Zharagi Hyugi, Raja ke VIII Dinasti Huang, terjebak di dalam pusara konflik perebutan tahta yang membuat Ratu Hwa gelap mata dan menuntutnya turun dari tahta setelah kelahiran Putera Mahkota.
Dia tak terima dengan kelahiran putera mahkota dari rahim Selir Agung Yi-Ang yang akan mengancam posisinya.
Perebutan tahta semakin pelik, saat para petinggi klan ikut mendukung Ratu Hwa untuk tidak menerima kelahiran Putera Mahkota.
Disaat yang bersamaan, perbatasan kerajaan bergejolak setelah sejumlah orang dinyatakan hilang.
Akankah Zharagi Hyugi, sebagai Raja ke VIII Dinasti Huang ini bisa mempertahankan kekuasaannya? Ataukah dia akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs Dream Writer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tentang Mei Li
Di kamar pengasuh Putera Mahkota, Mei Li terbangun oleh suara langkah kaki yang tergesa-gesa di lorong. Ia mengintip melalui celah pintu dan melihat dua pria asing yang tidak dikenalnya sedang berbicara dengan salah satu pelayan istana. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.
"Mereka mencariku," gumam Mei Li pelan, menggigit bibirnya. Ia menyadari bahwa gerak-geriknya sedang diawasi.
Kembali ke dalam kamar, ia memeluk Putera Mahkota yang tertidur dengan tenang di tempat tidurnya. Wajah mungil itu tampak damai, tidak menyadari badai yang mungkin sedang berkumpul di sekitar mereka.
"Aku tidak boleh gagal," bisiknya sambil mengusap pipi bayi itu dengan penuh kasih. Ada alasan besar mengapa ia datang ke istana ini, dan meninggalkan desa Selatan yang telah memberinya perlindungan selama bertahun-tahun.
Namun, pikirannya terus kembali pada Zharagi. Tatapan Raja itu terasa terlalu tajam, seperti hendak menelanjangi seluruh rahasianya.
---
Di Ruang Pribadi Raja
Kasim Lodra mengetuk pintu sebelum masuk membawa laporan awal yang diminta oleh Zharagi.
"Yang Mulia," Kasim menunduk hormat. "Kami sudah menemukan beberapa informasi awal tentang Hwa Mei Li."
Zharagi mengangguk. "Bicara."
"Dia memang berasal dari desa Selatan, namun riwayat keluarganya sedikit... membingungkan. Tidak ada catatan pasti tentang siapa orang tuanya. Beberapa saksi mengatakan dia dibesarkan oleh seorang tabib tua bernama Sufan. Pria itu dikenal tertutup dan hanya muncul di desa jika ada kebutuhan mendesak."
"Tabib tua?" Zharagi mengerutkan kening. "Apa hubungannya dengan Mei Li?"
"Kami belum menemukan keterkaitan langsung, Yang Mulia. Namun, ada desas-desus bahwa Mei Li dibawa ke desa itu ketika masih bayi, dan Sufan yang merawatnya hingga dewasa."
Zharagi terdiam sejenak, memproses informasi tersebut. "Teruskan penyelidikan. Aku ingin tahu lebih banyak tentang tabib tua itu dan mengapa dia merawat Mei Li. Jangan berhenti sampai kau menemukan jawaban."
"Baik, Yang Mulia," jawab Kasim sebelum keluar dari ruangan.
---
Di Kamar Mei Li
Saat malam semakin larut, Mei Li duduk di sudut kamar dengan sebuah buku kecil di tangannya. Buku itu sudah tua, dengan halaman yang mulai menguning. Di dalamnya, terdapat catatan tulisan tangan Sufan, tabib tua yang telah merawatnya sejak kecil.
Mei Li membuka halaman terakhir buku itu, di mana terdapat pesan yang selalu menghantuinya:
"Mei Li, darahmu adalah rahasia terbesar yang harus kau lindungi. Jangan pernah biarkan siapa pun tahu siapa dirimu sebenarnya. Jika kebenaran ini terbongkar, nyawamu akan menjadi taruhan."
Tangan Mei Li gemetar saat membaca pesan itu lagi. Ia tahu, waktu semakin menipis. Zharagi bukan seseorang yang mudah dikelabui.
Namun, ia juga tidak bisa mundur. Ada janji yang harus ia tepati, dan tujuan yang belum ia capai.
---
Di Balairung Tengah Istana
Pagi harinya, Zharagi mengumumkan bahwa akan ada inspeksi mendadak untuk semua pelayan dan pekerja istana. Semua orang diperintahkan berkumpul di balairung tengah, termasuk Mei Li.
Saat ia berdiri di antara para pelayan lainnya, Mei Li merasakan tatapan Raja menembus dirinya. Hatinya berdebar kencang, tetapi ia tetap menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang.
Zharagi berjalan perlahan melewati barisan pelayan, tangannya terlipat di belakang punggung. Ketika ia sampai di hadapan Mei Li, ia berhenti.
"Hwa Mei Li," suaranya menggema di ruangan.
Mei Li membungkuk hormat. "Ya, Yang Mulia."
"Kemarilah," perintah Zharagi.
Mei Li melangkah maju, mencoba menahan gemetar di tubuhnya.
"Aku ingin tahu," Zharagi berkata dengan nada dingin, "apa yang sebenarnya kau sembunyikan dariku?"
Ruangan itu seketika sunyi. Semua orang menahan napas, menunggu reaksi Mei Li.
Namun, sebelum Mei Li sempat menjawab, seorang pengawal masuk tergesa-gesa.
