Karena kesalahpahaman, Mavra dan Enrique berpisah cukup lama. Namun, dengan bantuan saudara kembarnya, Mavra berhasil mengatur skema untuk menjebak Enrique. Pada Akhirnya Enrique masuk dalam jebakan Mavra si putri mafia.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Simak kisah mereka di sini
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emmarisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Butuh Perhatian
"Jadi menurut anda, Mavra perlu berkonsultasi dengan psikolog?" tanya Marvel dengan raut wajah serius.
"Saya rasa begitu. Berdasarkan keseluruhan garis besar cerita anda, saya rasa kondisi nona Mavra jika hanya kurang nutrisi atau kurang tidur, dia tidak akan seperti ini. Dia seperti ini karena mengalami ledakan emosi. Semua kesedihan, putus asa, marah, kecewa semuanya dipendam dan ditahan sendirian. Bahkan kita tidak tahu emosi itu terkumpul sejak kapan dan puncaknya adalah kekecewaan yang dia rasakan 2 tahun lalu. Itu seperti tombol untuk mengaktifkan bom yang ada di hati nona Mavra," ucap dokter Rupert yang memeriksa Mavra.
"Bagaimana jika dengan metode hipnoterapi?"
"Hipnoterapi juga tetap saja harus dengan persetujuan nona Mavra, Meski kita menggali dari alam bawah sadarnya, jika dia tidak menghendaki, dia tetap tidak akan bicara meski kita memaksanya."
"Bicarakan saja dulu dengan anggota keluarga anda. Kondisi ini sangat serius. Jika tidak tepat penanganannya, saya rasa ini tidak akan berjalan dengan baik. Nona bisa bertahan sampai sejauh ini, itu sudah sangat bagus sekali. Akan tetapi kita tidak akan pernah tahu, kedepan dia akan seperti apa."
Setelah dokter Rupert berpamitan, Marvel menghubungi paman Jack dan juga daddynya. Dia harus membicarakan masalah ini dengan mereka. Setelah memastikan dua pria andalannya akan datang, Marvel duduk di tepi ranjang dan memegang tangan Mavra.
"Maaf kami tidak peka padamu, Mavra. Kamu sering menanggung semuanya sendirian, sampai-sampai kami lupa jika kamu juga membutuhkan perhatian kami. Kamu butuh sandaran untuk berkeluh kesah. Sungguh sebagai adikmu, aku merasa sangat buruk. Ku mohon bertahanlah. Aku akan selalu ada untukmu mulai saat ini. Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi semuanya sendirian."
Marvel teringat semua pembicaraannya dengan dokter Rupert tadi. Dokter yang sudah mengabdi selama 15 tahun di keluarga sang paman, ternyata memiliki sertifikat konseling psikologi. Dokter itu mengatakan jika kemungkinan besar Mavra sejak awal bermasalah dengan psikologinya.
"Uugh."
Marvel langsung mengeratkan tangannya begitu melihat kelopak mata Mavra mulai bergerak. "Hei, are you oke?"
"Aku di mana?"
"Kita ada di villa uncle Jack."
Saat akan bergerak, Mavra merasakan sesuatu menusuk punggung tangannya. Dia pun menoleh dan menatap selang dan jarum infus yang ada di tangan kanannya.
"Aku kenapa?"
"Kau tadi sempat pingsan."
"Pingsan? Kenapa?"
"Apa kau tidak ingat?" tanya Marvel, percaya atau tidak saat ini jantungnya berdebar kencang. Dia khawatir apa yang dipaparkan oleh dokter Rupert terjadi pada Mavra.
Mavra memijat pelipisnya dan mencoba mengingat, seingatnya terakhir kali dia diturunkan dari motor dan dia menatap ke arah pantai.
"Aku ingat kau mengajakku ke pantai. Lalu .... "
"Lalu apa?"
"Lalu kau menurunkanku dan melepas helmku. Setelah itu aku melihat ke arah pantai dan selebihnya aku tidak ingat."
DEG!
"K_kau tidak ingat?" wajah Marvel terlihat benar-benar terkejut.
"Mamang apa yang perlu aku ingat?"
"Tidak ada," jawab Marvel cepat.
"Kapan ini boleh dilepas?" tanya Mavra sembari mengangkat tangannya yang terhubung dengan selang infus.
"Dokter bilang nanti dia akan datang untuk melepasnya. Ini bahkan masih terlihat penuh."
"Aku mau minum," ujar Mavra. Marvel membantu Mavra untuk duduk, dia tidak akan lagi membiarkan kakaknya melakukan apa-apa sendiri mulai saat ini.
