WARNING❗
CERITA INI BUAT YANG MAU-MAU SAJA.
TIDAK WAJIB BACA JUGA BILA TAK SUKA.
⚠️⚠️⚠️
Setelah hampir satu tahun menjalani pernikahan, Leon baru tahu jika selama ini sang istri tak pernah menginginkan hadirnya anak diantara mereka.
Pilihan Agnes untuk childfree membuat hubungannya dengan sang suami semakin renggang dari hari ke hari.
Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Debby, sahabat Leon yang sekian lama menaruh rasa yang tak biasa pada Leon.
Badai perpisahan pun tak bisa mereka hindari.
Tapi, bagaimana jika beberapa tahun kemudian, semesta membuat mereka kembali berada di bawah langit yang sama?
Bagaimana reaksi Leon ketika tahu bahwa setelah berpisah dari istrinya, Leon tak hanya bergelar duda, tapi juga seorang ayah?
Sementara keadaan tak lagi sama seperti dulu.
"Tega kamu menyembunyikan keberadaan anakku, Nes." -Leonardo Alexander-
"Aku tak pernah bermaksud menyembunyikannya, tapi ... " -Leony Agnes-
"Mom, where's my dad?" -Alvaro Xzander-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mari Kita Akhiri Saja
#02
“Halo, Chef—”
Rupanya Chef Vinka yang menghubunginya, wanita itu mengatakan ia akan terlambat, karena salju yang turun membuat perjalanannya sedikit terlambat.
Agnes tersenyum senang, “Tidak apa, Chef. Bagaimana kalau kita undur saja.”
“Bagaimana kalau besok pagi-pagi sebelum kelas dimulai.”
“Baiklah, akan ku usahakan datang pagi.”
Agnes mengakhiri panggilan, wanita itu berganti pakaian, lalu mulai membersihkan ruangan. Karena Leon tak akan pulang malam ini, pria itu sedang shift malam di rumah sakit.
•••
Beberapa hari berlalu, namun, apartemen semakin sepi karena Leon sama sekali tak pulang. Entah karena sibuk, atau karena masih marah pada keputusan Agnes. Yang jelas Agnes mulai kesepian.
Beberapa kali Agnes coba menghubungi suaminya, namun, tak pernah memperoleh jawaban, bahkan pesan singkat pun tidak. Hati Agnes semakin gulana, teringat betapa Leon sangat kecewa dengan keputusannya.
“Apa Leon akan benar-benar melepaskan aku?” tanya Agnes pada dirinya sendiri.
Wanita itu mencoba sekali lagi menghubungi suaminya. Namun, sekali lagi tak memperoleh jawaban. Justru sengaja dimatikan. “Apa-apaan ini?! Leon tak pernah me-reject panggilan dariku?” keluh Agnes sembari menatap layar ponselnya. “Apa dia masih marah gara-gara hal kemarin?”
Tanpa Agnes tahu, di seberang sana, Debby sedang duduk di kursi ruangan para dokter residen. Wanita itu tersenyum bahagia setelah berhasil membuat Agnes kesal,
Sahabat Leon sejak tahun pertama kuliah tersebut, sudah lama menaruh hati pada Leon. Namun, gayung tak pernah bersambut. Leon justru jatuh cinta pada teman satu SMA nya, yakni Leony Agnes.
Saat ini Agnes sedang serius menyelesaikan pendidikannya di sebuah akademi memasak, itupun Agnes dapat dengan susah payah melalui program beasiswa. Jika dengan biaya sendiri, mana mungkin bisa, karena Mamanya hanyalah pemilik sebuah toko kue kecil.
Debby segera membuka ponsel Leon, wanita licik itu diam-diam mengintip password ponsel Leon. Dan jika Leon lengah ia bebas berselancar mengintip keseluruhan isi ponsel milik pria itu.
Klek!
Pintu terbuka, tepat setelah Debby meletakkan ponsel milik Leon di meja, beberapa saat lalu, Debby menghapus semua riwayat panggilan masuk dari Agnes. Tentu saja niat busuknya sangat jelas, hanya saja Leon tak menyadarinya.
“Aku mau makan. Kamu sudah makan?” tanya Leon pada Debby, yang sejak tadi menunggunya keluar dari ruang operasi.
“Ayolah, aku juga sangat lapar,” sambut Debby.
Mereka berjalan akrab menuju kantin rumah sakit, di perjalanan, Leon memeriksa barangkali ada panggilan masuk dari istrinya, namun nihil, tak ada satupun. Bahkan pesan singkat menanyakan keadaannya pun tidak ada.
“Apa Agnes benar-benar serius dengan ucapannya kemarin?” Leon bertanya-tanya dalam hati, rasanya sedih ketika istri sendiri tak perhatian. Justru Debby yang memperhatikannya selama beberapa hari ini.
Leon terus melamun, padahal Debby terus berceloteh, sesekali wanita itu tetap memberi dukungan pada sikap Leon yang ingin menegaskan keputusannya perihal anak.
Setelah selesai mengisi perut, mereka melangkah pergi meninggalkan kantin rumah sakit. Mampir sejenak ke cafe untuk mengisi amunisi kafein tubuh, penunjang stamina selama bersiaga di rumah sakit.
Keluar dari cafe, Leon disambut dengan tatapan dingin istrinya yang sengaja datang membawakan makanan, “Hai, Ag,” sapa Debby ramah, namun tidak dengan Leon yang tetap mematung.
