Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12
“Naren lapar,” rengek Naren sambil mengenakan kembali sepatunya. Mereka sedang duduk di emperan masjid sekarang, baru selesai menunaikan salat zuhur—yang mepet di akhir waktu—dan salat asar.
“Mau makan apa?” tanya Janu, ia sudah lebih dulu selesai memakai sepatunya.
“Nasi gudeg yang dekat kantor Ayah.” Naren menjawab cepat tanpa banyak pertimbangan.
Alergi yang dia miliki terhadap segala jenis seafood, semua produk olahan susu dan beberapa jenis buah membuatnya tidak memiliki banyak opsi ketika makan di luar. Hanya restoran itu-itu saja yang akan dia datangi karena dia pun cukup picky kalau soal rasa. Tetapi, dia sama sekali tidak pernah mengeluh. Masih boleh makan nasi saja dia sudah bersyukur.
“Ya udah, ayo.” Janu bangkit lebih dulu, lantas mengulurkan tangan dan segera menarik tubuh sang putra ketika uluran tangannya disambut.
Sepasang anak dan ayah itu kemudian berjalan menuju mobil, segera menempati posisi masing-masing agar perjalanan mereka bisa kembali dimulai.
“Seatbelt, Bro.” Janu mengingatkan.
Naren menarik tali seatbelt dan melilitkannya di perut tanpa banyak protes. Dan sebelum mobil melaju, dia lebih dulu menaruh ponsel ke atas dashboard, menyetel lagu kebangsaan yang selalu menemani setiap perjalanan mereka.
“Ini lagu kebangsaan yang lumayan lama bertahan, ya,” komentar Janu ketika lagu mulai terdengar dan mobil mereka mulai merayap pelan di jalanan.
“Lagunya enak,” timpal Naren. Kedua matanya terpejam, sedangkan bibirnya mulai berkomat-kamit mengikuti setiap bait yang terdengar oleh telinganya.
Janu tidak berkomentar banyak setelahnya, hanya fokus menyetir sambil ikut menyahuti beberapa part yang Naren juga nyanyikan sehingga terciptalah harmoni yang cantik.
“Faded in my last song, don’t know what I’m saying....” Bagian itu mereka nyanyikan bersama, kemudian lagu dimulai dari awal karena Naren sengaja menyetel lagu itu ke dalam mode repeat.
Makin jauh mobil melaju, makin dalam lagu wajib itu membawa jiwa mereka pergi. Berkelana ke mana pun mereka mau, untuk kembali lagi nanti setelah petualangan mereka usai.
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼...
Dari beberapa restoran yang sering dia kunjungi, nasi gudeg dekat kantor ayahnya ini menjadi yang paling sering. Bahkan saking seringnya, dia hanya perlu berkata, “Kayak biasa,” untuk mendapatkan sepiring nasi gudeg lengkap dengan telur dan tempe bacem, ayam goreng kremes, dan ekstra sambal. Dia sudah seperti menjadi pelanggan VVIP di sini, semua pegawai mengenalnya dengan baik.
“Mau bungkusin buat Abang nggak?”
“Nggak.” Naren menggeleng dengan mulut yang penuh. Pipi chubby mirip mochi itu makin kelihatan menggembung. Menggemaskan sekali.
“Kenapa? Biasanya selalu exited buat bungkusin Abang apa pun yang lagi kamu makan?” tanya Janu keheranan. Karena ini memang tidak biasa. Ibaratnya kalau harus membelah menara Eiffel menjadi dua, pasti akan Naren lakukan, asalkan abangnya juga kebagian.
Naren mengunyah lebih cepat, menelannya susah payah agar bisa menjawab pertanyaan sang ayah. “Habis ini Naren mau ajak Ayah ke mal dulu, nonton bioskop. Lagian, Abang udah bilang ke Naren mau pergi sampai malam," jelasnya.
“Abang pamit sama Ayah cuma sampai sore, tuh?” Janu sedikit menaikkan sebelah alisnya.
Seakan merasa tidak dipercaya, Naren menghela napas kasar sambil mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Jemarinya bergerak sewot, mencari di mana bubble chat yang Mahen kirimkan kepada dirinya sewaktu dia menunggu ayahnya di mobil tadi.
“Nih, Ayah baca aja sendiri.” Ia menyodorkan layar ponselnya ke depan wajah sang ayah setelah selesai mencari.
Janu memajukan wajahnya, lalu membaca sederet pesan yang Mahen tinggalkan di ponsel Narendra. “Lah, iya,” gumamnya, sambil menjauhkan lagi wajahnya dan menatap Naren serius. “Tapi Abang nggak ngabarin Ayah lagi?” sambungnya.
“Ya mana saya tahu,” sahut Naren dengan sewot. Ponsel miliknya diletakkan ke atas meja dan dia mulai menyuapkan lagi nasi gudeg ke dalam mulutnya.
