tak bersalah demi memenangkan sebuah kasus. Apa setiap hari Diana harus bertindak begitu keji demi klien-kliennya?
Jika itu benar, sungguh sangat disayangkan, semakin sia-sia pengorbanan Marina mendidik Diana. Jika akhirnya anak sulungnya hanya jadi pengacara yang rela menghalalkan segala cara demi memenangkan kasusnya.
Dan Marina juga yakin, jika Johan tak berani berterus terang pada Diana tentang perbuatannya. Sejahat-jahatnya Diana, masih lebih jahat Johan yang tega berbohong, demi bisa memperalat putrinya sendiri.
Terlalu sibuk bergelut dengan pikirannya sendiri, membuat Marina tak sadar jika taksi yang ditumpanginya sudah sampai tujuan.
Setelah membayar dan mengucap terima kasih, Marina pun turun dari mobil, kedatangannya disambut senyuman Farida, yang tak sabar bertanya tentang sidang hari ini.
“Gimana, Rin?” tanya Farida, ia bahkan tak membiarkan Marina duduk diam untuk sesaat.
Marina menatap Farida, kedua matanya sendu seolah menyimpan tangis yang tak sabar untuk segera di tumpahkan.
Sebuah pelukan Farida hadiahkan tanpa banyak bertanya, ia tahu, Marina pasti sangat membutuhkannya. “Dosa apa aku, ya Allah.” Marina merintih dalam tangis sedihnya.
“Istighfar, Rin. Ayo istighfar dulu.”
Namun suara istighfar itu terkubur diantara kerasnya suara tangis Marina.
Dan sebagai teman yang baik, Farida lebih memilih menenangkan Marina daripada memaksa wanita itu menceritakan apa yang terjadi di ruang sidang.
Dulu pun Farida pernah mengalami hal yang sama, tapi saat itu Farida masih memiliki ibu yang bisa menguatkannya. Tapi kini, Marina sudah tak memiliki orang tua, saudara pun jauh, anak-anak entah apakah mereka ingat pada ibunya.
Setelah suasana kondusif, dan tangis Marina mulai reda, barulah ia bisa bercerita.
Tak jauh berbeda dengan Marina, Farida pun merasakan desakan amarah yang tak bisa ia bendung. “Anak durhaka! Jahat sungguh si Diana itu padamu. Kenapa tak kau sumpahi saja dia, hah?!”
Farida mengumpat dengan bahasa yang cukup frontal. Tak bisa ia bayangkan jika Amara yang berbuat demikian terhadapnya. Beruntung sekali Diana memiliki ibu seperti Marina, karena jika Diana adalah anak kandungnya, sudah pasti anak itu akan menjadi batu seperti malin kundang.
Marina menggeleng, “Aku mungkin bisa menyumpahi Mas Johan dengan umpatan sedemikian kasar. Tapi, sebesar apapun kesalahan anak, pintu maaf ibu tetap seluas samudra.”
Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak hanya sepenggal galah, semarah apapun Marina, ia tetap berharap Diana menyadari kesalahannya. Tidak juga ia berharap Diana mengalami nasib seperti dirinya yang diduakan suaminya sendiri.
“Iya, aku salut padamu, Rin. Semoga Allah menghadiahkan sepenggal bahagia untuk menemani hari tuamu kelak.”
“Amin, terima kasih doanya.”
“Oh iya, perihal foto yang kamu bicarakan tadi, sebenarnya foto siapa pria yang ada satu frame denganmu?”
Marina baru teringat hal itu, “Itu … adalah fotoku bersama tuan baik hati.”
Farida mengulum senyuman, melihat wajah Marina yang malu-malu manakala menyebut tuan baik hati, membuat Farida tertawa gemas. “Akui saja, walau sebenarnya kamu tak berbuat apa-apa.”
Marina terkejut mendengar respon Farida. “Apa?! Sudah hilang akal sehatmu?!” tegur Marina.
“Nggak papa, Rin, aku rela kehilangan akal sehat, asal jangan kehilangan Tuan Gusman yang baik hati.” Untuk hal gila semacam ini, Farida sangat terang-terangan.
“Wong edhan!” umpat Marina.
“Iya, anggap saja aku edhan, karena berharap Tuan Gusman melamarmu.”
“Ngimpi! Bangun!!”