Dalam beberapa kesempatan, Agnes sempat mengungkapkan kecemburuan karena Leon dirasa terlalu akrab dengan Debby. Namun, Leon selalu meyakinkan bahwa mereka tak ada hubungan apa-apa selain persahabatan.
“Kamu duluan saja, nanti aku menyusul.”
Dengan berat hati Debby pun pergi. Agnes berbalik, membuka mantel yang menghalau udara dingin, karena tiba-tiba tubuhnya merasa panas akibat rasa cemburu yang menguasainya.
Mereka berdiri menatap taman tengah rumah sakit.
“Aku datang mengantarkan makanan untukmu, karena sudah beberapa hari kamu tak pulang.”
Hanya hembusan angin lembut yang terdengar.
“Tapi sepertinya kamu tak memerlukannya, karena di rumah sakit ini, kamu bisa mendapatkan makanan dengan mudah.”
Agnes tersenyum getir, “Bukan begitu, aku tak pulang, karena situasi di rumah sakit benar-benar sibuk, dan poli bedah jantung kekurangan orang. Jadi aku tak sempat pulang, kamu tak lihat bentukan rambutku yang minyaknya bisa di peras ini?”
“Meski begitu, kamu tetap bisa tertawa bahagia bersamanya, sedangkan aku— hanya berteman sepi di apartemen.”
“Hentikan kalimatmu! Karena itu hanya akan menyakiti dirimu sendiri.”
“Aku pulang dulu,” Agnes tersenyum getir, menahan ngilu di lambungnya yang belum terisi makanan sama sekali. Ia berharap bisa menikmati makan siang bersama suaminya, namun, harapannya sia-sia.
Leon menangkap tangan Agnes, “Nanti malam aku usahakan pulang.”
Agnes menepis tangan tersebut, “Jangan memaksakan diri bila tak bisa.”
Kenapa suara Agnes terdengar lebih dingin dari cuaca saat ini? Leon ingin mengikuti istrinya, minimal hingga ke halte depan rumah sakit, namun panggilan darurat mengalihkan perhatiannya.
Leon kembali berlari kencang masuk ke rumah sakit, di saksikan Agnes, yang hatinya teriris pilu karena menyangka Leon buru-buru kembali demi yang lain.
•••
Satu bulan berlalu, tak ada perbaikan dalam hubungan mereka, tetap dingin, dan hampa. Seperti ada rongga tak kasat mata, menjadi ruangan kosong yang memisahkan keduanya, sekat yang seharusnya diisi seorang anak. Namun, sayang Agnes enggan memilikinya.
“Ini bulan terakhirku di akademi.”
Agnes mencoba menceritakan kesehariannya belakangan ini.
“Hmm, lalu?”
Mendengar jawaban Leon yang jauh dari ekspektasinya, Agnes jadi enggan melanjutkan kalimatnya. “Tidak apa-apa. Hanya memberitahumu saja, sayangnya kamu tak tertarik, maaf, anggap saja tak pernah dengar.”
Agnes berdiri membereskan piring dan peralatan makan lain yang ia pakai, “Apa maksud kalimatmu, barusan? Aku selalu berusaha menggunakan telingaku untuk mendengar ceritamu, bahkan keluh dan kesahmu. Lalu, dari sisi mana kamu menyimpulkan aku tak tertarik?”
“Malah, aku merasa, justru kamu yang tak tertarik padaku lagi.”
Prang!
Dengan sedikit kasar, Agnes meletakkan peralatan makanannya di wastafel cuci piring. “Jangan bicara sembarangan.”
“Hal itu juga yang aku inginkan darimu.”
Bukannya bicara baik-baik, sikap keduanya justru seperti api dan bahan bakar. Perpaduan yang pas untuk menghasilkan kobaran api raksasa yang siap melahap apa saja.
“Jangan bicara seolah-olah kamu yang berkuasa atas tubuhmu, aku juga berhak atasmu, termasuk berhak melarangmu meminum pil kontrasepsi itu.”
“Kok jadi ke arah sana, sih? Jadi tetap aku yang salah?” sergah Agnes dengan perasaan tak menentu.
“Aku tidak menyalahkanmu, aku hanya ingin kamu menjaga kata-katamu. Bagaimana bila Tuhan berkehendak sebaliknya? Meskipun kamu sudah minum pil untuk mencegah kehamilan, selalu ada kemungkinan kamu untuk hamil. Karena Tuhan yang berkehendak.”
Agnes menggeleng lemah, malas membicarakan hal yang sudah menjadi keputusannya sejak lama tersebut. Baginya child free adalah keputusan mutlak, tak bisa diganggu gugat. Karena ia tak mau kisah pahit masa kecilnya kembali terulang pada anaknya.
“Aku rasa, perdebatan ini tak akan pernah menemukan ujungnya. Mari kita akhiri saja, lalu ambil jalan masing-masing, kamu dengan keinginanmu. Dan aku dengan pilihan hidupku.”
ikutan perih ei.....
Apa Leon baru tersadar jika Agnes duduk di pelaminan sama Rama
kasihan kali kau leon, gak tahu apa-apa tapi seolah semua kesalahan tertimpa padamu... kamu yg ditinggalkan, ditolak, dan harus menanggung rasa sakit sendirian... huhuhu, sakit sakit sakitnya tuh di sini... kezaaaammm kezaaaammm, othor tega bikin ibu menangisss😭