“Curang, Abang sayangnya cuma sama kamu.” Janu sok-sokan merajuk. Tak malu dengan otot besarnya, lelaki itu menyendok makanan dan melahapnya dengan sewot. Persis bocah yang ngambek karena tidak diizinkan main bola dan malah disuruh tidur siang.
“Please jangan drama, malu sama umur.” Naren menggeplak pelan punggung tangan ayahnya, meminta lelaki itu untuk makan dengan benar.
“Nggak sopan ya main mukul tangan orang tua!” protes Janu, namun Naren hanya mengedikkan bahu.
“Nggak sopan lagi, orang tua lagi ngomong dicuekin.”
“Naren,”
“Narendra,”
“Narendra Suk—“
“Ayah berisik.” Naren dengan kesal menyodorkan satu sendok penuh nasi gudeg miliknya. Janu seketika bungkam, melirik sekilas sendok di depan mulutnya sebelum membuka mulut lebar-lebar.
"Nah, pinter. Makan yang bener, jangan sambil ngomel-ngomel. Nanti keselek baru tau rasa," celoteh Naren, lantas menyendok nasi untuk dirinya sendiri.
Dalam sekejap, Naren sudah kembali sibuk dengan makanannya. Tanpa tahu bahwa di sebelah, Janu mulai mengunyah dengan gerakan pelan. Hanya agar bisa menikmati makanan sambil menatap putra bungsunya yang sudah tumbuh semakin besar.
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼...
“Nih,” Janu menyodorkan debit card miliknya kepada Naren sesampainya mereka di bioskop.
“Nope,” tolak Naren cepat. Sebagai gantinya mengeluarkan debit card miliknya sendiri dari dompet kulit bermerek hadiah dari Mahen. “Hari ini, Naren yang traktir Ayah buat nonton," sambung anak itu seraya membusungkan dada. Tampangnya pun songong sekali.
Janu mencebik, memasukkan kembali debit card yang ditolak ke dalam dompet. “Padahal sama aja. Itu isinya juga kan duit transferan dari Ayah,” cibirnya, hendak mematahkan kesombongan Naren yang sudah sampai membuat kepalanya mendongak begitu tinggi.
“Dih, sok tahu!” sergah Naren. “Ini isinya transferan dari Abang, wlee!” Seraya menjulurkan lidahnya.
Kemudian, sebelum Janu sempat menimpali ataupun bertanya kenapa bisa debit card milik Naren isinya transferan dari Mahen, anak itu sudah lebih dulu kabur menuju kasir. Langkahnya melambung-lambung, menunjukkan betapa exited dirinya untuk menonton film hari ini.
Tak lama berselang, Naren sudah berjalan kembali ke arahnya sambil membawa dua tiket nonton, dua botol air mineral ukuran 600ml dan satu bucket besar berisi popcorn rasa karamel.
“Masih ada 15 menit, kita nongki dulu di sana yuk,” ajaknya sambil menunjuk sofa tunggu dekat pintu masuk menggunakan dagu.
Janu mengangguk. Setelah merampas semua barang bawaan Naren kecuali tiket nonton, mereka berjalan beriringan menuju sofa yang Naren tunjuk. Ada beberapa sofa di spot yang berbeda, dan hampir semuanya sudah ada penghuninya. Beberapa diisi gerombolan anak muda, beberapa dihuni satu keluarga dengan dua anak balita, dan beberapa lagi diduduki sepasang kekasih yang seakan lupa dunia sekitar dan bertingkah bagai bumi ini milik berdua.
“Minggu depan udah mulai aktif ke kampus, kan?” Menjadi pertanyaan awalan setelah bokong mereka berdua mendarat di sofa yang empuk.
“Yoi,” Naren menyahut sambil memasukkan popcorn ke mulut. Matanya jelalatan, menelisik satu persatu manusia yang ada di sana seolah dirinya adalah mesin pemindai yang sedang mencari keberadaan barang-barang ilegal.
“Gimana? Udah siap?”
“Siap-siap aja, tuh.”
“Ingat pesan Ayah?”
Dua butir popcorn yang harusnya sudah masuk ke mulut terpaksa Naren masukkan lagi ke bucket. “Ingat,” sahutnya.
“Apa?”
“Jangan mau kalau diajak nongkrong nggak jelas sama teman satu jurusan, aktif organisasi boleh-boleh aja asal jangan terlalu forsir tenaga, jangan iseng godain dosen perempuan yang masih muda, jangan—“
“Janu,” Seorang perempuan tiba-tiba saja menyela hingga ucapan panjang Naren tak berhasil diselesaikan.
Janu yang namanya dipanggil menoleh cepat, lantas seperti baru saja mendapatkan serangan dahsyat tatkala mengetahui siapa yang telah memanggil namanya.
“Mau nonton film apa?”
Alih-alih menjawab, Janu malah terpaku untuk waktu yang cukup lama.
Sementara Naren, anak itu mulai menaruh banyak sekali rasa curiga terhadap perempuan yang berdiri di depan mereka, juga kepada ayahnya yang malah diam seribu bahasa.
Bersambung....