Farida tertawa lebar, “Nggak, aku nggak mau bangun kalo mimpinya kamu menikah sama Tuan Gusman.”
•••
Malam harinya, di kamarnya Marina tiba-tiba teringat bahwa sudah sangat lama ia mengabaikan pesan tuan Gusman, tapi ia juga bimbang, “Apa tidak apa-apa jika baru sekarang aku membalas pesan tersebut?” gumam Marina.
Kini ia bahkan merasa amat bersalah pada pria baik hati yang pernah menolongnya, haruskah mengirim pesan pada tuan Gusman?
Atau mengajaknya bertemu, untuk minta maaf secara langsung?
“Apa kamu gila, Rin?! Memangnya Tuan Gusman pengangguran? Kirim pesan dan bilang ‘Maaf’, selesai perkara,” makinya pada diri sendiri, bisa-bisanya terpikirkan untuk bertemu dengan tuan Gusman.
Marina tak bisa menepis rasa bersalahnya begitu saja, jadi sudah diputuskan, bahwa ia harus meminta maaf atas tuduhan Johan pada tuan Gusman.
“Ah, baiklah, terserah saja jika tuan Gusman menganggapku tak tahu malu. Tapi kata maaf tetap harus disampaikan,” pungkas Marina.
Jemarinya bergetar ketika mulai mengetik sebaris kalimat untuk membalas pesan tuan Gusman hampir dua minggu yang lalu.
📤 Alhamdulilah, kabar baik. Maaf baru sempat membalas pesan.
•••
Di sebuah bangunan nan tinggi menjulang, seorang pria masih berkutat dengan pekerjaan yang tiada habisnya. Penat, kantuk, dan jenuh mulai menyerang, tapi memikirkan banyaknya kepala keluarga yang bergantung di bawah kepemimpinannya, membuat tuan Guan mengabaikan apa yang ia rasakan.
Dilepasnya kacamata baca yang bertengger di atas hidungnya, kemudian tuan Gusman menyandarkan punggungnya yang mulai kaku dan pegal.
Notifikasi ponsel berbunyi, namun tuan Gusman memutar kursi kebesarannya ke arah belakang, memandang kelap-kelip lampu di keramaian Ibu Kota. Sejenak ia merasa begitu tenang dan damai, sampai beberapa saat kemudian Agung datang membawa informasi penting untuknya.
“Tuan, ini hasil informasi yang Anda inginkan.” Agung meletakkan tablet di atas meja tuan Gusman. Pria yang sudah seperti ayah bagi Agung itu pun berbalik, dan mulai melihat informasi apa yang didapatkan anak buahnya.
Gambar sebuah rancangan bangunan villa dan perumahan mewah, lengkap dengan semua fasilitas yang menjanjikan kemudahan bagi penghuninya. Dan hadirnya bangunan mewah tersebut, akan menyingkirkan bangunan lama yang kini telah menjadi tempat bernaung bagi banyak orang yang membutuhkan.
“Brengsek!!” Tuan Gusman menggebrak meja kerjanya, sebagai bentuk pelampiasan amarah.
Pantas saja sepupunya begitu getol mempengaruhi para pemilik saham mayoritas secara masif, rupanya sejak dulu pria itu tak berubah. Tetap memikirkan
keuntungan untuk memperkaya dirinya sendiri.
Beberapa saat kemudian, keduanya kembali terlibat diskusi urusan pekerjaan. Baru sesudahnya memutuskan pulang, dan kembali bekerja esok hari.
Sambil menunggu pintu lift terbuka, tuan Gusman memeriksa ponselnya.
•••
Note : Tadi ada yang berkomentar, jangan buat karakter Marina dibuat bodoh, dong. Bukan dibuat bodoh ya, tapi memang kenyataannya Marina seperti itu.
Kalian bisa bayangin gak? Dia itu cuma wanita paruh baya tamatan SMA, setiap hari berkutat dengan pekerjaan rumah. Sementara Johan dan Diana? Mereka orang-orang terpelajar, dan punya banyak pengalaman bekerja di luar rumah. Begitu Kakak.
Marina akan menjadi wanita pintar pada saatnya, setelah banyak pengalaman pahit menghantam hidupnya yang biasa-biasa saja. Tunggu ya 😘.
Selina sadar woy