"Kenapa berlebihan sekali. Apa aku mengidap penyakit parah dan akan mati?" tanya Mavra dengan enteng. Namun, hal itu sukses membuat mata Marvel hampir keluar.
"Jangan bicara sembarangan. Kau harus berhati-hati mengucapkan kata yang tidak pantas seperti itu. Bagaimana jika mommy mendengarnya dia akan sedih," ujar Marvel kesal.
Meski heran kenapa Marvel marah, Mavra justru kini malah diam dan menatap adiknya dengan tatapan yang begitu lembut.
"Kau semakin dewasa, Marvel."
"Tidak hanya aku. Kau juga sudah semakin dewasa. Kau sangat hebat Mavra."
"Bagaimana kabarnya?" tanya Mavra sembari menerima gelas air putih dari Marvel.
Marvel menghela napas kasar. "Sifatnya semakin buruk. Apa kau benar-benar tidak ingin menemuinya?"
"Apa itu perlu? Dia sudah membohongiku, Marvel. Aku mencintainya secara brutal, tapi dia justru malah menusukku."
"Setidaknya dengarkan penjelasannya. Aunty Zafia sampai sekarang bahkan tidak mau berbicara dengannya, karena kamu menghilang begitu saja," tutur Marvel. Dia menatap saudara serahimnya itu dengan tatapan lembut.
"Mavra, bisakah kau lebih terbuka padaku? Kita pernah berbagi tempat berlindung, kita pernah berbagi makanan mommy bersama. Tidak bisakah kau juga membagi rasa sakitmu denganku? Aku tahu kau tidak sekuat itu," lanjut Marvel.
Mavra tersenyum. Dia menyerahkan gelasnya pada Marvel. Ketika Marvel menggenggam tangannya, tiba-tiba perasaan hangat mulai menelusup di dalam hatinya.
"Berbagilah denganku."
"Apa yang harus aku bagikan denganmu? Mengenai dia?"
"Ya, tentang apapun."
"Kau tahu kan bagaimana sejak dulu aku memujanya?" Mavra akhirnya mulai perlahan bercerita. Mungkin tidak buruk menyampaikan sesuatu yang selama ini dia pendam pada Marvel.
"Aku tahu kau sangat tergila-gila padanya sampai selalu menjadi orang yang tidak rasional jika di dekatnya."
Mavra terkekeh sumbang. "Kau benar. Entah apa yang kulihat darinya, semua yang dia lakukan selalu membuatku terkesan. Aku seperti melihat Daddy dalam diri nya, Marvel." Mavra sesaat menarik napas yang terasa sesak.
"Hanya karena Daddy kau menyukainya?"
"Mungkin bisa ya, bisa juga tidak. Dulu aku bahkan tidak tahu apakah kecintaanku padanya itu adalah wujud sesungguhnya cinta atau hanya sekedar obsesiku belaka. Kau tahu aku sangat mengagumi daddy 'kan?"
"Mavra, kau harus membuat semuanya jelas."
"Semuanya sudah jelas sekarang, Marvel. Aku menginginkannya lebih dari apapun di dunia ini. Tapi semakin aku mencintainya, aku semakin takut. Ada begitu banyak ketakutan yang belum siap aku hadapi."
"Seorang Mavra, putri dari Damian Roberto dan cucu dari Benjamin Alexander punya rasa takut?"
Mavra mengangguk lemah. "Aku bisa menghadapi 100 pria di depanku, Aku bisa menyingkirkan 1000 wanita yang mendekatinya, tapi aku tidak bisa jika suatu saat dihadapkan dengan kenyataan, ada wanita lain yang bertahta hatinya. Ada nama lain yang dia tempatkan di dalam lubuk hatinya yang terdalam. Aku tidak bisa."
"Kau bahkan belum bertanya apa-apa padanya? Bagaimana bisa kau menarik simpul yang begitu rumit.
"Itu karena selama ini dia tidak pernah mengatakan perasaannya padaku, Marvel. Dia juga berbohong padaku, kekasihnya sendiri demi bisa menjemput teman wanitanya."
"Jika kau mencintainya, kau harus percaya dengan apa yang dia lakukan. Menghilang selama 2 tahun itu keterlaluan," kata Marvel.
Mavra terdiam. Lagi-lagi lintasan ingatan yang tak mengenakkan mulai mengganggu pikirannya. Mavra mencengkeram rambutnya dan merasa frustasi. Marvel segera menarik tangan Mavra dan dengan cepat Marvel memeluknya.
"Tenanglah. Tidak perlu memaksakan dirimu. Pelan-pelan saja. Maafkan aku, mungkin aku terlalu banyak bicara."
...----------------...