NovelToon NovelToon
Gara-gara Kepergok Pak Ustadz

Gara-gara Kepergok Pak Ustadz

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Cinta setelah menikah / Pernikahan Kilat / Slice of Life
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: Imelda Savitri

"Nikah Dadakan"

Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.

Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?

Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?

Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Riasan

Kaan menatap layar ponselnya yang sejenak tampak kabur oleh kegelisahannya. Suara dari ujung telepon terdengar semakin jelas, namun ia tetap merasa seolah-olah ada jarak yang menghalangi antara dirinya dan ayahnya, meskipun mereka hanya terpisah oleh suara.

"Hello? Kaan? Is everything alright?"

(Terjemahan: Halo? Kaan? Apa semuanya baik-baik saja?)

Suara ayahnya yang berat dan penuh wibawa seakan-akan menembus kegelisahan yang merasuki benaknya. Kaan menelan ludahnya, mencoba untuk mengatur nafasnya sejenak. Kata-kata yang ingin ia ungkapkan terasa berat di mulutnya.

Dengan perlahan, ia mengangkat ponselnya, dan menempelkan ke telinganya sembari mengatur suara agar tidak terdengar terbata-bata.

“Uh... well, not really, Dad ...” Suara Kaan terdengar ragu, seperti mencari kata-kata yang tepat.

(Terjemahan: Uh... yah, sebenarnya tidak, Ayah...)

Kaan bisa merasakan bagaimana jantungnya berdetak lebih cepat, setelah memberitahu ayahnya jika ia sedang tidak baik-baik saja saat ini. Meski begitu, ayahnya selalu tahu bagaimana cara berbicara dengan tenang, bahkan dalam situasi yang penuh ketegangan seperti ini. Dan kali ini, Kaan merasa lebih cemas dari sebelumnya, berpikir seandainya dia bisa mundur dari situasi ini.

"What's going on?" Ayahnya kembali bertanya dengan nada sedikit lebih khawatir.

(Ada apa?)

Kaan menarik nafas panjang, demi menenangkan dirinya.

“I’m in a bit of a situation right now, Dad. It’s complicated, but... I’m kind of stuck here, and well I might have to... get married tonight."

(Terjemahan: "Aku sedang dalam situasi yang agak rumit saat ini, Ayah. Ini agak rumit, tapi... Aku mungkin harus... menikah malam ini.”)

Ayah Kaan terdiam sejenak, seolah memproses apa yang baru saja dikatakan putranya. Keheningan menyelimuti sambungan telepon setelah Kaan mengungkapkan bahwa ia harus menikah malam ini.

Ayahnya tidak langsung memberi jawaban. Membuat Kaan bisa merasakan ketegangan itu dengan jelas, Kaan bahkan tidak bisa mendengarkan suara apapun selain suara detak jantung nya yang kian terdengar di telinganya.

Saat ini, ayahnya pasti sedang memikirkan hal-hal yang cukup berat. Sesaat, hanya suara nafas Kaan yang terdengar di telepon, namun tak lama kemudian, suara ayahnya yang tenang kembali terdengar.

"So... you're getting married tonight?"

(Jadi... Kamu akan menikah malam ini?)

Kaan menarik nafas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia mengangguk meskipun tahu ayahnya tak akan bisa melihatnya.

"Yes, Dad... I have no choice."

(Ya, Ayah... Aku tidak punya pilihan.)

“...Is it you who’s getting married?” Suara ayahnya terdengar kembali.

(...Kamu yang akan menikah?)

Kaan merasakan dadanya sesak. Tanpa bisa lagi menahan kebingungannya, ia menjawab dengan tegas. "Yes, Dad... it's me."

Hening, tidak ada lagi kalimat lain yang dilontarkan ayahnya.

Kaan menunggu, menahan segala keraguan dalam dirinya. Ia tahu, ayahnya pasti ingin tahu lebih banyak.

Namun, tak lama kemudian, suara ayahnya yang lebih berat terdengar lagi, “Why? How can you suddenly decide to get married-"

Prang!!