"Yang Mulia!" seru pengawal itu. "Ada penyerangan di gerbang Selatan istana. Mereka membawa pesan untuk Anda."
Zharagi berbalik dengan cepat, wajahnya berubah menjadi tegang. "Siapkan pasukan. Aku akan pergi ke sana sekarang."
Ia menoleh kembali ke Mei Li, matanya menyiratkan peringatan. "Kita akan melanjutkan pembicaraan ini nanti."
Zharagi lalu pergi, meninggalkan Mei Li yang berdiri di tengah balairung dengan tubuh lemas.
"Penyerangan?" pikir Mei Li, hatinya dipenuhi kecemasan. Ia tahu, ini mungkin bukan kebetulan. Sesuatu yang lebih besar sedang bergerak, dan ia terjebak di tengah-tengahnya.
Malam semakin larut, tetapi istana Hyugi tidak pernah benar-benar sunyi. Para penjaga berjalan mondar-mandir di lorong-lorongnya, memastikan setiap sudut aman. Sementara itu, di dalam kamarnya, Raja Zharagi duduk di meja kerjanya. Sepucuk surat dari salah satu mata-mata pribadinya baru saja tiba, dan ia membacanya dengan seksama.
Surat itu berisi laporan awal tentang Hwa Mei Li.
"Hwa Mei Li, lahir di desa kecil di bagian Selatan. Ayahnya seorang petani, ibunya meninggal saat ia masih kecil. Tidak ada catatan tentang kejahatan atau masalah lain terkait dirinya. Namun, ada desas-desus bahwa Mei Li pernah menjadi bagian dari kelompok wanita pelarian yang mencari perlindungan di wilayah barat sebelum akhirnya kembali ke desanya."
Zharagi menyipitkan matanya, membaca bagian terakhir surat itu sekali lagi. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, berpikir keras. "Kelompok wanita pelarian? Apa yang membuatnya bergabung dengan mereka, dan mengapa ia kembali?" gumamnya.
Pikirannya beralih pada cara Mei Li bertingkah di hadapannya tadi. Ia terlihat begitu takut, tetapi bukan hanya karena ia adalah Raja. Ada sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih dalam.
---
Sementara itu, di kamar Putera Mahkota, Mei Li duduk di dekat tempat tidur bayi, memandangi wajah kecil yang tengah tertidur lelap. Ada kehangatan di matanya, tetapi juga kecemasan yang dalam. Ia tahu, berada di istana ini bukan hanya tentang memenuhi tugasnya sebagai pengasuh.
"Hwa Mei Li," gumamnya lirih, seperti berbicara kepada dirinya sendiri. "Apa yang sebenarnya kau lakukan di sini? Mengapa kau menerima tawaran ini?"
Namun, sebelum ia bisa menjawab pertanyaan itu sendiri, pintu kamarnya diketuk pelan. Mei Li tertegun. Siapa yang akan datang pada larut malam seperti ini?
Ia membuka pintu dengan hati-hati dan mendapati Lady Ira berdiri di sana, wajahnya terlihat tegang.
"Lady Ira?" Mei Li membungkuk hormat. "Ada sesuatu yang bisa saya bantu?"
Lady Ira melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. "Kau harus berhati-hati, Mei Li," katanya dengan nada serius. "Yang Mulia Raja Zharagi memerintahkan penyelidikan tentang dirimu."
Mei Li terkejut, tetapi ia mencoba menyembunyikan kekhawatirannya. "Penyelidikan? Mengapa beliau curiga kepada saya?"
Lady Ira menghela napas. "Yang Mulia tidak pernah mempercayai siapa pun dengan mudah, terutama ketika menyangkut Putera Mahkota. Kau harus memastikan tidak ada yang mencurigakan tentang dirimu, atau kau bisa kehilangan lebih dari sekadar pekerjaan ini."
Mei Li menunduk. "Saya mengerti, Lady Ira. Saya akan berhati-hati."
Lady Ira menatapnya sejenak, lalu meletakkan tangannya di bahu Mei Li. "Aku percaya padamu, Mei Li. Jangan mengecewakan aku."
Setelah Lady Ira pergi, Mei Li berdiri di tempatnya untuk waktu yang lama. Ia menggenggam erat jubahnya, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak.
---
Di tempat lain di istana, Ratu Hwa berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Ia tersenyum kecil pada bayangannya sendiri, tetapi senyum itu tidak sampai ke matanya.
"Mei Li..." gumamnya. "Kau pikir aku tidak tahu rahasia kecilmu?"
Ia memutar tubuhnya, berjalan ke meja kecil tempat secarik kertas dan pena tergeletak. Ia mulai menulis surat dengan cepat, dengan huruf-huruf yang tajam dan tegas.
"Kepada orang kepercayaanku, pantau setiap gerakan wanita bernama Mei Li. Cari tahu hubungannya dengan desas-desus di desa Selatan. Jangan biarkan ia mengancam posisi kita."
Setelah selesai menulis, Ratu Hwa memanggil salah satu pelayan pribadinya untuk mengirimkan surat itu.
"Jika Raja Zharagi ingin bermain permainan ini, maka aku juga akan ikut bermain," bisiknya sambil menatap keluar jendela, memandang bulan yang kini mulai tertutup awan gelap.
---
Malam itu, roda-roda takdir mulai bergerak semakin cepat. Baik Mei Li, Zharagi, maupun Ratu Hwa tidak tahu bahwa rahasia yang mereka coba sembunyikan perlahan-lahan akan terungkap—membawa mereka semua ke dalam pusaran konflik yang jauh lebih besar dari yang pernah mereka bayangkan.