Kecelakaan menjadikan tertulisnya takdir baru untuk seorang Annasya Atthallah. Berselang dua bulan setelah kecelakaan, gadis yang biasa dipanggil Nasya itu dipinang oleh orang tua lelaki yang merupakan korban kecelakaan.
Airil Ezaz Pradipta, terpaksa menyetujui perjodohan yang diam-diam dilakukan oleh kedua orang tuanya. Tidak ada yang kurang dari seorang Nasya. Namun dirinya yang divonis lumpuh seumur hidup menjadikan Airil merasa tidak pantas bersanding dengan perempuan yang begitu sempurna.
Lelaki yang dulunya hangat itu berubah dingin ketika bersama Nasya. Mampukah Nasya meruntuhkan tembok es itu dan melelehkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilawati_2393, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 4
Tidak ada pembicaraan membuat Nasya kelimpungan ketika Arraz dan Nefa tiba-tiba datang menjemput. Padahal setahunya mereka akan tinggal di hotel selama tiga hari.
"Sebentar ya, aku ganti baju dan beres-beres dulu." Nasya bergegas berganti baju, tidak mungkin keluar hotel hanya menggunakan piyama.
Nasya kemudian memasukkan cepat pakaiannya ke dalam koper. Tidak enak kalau membuat kedua adik iparnya itu menunggu lama.
"Santai aja Kak, nggak perlu buru-buru. Nefa bantuin," gadis yang datang bersama Arraz itu ikut membantu membereskan pakaian Airil.
"Biar Kakak yang beresin, kamu antar Abangmu ke mobil saja." Pinta Nasya, mengambil alih pekerjaan Nefa. Namun gadis itu tidak menghiraukan, tetap memasukkan perlengkapan sang abang ke koper.
"Ada Bang Arraz, lagian Bang Airil juga bisa jalan sendiri tanpa didorong." Ujar Nefa yang dibenarkan Nasya dalam hati.
"Kakak nggak perlu khawatir, Bang Airil itu sebenarnya sangat lembut dan penyayang. Cuma sekarang sedang tertekan jadi kasar sama Kakak. Nefa janji akan bantuin Kakak untuk merebut hati Bang Airil."
"Makasih Nefa," Nasya merasa sedikit lebih lega. Ada yang mengerti kondisinya disaat ia tidak bisa bercerita.
"Jangan berterima kasih, karena itu sudah jadi tugas Nefa." Nefa tersenyum, mengajak Nasya meninggalkan kamar hotel.
...🍀🍀🍀...
Seharian di apartemen Nasya habiskan dengan bekerja. Airil hanya mengantarnya, setelahnya pria itu pergi.
Walau libur ia tetap memeriksa laporan-laporan yang masuk di email. Setidaknya ini akan mengurangi pekerjaannya ketika kembali ke kantor nanti.
"Huft, saatnya beberes dan memasak." Seru Nasya sambil meregangkan otot-ototnya yang kaku.
Sejak tadi ia hanya berada di ruang tengah. Tidak berani masuk ke kamar tanpa seizin pemilik. Wilayahnya hanya dapur dan ruang tengah. Bel berbunyi membuat Nasya langsung beranjak membuka pintu, menampakkan Arraz dan Airil.
"Kakak sudah makan, ini aku bawakan buat makan malam. Bang Airil sudah makan di luar," ujar Arraz. Sementara Airil melengos masuk ke kamar menjalankan kursi rodanya.
"Makasih Arraz. Aku tadi masak, boleh kasihkan ke security sekalian pulang." Nasya berbesar hati, melupakan perasaan kecewanya.
Arraz mengangguk, kasihan melihat kakak iparnya yang ditelantarkan. Menurutnya Nasya bukanlah perempuan lemah, hanya menghargai suaminya.
"Sebentar," Nasya bergegas ke dapur memasukkan semua yang dimasaknya dalam box makanan daripada mubazir.
"Ini, makasih Arraz."
"Kakak sabar ya, nanti aku bicara lagi sama Bang Airil."
Nasya tersenyum kecil, mengantarkan Arraz ke depan. Pintu kamar Airil sudah tertutup.
Usai makan malam Nasya menonton tv sebentar lalu membaringkan tubuhnya di sofa.
Seminggu berlalu tidak ada perubahan. Nasya bahkan tidak memiliki waktu untuk bicara pada suaminya itu. Sepulang dari kantor keduanya kembali ke kamar masing-masing.
Ceklek
Saat pintu kamar terbuka, Nasya berbaring dengan santai di tempat tidur suaminya. Untuk pertama kalinya perempuan itu melepas hijab di depan Airil.
Sesaat Airil tertegun dengan kecantikan yang memancar di wajah istrinya. Harus diakui, Nasya memang memiliki segala keindahan. Kecantikan, kepintaran, karier semua ada padanya.