Suara dentuman keras memotong ucapan ayahnya, lalu disusul dengan suara langkah tergesa yang terdengar mendekat. Kaan bisa mendengar samar suara ibunya yang terdengar heboh, seperti sedang setengah berteriak sambil mendekat ke arah telepon.

“What?! Where are you right now, Kaan?” Seru ibunya dengan panik. “Send me your location, right now! We’re coming right away!”

(Terjemahan: Apa?! Kamu di mana sekarang, Kaan?

Kirim lokasimu sekarang juga! Kami akan segera ke sana!)

Kaan mengerutkan dahinya, bingung dengan intensitas reaksi ibunya. “But, Mo-”

“Kaan!” Sergah ibunya terdengar penuh penekanan yang jelas dan tegas. “Just send me your location!”

(Terjemahan: Kirim saja lokasinya!)

Tanpa sempat berkata lebih lanjut, sambungan telepon langsung terputus secara sepihak. Kalimat barusan terdengar bagaikan dentuman keras di kepala Kaan.

Kaan mematung sejenak, menatap layar ponselnya yang kini gelap. Ia menghela napas pelan, lalu mulai mengetik dan mengirimkan lokasinya ke ayahnya. Jari-jarinya bergerak cepat, tapi pikirannya masih berkabut. Ia tidak tahu harus merasa lega, panik, atau semakin cemas.

Suara Pak Ustadz yang tenang tiba-tiba menyentaknya dari lamunan.

“Bagaimana? Apakah orang tuamu setuju?”

Kaan baru saja hendak membuka mulutnya untuk menjawab, sebelum ponselnya kembali berbunyi lagi dengan kemunculan notifikasi singkat dari pesan baru.

Ia melihat layar ponselnya, membacanya dengan cepat, dan seketika matanya sedikit membesar ketika ia membaca pesan singkat itu.

Ia beralih menatap pak ustadz dengan ekspresi takjub yang belum sepenuhnya luntur.

"Yeah, mereka setuju,” katanya pelan, masih agak tercengang. “Dan mereka… akan berangkat malam ini juga.”

Pak Ustadz mengangguk mantap, ekspresi wajahnya yang tadinya serius kini terlihat sedikit melunak.

“Kalau begitu,” katanya, sambil melirik jam dinding yang tergantung di ruangan, “malam ini, pernikahan antara Kaan dan Murni akan diadakan di masjid.”

Ucapan itu seolah menjadi palu ketuk terakhir di ruang sidang. Murni hanya bisa menunduk lebih dalam, sembari mengepalkan kedua tangannya dengan erat di atas pangkuannya, seolah berusaha meredam gejolak yang kini menggerayangi dadanya. Wajahnya masih tampak memerah, entah karena malu, gugup, atau kedua perasaan tersebut yang saling menyatu.

Di sisi lain, Kaan masih duduk membisu, pikirannya masih belum sepenuhnya mengejar kenyataan yang begitu cepat menubruk hidupnya.

Pak Ustadz hanya mengelus jenggotnya sambil bergumam pelan, “Mudah-mudahan pilihan ini menjadi jalan kebaikan untuk kalian berdua…”

Bu Lastri bersedekap dengan mata menyipit, namun untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, mulutnya tidak mengeluarkan satu kata pun kali ini. Hanya dengusan kecil yang terdengar, entah menyimpan kekesalan atau hanya sedang menahan komentar.

.

.

.

Tanpa terasa, langit mulai berubah rupa. Semburat jingga merayap perlahan di balik dedaunan, seperti senja yang malu-malu pamit dari peraduannya. Angin sore yang biasanya tenang kini membawa bisik-bisik heboh warga, yang menceritakan dari mulut ke mulut mengenai kabar pernikahan mendadak itu yang langsung menyebar bagaikan secepat api yang menyambar alang-alang kering.