“Keluar dari kamarku!!” Usir Airil lantang.
“Kamar kita,” ralat Nasya.
Menarik selimut dan memejamkan mata. Ini adalah bentuk perlawanannya. Cukup satu minggu ia didiamkan seperti patung pancoran.
“Keluar!!” Ulang Airil, menarik selimut dengan kasar dan menghempaskannya.
“Aku mau tidur di kamar suamiku apa salahnya?” Lawan Nasya tidak mau mengalah. Mengambil kembali selimutnya lalu bekelumbun hingga kepala.
“Ini peringatan terakhir, keluar!!” Sentak Airil semakin emosi.
Nasya menghela napas pelan, menyembulkan kepalanya keluar.
“Kamu bisa darah tinggi kalau marah-marah, Mas. Aku tidur disini juga nggak mengganggu, lampu kamar di sebelah mati. Aku takut gelap,” bohong Nasya mencari alasan.
“Tidur di luar!!” Airil tidak ingin berbaik hati dengan berbagi tempat tidur.
“Huh pelit,” terpaksa Nasya mengalah. Khawatir Airil benar-benar terserang hipertensi karena marah-marah.
“Selamat tidur,” ucap Nasya. Mengecup singkat pipi Airil kemudian kabur sebelum kena amuk.
“Nasya!!” Teriak Airil bertambah murka.
“Huh, senam jantung.” Nasya terkikik, menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Ia dapat ide jadi perempuan nakal seperti ini dari adik iparnya.
Airil menghela napas panjang, menyandarkan kepala sambil mengelus-elus pipinya yang tadi di kecup Nasya. Kenapa dia jadi sesenang ini.
Keesokan paginya sebelum Airil keluar kamar, Nasya sudah menunggu di depan pintu dengan berpakaian rapi.
“Kau, masih berani muncul di hadapanku!!” Bentak Airil melihat Nasya yang menghalangi jalannya.
Nasya tidak menghiraukan, mendorong kursi roda ke meja makan.
“Sarapan dulu Mas, masih pagi jangan marah-marah.” Nasya mengusap-usap rambut suaminya seperti anak kucing.
“Kau sedang apa!” Pria itu menghempas tangan Nasya sampai mengenai meja makan.
Nasya meringis, mengibas-ngibaskan tangannya yang terasa nyeri.
“Sarapan dulu,” suruhnya masih tetap tersenyum. Melupakan rasa sakit di tangannya.
“Aku sudah dijemput,” Airil cepat meninggalkan meja makan. Merasa bersalah sudah menyakiti istrinya.
Nasya mengejar, lalu sekali lagi mencuri kecupan di pipi Airil.
“Kau semurahan itu ingin disentuh, hah!!”
Kalimat itu membuat jantung Nasya berdenyut nyeri.
“Itu hukuman karena menolak sarapan denganku.” Ucap Nasya dengan tenang, tetap tersenyum lalu kembali ke meja makan.
Tidak dihiraukan ternyata tidak sesakit dikatai murahan. Nasya membenamkan kepalanya ke meja, menenangkan dirinya sejenak. Dunianya harus tetap baik-baik saja.
...🍀🍀🍀...
"Nefa," panggil Airil.
"Sebentar Abang, ini Nefa lagi siapin laporannya." Teriak Nefa dari arah meja.
Kesal karena Abang sekaligus bosnya itu hari ini menindasnya. Baru sampai kantor semua orang sudah dibentak. Office boy yang tidak salah apa-apa juga kena marah.
"Cepat!!"
"Huh!!" Nefa meletakkan berkas dengan kasar di atas meja. "Abang kenapa sih?"
"Belikan salep memar dan makan siang, kirim ke kantor Nasya siang ini." Titah Airil kemudian membalikkan kursinya ke arah jendela untuk menghindari tatapan tajam Nefa.
"Abang menyakiti Kak Nasya?" Nefa tidak melepaskan Airil begitu saja. Berjalan mendekat dan menghunus tajam.
"Abang nggak dengar Nefa lagi tanya?"
"Yang bos disini siapa?" Jawab Airil dingin.
"Okey, mulai detik ini Nefa bukan sekretaris Abang lagi. Asal Abang tahu ya, banyak perusahaan yang mau hire Nefa." Decak Nefa kasar.
"Abang tadi gak sengaja bikin tangannya kena meja," jujur Airil.
"Lupakan yang tadi okey, uh sekretaris Abang ini cantik banget." Puji Airil agar adiknya berhenti marah.
"Bagus!" Cetus Nefa kemudian beranjak pergi.
Airil menghela napas, kelinci kecilnya itu tidak boleh dibuat marah. Bisa mengadu pada kedua orang tuanya. Katakanlah dia punya cctv hidup di tempat ini.
sabar ya sa
key diamm
sblm.terkmabat