Hingga akhirnya…

Langit sudah berganti menjadi hitam kelam bertabur bintang. Lampu-lampu di sekitar masjid menyala terang, memberikan cahaya hangat yang menerangi halaman. Di dalam masjid, beberapa para tokoh masyarakat dan beberapa orang warga desa yang akan menjadi saksi telah berkumpul, dan duduk bersila dalam barisan teratur.

Suara lantunan ayat suci Al-Qur'an yang lembut memenuhi ruangan, menciptakan suasana sakral yang menenangkan sekaligus menegangkan.

Sementara itu, di salah satu rumah warga yang terletak tak jauh dari masjid, suasana terasa hening namun dipenuhi ketegangan yang samar. Lampu gantung menggantung di langit-langit, menerangi ruang tamu sederhana itu.

Pintu rumah itu terbuka pelan, memperlihatkan sosok seorang gadis muda yang masuk dengan langkah hati-hati. Gadis yang akrab di sapa Ayu itu perlahan masuk ke dalam, dengan mengenakan kerudung lilit sederhana dan wajah penasaran yang terpampang jelas di wajahnya.

Perlahan ia melangkah lebih dalam, lalu menemukan sosok bu Lastri yang baru saja keluar dari sebuah kamar di ujung lorong yang pintunya masih setengah terbuka.

"Bu Lastri...” Sapa Ayu sembari menundukkan kepalanya sedikit dengan penuh hormat. “Murni nya udah siap, bu? Boleh Ayu masuk bentar?”

Bu Lastri, yang masih menggenggam jepitan bunga kecil di tangannya, tersenyum singkat sambil mengangguk.

"Udah, dong. Tadi ibu yang riasin. Murni itu… ya ampun, bener-bener nggak bisa apa-apa, dandan aja dia bengong. Untung ada ibu, ya. Coba bayangin kalau nggak ada yang bantuin… bisa-bisa tampil kayak orang mau ke pasar.” Ujar bu Lastri sambil tertawa kecil.

“Masuk aja sana, tapi hati-hati ya, jangan sampai sentuh kerudungnya. Baru aja ibu benerin, susah loh nyari angle yang pas biar mukanya kelihatan lebih manis.”

"Siap bu,” balas Ayu, tersenyum kecil sebelum masuk ke kamar tersebut.

Di dalam ruangan yang remang namun hangat, duduklah Murni, dalam posisi membelakangi pintu. Ia mengenakan gamis brokat putih yang menjuntai anggun hingga menyentuh lantai, lengkap dengan hijab putih polos yang disematkan rapi di sisi kirinya yang di hiasi dengan jepit kecil berbentuk bunga melati.

Rambutnya telah tertutup sempurna di balik hijabnya, dan hanya menyisakan wajahnya yang sudah dirias.

Ayu melangkah perlahan, "Mur.." Panggil Ayu pelan saat menyentuh pundak sahabatnya.

Murni sontak menoleh dengan ekspresi terkejut, namun seketika berubah menjadi senyum lega saat melihat wajah Ayu.

“Ayu...” lirihnya, senyumnya tampak merekah sempurna seperti seseorang yang akhirnya menemukan satu-satunya orang yang membuatnya merasa aman di tengah kekacauan.

Dalam sekejap, senyuman yang tersungging di wajah Ayu seketika luntur, digantikan dengan ekspresi terkejut ketika melihat riasan Murni. Matanya menyapu wajah Murni dari atas sampai bawah, lalu menatap lekat-lekat wajah sahabatnya itu, melihat hasil make up Murni yang hancur, membuat hati Ayu mencelos.

“Astagfirullah...” batinnya membuncah.

Wajah Murni... benar-benar hancur.

Bedak yang pakai terlalu putih, membuat kulit sawo matang Murni terlihat abu-abu, seperti topeng yang salah cetak. Eyeshadow merah menyala mencolok tanpa gradasi, membuat kelopak matanya tampak lebam. Lipstik merah darah menyala yang dipoles di bibirnya tampak begitu tajam, hingga membuat bibir mungil Murni tampak janggal.

Shading hidung pun tak sesuai, dan membuat hidung Murni yang kecil terlihat seperti ditempelkan, bukan alami. Dan alisnya... sungguh sangat memperihatinkan, posisi alisnya tidak benar serta terlalu tebal dan tak simetris.

Ayu menggertakkan giginya. Perlahan, hatinya dicekam oleh amarah yang kian membara ketika melihat penampilan sahabatnya yang seperti itu. Sejak awal, ia sudah mencium aroma tak sedap dari bu Lastri ketika wanita rempong itu menawarkan diri untuk merias Murni, dan kini kecurigaannya terbukti benar.

“Murni...” Ucap Ayu dengan nada tenang yang Sirat akan ketegasan. “Hapus make up kamu. Sekarang juga.”

Murni mengerutkan dahinya, merasa bingung dengan kalimat yang baru saja Ayu lontarkan.

“Hah? Kenapa? Tadi Bu Lastri bilang aku cantik...”

Ayu menarik nafas tajam, lalu menatap Murni lurus-lurus. “Kamu kelihatan kayak badut, Mur. Kayak emak-emak jualan kue keliling, bukan pengantin. Kamu keliatan lebih tua, bukan cantik. Dan kamu percaya omongan Bu Lastri, yang dari dulu jelas-jelas gak suka kamu?!”

Murni menunduk. Perlahan, senyum di wajahnya seketika menghilang, digantikan keraguan dan rasa malu.

Ayu melangkah maju, menangkup kedua pipi sahabatnya dengan lembut tapi penuh tekanan.

“Aku tahu kamu gugup. Tapi ini malam penting, Mur. Jangan biarin orang lain ngerusak penampilan kamu, apalagi orang yang dari dulu emang gak seneng lihat kamu bahagia.”

Murni diam. Matanya mulai berkaca-kaca, menatap Ayu dengan pandangan yang bergetar. Tangannya pelan-pelan terangkat, menggenggam tangan Ayu yang masih menempel di pipinya. Air mata pun jatuh perlahan dari sudut matanya. Sekuat apapun ia mencoba menahan tangis, akhirnya rasa sesak itu tetap tak bisa ia tahan dan akhirnya pecah juga.

Isakannya pelan di awal, lalu makin lama makin terdengar jelas. Tubuh Murni bergetar pelan saat menangis, menumpahkan semua beban yang selama ini ia pendam.

Ayu perlahan menurunkan tangannya, perlahan duduk di tepi kasur, lalu menarik tubuh Murni ke pelukannya. Ia memeluk sahabatnya erat-erat, satu tangannya mengusap pelan pundak Murni, sementara tangannya yang lain menepuk-nepuk punggung Murni dengan lembut.

“Sabar ya, Murn... Sabar... Ini semua cobaan dari Allah. Allah nggak akan ngasih cobaan di luar kemampuan hamba-Nya.” Bisik Ayu lembut di telinga Murni.

Murni terus menangis. Bahunya terguncang. Setelah beberapa saat, ia membuka suara dengan suara serak, di sela-sela tangisnya.

"Aku... aku gak mau nikah, yu...” suaranya hampir tak terdengar. “Tapi aku gak bisa nolak... Aku gak mau lihat bapak kecewa lagi ... aku takut, takut bapak benci aku lagi kayak dulu...”

Ayu terdiam, dadanya terasa sesak mendengar ucapan Murni. Ia memejamkan matanya sejenak, menahan air mata yang mulai menggenang.

“Enggak, Mur... Bapak kamu sayang sama kamu. Cuma mungkin... ya, mereka bingung juga, syok. Tapi percayalah, gak ada orang tua yang benar-benar benci sama anaknya. Bapak kamu juga pasti nggak mau lihat kamu menderita.”

Murni hanya menangis pelan, sembari menempelkan wajahnya di bahu Ayu.

Ayu mengusap hijab sahabatnya pelan. Dalam hatinya, ia menyesal. Andai saja ia tahu lebih cepat, andai saja ia bisa lebih peka... mungkin semua ini takkan terjadi.

Tapi ia pun sadar, tak ada manusia yang bisa menebak takdir yang sudah dituliskan dalam hidupnya. Masa depan adalah rahasia Tuhan, dan yang bisa ia lakukan sekarang... hanya menemani sahabatnya melewati cobaan yang berat ini, sekuat dan setulus mungkin.

.

.

.

Setelah Murni menghentikan tangisnya, Ayu menarik nafas pelan, sembari menatap wajah Murni yang masih basah oleh air mata, dengan riasan yang mulai luntur dan membuatnya semakin terlihat murung.

Tanpa berkata apa-apa, Ayu berdiri dan mengambil tisu dari meja kecil di sisi ranjang, lalu berlutut perlahan di depan sahabatnya.

“Murn... Aku hapus make-up kamu ya?” bisiknya lembut. “Aku tahu kamu gak nyaman. Gak perlu dandan menor buat kelihatan cantik Mur, kamu udah cantik sejak dulu.”

Murni tidak menjawab, dan hanya menatap Ayu dengan mata yang mulai memerah lagi, lalu mengangguk pelan.

Dengan gerakan hati-hati, Ayu mulai menghapus make-up di wajah Murni. Setiap usapan tisu seolah bukan hanya menghilangkan sisa riasan, tapi juga membersihkan jejak-jejak tekanan yang terpendam di hati sahabatnya.

Dalam diam, Ayu melantunkan doa dalam hatinya, memohon kepada Allah agar lelaki yang akan menjadi suami Murni adalah seseorang yang lembut hatinya, sabar ucapannya, dan memeluk erat tanpa menyakitinya.

Sebab ia tahu betul isi hati sahabatnya itu, Murni bukanlah perempuan yang bisa bertahan dalam kerasnya kata-kata, apalagi perlakuan yang menyakitkan. Di balik kepolosan dan senyumnya yang tenang, tersembunyi hati yang rapuh, terlalu mudah retak bila tak dijaga dengan kasih sayang.

Saat wajah Murni kembali bersih, akhirnya terlihatlah gurat wajah asli sahabatnya itu, terlihat pucat, tapi jujur dan hangat.

Lalu Ayu mengambil sedikit bedak tipis dari pouch kecil miliknya. Ia tidak menggunakan alat-alat mewah untuk merias wajah Murni, ia hanya mengandalkan jemarinya sendiri dan riasan seadanya untuk mempercantik tampilan wajah Murni yang sudah cantik meski tanpa make-up.

“Nih, sedikit aja. Biar kamu tetap kamu.” Katanya sembari tersenyum pelan. “Yang penting kamu nyaman, bukan terlihat seperti orang lain.”

Ia mengoleskan bedak tipis yang sesuai dengan warna kulit Murni, lalu membubuhkan sedikit lip balm berwarna natural. Tidak ada shading tajam, maupun eyeshadow mencolok, hanya riasan sederhana yang membiarkan kecantikan Murni yang sejati berbicara.

Setelah selesai, Ayu mengambil cermin kecil dan menyodorkannya ke Murni.

“Lihat, ini kamu. Bukan versi yang dibuat-buat.”

Murni menatap cermin itu, matanya membesar, lalu menatap Ayu dengan bibir yang bergetar.

“Terima kasih, Yu...” bisiknya lirih. “Kamu... selalu tahu cara nolong aku.”

Ayu tersenyum, lalu memeluk sahabatnya lagi dengan erat. "Sama-sama Mur, semoga pernikahan mu bahagia dan langgeng terus, dan doain juga semoga pernikahan ku dengan bang Rian juga bahagia dan langgeng terus."

"Aamiin." Seru Murni, lalu diakhiri dengan suara tawa dari kedua gadis bersahabat itu.

1
Nar Sih
semoga murni baik,,sja ngk ada yg jht atau menganggu nya di saat sang suami gk ada
Nar Sih
pasti nih musuh mu dtg lgi kaan ,kmu hrus hti,,dan waspada ada istri lugu mu yg perlu kau jga
Nar Sih: siip kakk lanjutt
Lucy: Kayaknya Murni ini harus dimodifikasi lah🗿
total 2 replies
Nar Sih
murni cerminan istri yg soleha untuk mu kaan ,dia nurut apa kta suami dan patuh bersyukur lah kmu punya istri seperti murni ,walau pernikahan kalian mendadak ,dn blm ada rasa cinta ,tpi yakin lah rasa itu akan tumbuh dgn berjln nya waktu
Nar Sih
murni ,stlh ini kmu harus siap ,,jdi wanita tangguh msuk dlm keluarga suami mu yg bnyk memusuhi nya
Lucy: nah ini aku dalam masa persiapan kak buat mengotak-atik Murni/Determined/
total 1 replies
Nar Sih
murni pasti kaget begitu masuk rmh suami nya seperti masuk istana dogeng ,
Lucy: banget
total 1 replies
Ray Aza
yuuuuuhhhh.... peran murni makin tenggelam euy!
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣
Lucy: nice, thanks sarannya😭🫰
Ray Aza: lha ampe eps 20 peran murni sbg tokoh utama blm keliatan sm sekali e. awal nongol mlh jd tokoh tertindas dibully sana sini, strata sosial rendah, pendidikan minim, pekerjaan pilu, fisiknya cantik ga sih? lupa diskripsinya. wkwkwkkk... artinya sejak awal ga kenotice jd hilang dr memori. terlalu berat manjat ke circle kaan. ayo sis km gembleng dl biar kek tokoh cewe di novel seblmnya. sdh ga jamannya cewek cm sebagai obyek
total 3 replies
Nar Sih
penasaran nih kak sbnr nya siapa kaan sbnr nya kak bnyk musuh dan siapa wanita itu
Nar Sih: siiap kak ,mohon up tiap hari ya kak👍🙏
Lucy: bakal terjawab di chapter selanjutnya
total 2 replies
Nar Sih
kira,,siapa pelaku pemembakan itu ya ,mungkin kah musuh kaan..hnya othor yg tau
Lucy: /Proud/
total 1 replies
Nar Sih
semagat y murni jgn sedihh ..suami mu pasti menjaga mu ,trus kira,,siapa yg telpon kaan ,semoga bukan org jht ya
Nar Sih
mungkin memang awal blm ada rasa antara kalian tpi ...yakin lah cinta pasti dtg pada kalian dgn berjln nya waktu ,murni kmu harus siap ikut i suami mu ya
Lucy: oke kak
Nar Sih: ditunggu bab selanjut nya kakk👍
total 3 replies
Nar Sih
dasar orang kok aneh lastri,iri dengki dgn saudara sendiri ,
Lucy: ya biasa kan kalau emak" rempong itu emang gitu kak
total 1 replies
Nar Sih
waah...bu lastri mulai panas nih dan pasti nya disertai iri dengki pada kehidupan murni sekeluarga yg notaben nya msih keluarga nya
Ray Aza
kalo di novel halu lainnya lgsg dibuatin mansion tuh... ada garasi jet pri (dikira odong2 x ya ga perlu perijinan otoritas bandara setempat) 😅😅😅
Lucy: 😭di luar nalar, bahkan kadang bingung
total 1 replies
Nar Sih
semoga murni dan kaan sgra menjdi psngn suami istri yg sesungguh nya ,
Lucy: Aaminn
total 1 replies
Nar Sih
sabarr murni ,percayalah di balik duka pasti ada suka ,
Nar Sih
lanjutt kakk ,
Nar Sih: ,👍👍💪💪🥰
Lucy: wah makasih banget, aku suka dan makin termotivasi deh🫰
total 4 replies
Nar Sih
alhamdulilah murni kmu dpt ibu mertua yg baik
Nar Sih
seperti nya calon pelakor udh mulai hadir nih
Lucy: /Doge/
total 1 replies
Nar Sih
nikah dadakan moga bisa membuat pegantin bru ini bahagia
Nar Sih
cerita nya bagus kakk,👍
Lucy: makasih kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!