"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."
Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.
"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"
More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Laut dan Gulma
Ruang tengah itu sangat luas dan dipenuhi pernak-pernik indah yang mencerminkan kehangatan sebuah keluarga. Saat melewati ruang tersebut, mata Hamzah tertuju pada sebuah lukisan kaligrafi tua yang tergantung di dinding. Warna-warninya memudar namun tetap memancarkan keindahan yang abadi.
“Bu, apakah lukisan itu sudah berumur satu abad?” tanya Hamzah sambil menunjuk lukisan tersebut dengan rasa ingin tahu yang mendalam.
“Wah, Mas Hamzah tahu rupanya. Penikmat seni ya mas?” ibu menggoda dengan senyum bangga. “Iya mas, itu lukisan sudah berumur seratus lima puluh tahun. Lukisan itu datang tiga tahun lalu dari Turki,” sambungnya dengan bangga.
“MasyaAllah, ternyata memang benar itu lukisan sudah tua,” timpal Hamzah kagum, merasakan kedalaman sejarah yang terkandung dalam setiap goresan tinta di lukisan tersebut.
Setelah menikmati momen singkat itu, mereka bertiga melanjutkan langkah menuju ruang makan. Ruangan ini lebih kecil dari ruang tengah tetapi tetap terasa hangat dan nyaman. Di tengah ruangan terdapat sebuah meja panjang dikelilingi sepuluh kursi kayu yang siap menyambut mereka untuk menikmati hidangan malam. Saat mereka duduk di meja makan, aroma makanan lezat mulai menggoda indra penciuman mereka. Ibu mulai menyajikan hidangan satu per satu dengan penuh perhatian.
Meja makan itu terbuat dari kayu jati yang dipelitur dengan sempurna, memancarkan kilau hangat yang mengundang. Di atasnya, selembar kaca transparan menambah kesan elegan, memantulkan cahaya lampu yang lembut dari langit-langit ruangan. Suasana di ruang makan itu terasa akrab dan nyaman, seolah mengundang setiap orang untuk berkumpul dan berbagi cerita.
“Iya, silakan duduk Mas Hamzah, Mas Robi,” ucap Ibu dengan senyum hangat, mempersilakan kedua pemuda itu. Hamzah dan Robi saling bertukar pandang, lalu mengangguk serempak sebelum melangkah menuju kursi yang telah disediakan. Mereka merasa beruntung bisa menikmati malam ini bersama.
Beberapa saat kemudian, dua orang pelayan muncul dengan troli besar yang berkilau. Pelayan pertama, seorang wanita muda dengan senyuman ramah, mendorong troli yang penuh peralatan makan: piring berkilau, sendok dan garpu yang disusun rapi, serta pisau tajam yang siap digunakan. Troli kedua mengikuti di belakangnya, dipenuhi hidangan lezat yang menggugah selera.
Dengan cekatan, pelayan pertama menata peralatan makan di depan Hamzah dan Robi. Setelah selesai, pelayan kedua mulai menyajikan berbagai hidangan: ayam goreng yang harum, olahan sayur mayur, buah-buahan segar dan nasi putih pulen yang mengepul. Aroma menggoda memenuhi ruangan, membuat perut mereka keroncongan.
“Silakan Mas, selamat menikmati,” ucap pelayan sopan sebelum meninggalkan mereka berdua.
“Iya mas, terima kasih banyak,” sahut Hamzah dengan nada ceria. Saat pelayan itu pergi, Ibu menyusul dari belakang sambil tersenyum bangga melihat hidangan yang disajikan.
“Eh Rob, masa iya kita hanya berdua tapi hidangannya begitu banyak?” tanya Hamzah sambil mengamati meja yang dipenuhi makanan.
“Iya Zah, ini mah banyak banget! Semoga saja bisa habis. Tapi kalau masalah makan aku jagonya,” sahut Robi sambil tertawa kecil.
“Kamu ini ya, selain jago main game juga jago makan,” timpal Hamzah dengan tawa yang menular.
“Yasudah Zah, mendingan kita langsung menyantapnya!” ujar Robi yang sudah tidak sabar menunggu.
“Iya Rob, tapi sebelum itu kita berdoa dulu,” timpal Hamzah.
“Kamu yang pimpin dong,” pinta Robi.
Hamzah mengangguk setuju. Mereka berdua lalu mengangkat tangan dan menundukkan kepala untuk berdoa. Suasana tenang sejenak menyelimuti mereka sebelum kembali ke kesibukan menikmati hidangan lezat di depan mata.
Setelah doa selesai, Hamzah mengambil nasi dengan sendok besar diikuti oleh Robi yang tidak mau kalah. Mereka saling mengambil porsi makanan; Hamzah memilih satu potong ayam goreng dan tempe goreng yang renyah sementara Robi mengambil hampir semua jenis makanan yang ada di meja.
Mereka terlihat sangat lahap; terutama Robi yang baru saja selesai dengan game-nya dan merasakan lapar luar biasa. Beberapa saat kemudian, Hamzah sudah hampir selesai sementara Robi masih asyik menyantap makanan.
Setelah menuntaskan hidangannya, Hamzah mengambil piring Robi dan meletakkannya di atas piringnya sendiri. Ia berdiri dari kursinya berniat mencuci piring tersebut tetapi bingung mencari dapur rumah itu. Tiba-tiba dua pelayan tadi kembali dengan troli mereka.
“Sudah mas, biar kami saja yang mencucinya,” ucap salah satu pelayan dengan lembut. Mereka segera membereskan sisa-sisa makanan di meja dengan cekatan.
Hamzah dan Robi hanya bisa tersenyum melihat pelayanan yang ramah dan cepat itu. Setelah pelayan selesai mengurus piring-piring kotor tersebut, mereka kembali berjalan meninggalkan ruang makan yang kini dipenuhi kenangan manis malam itu.
“Zah, ayo kita kembali ke kamar,” ucap Robi dengan nada ceria, mengajak sahabatnya yang sudah lama tak berbincang.
“Iya, Rob,” jawab Hamzah dengan senyum lebar, menatap Robi seolah mengingat kembali kenangan indah mereka di rumah Mbah Dul.
Mereka berdua melangkah meninggalkan ruang makan yang hangat, aroma masakan dari koki di rumah ini masih tercium di udara.
Saat mereka sampai di ruang tengah, langkah mereka terhenti ketika suara lembut Mbah Dul memanggil. “Hamzah, Robi! Ayo sini sebentar!”
Di sudut ruang tamu, sebuah akuarium besar berdiri megah, berisi dua ekor ikan arwana yang anggun. Dengan penuh rasa ingin tahu, Hamzah dan Robi mendekati Mbah Dul yang sedang memberi makan ikan-ikan tersebut.
“Lihatlah, ini adalah sepasang arwana platinum yang ku beri nama Laut dan Gulma,” kata Mbah Dul dengan bangga sambil menaburkan makanan ke dalam air.
Hamzah terpesona melihat ikan-ikan itu bergerak lincah dalam air jernih. “Apakah benar Mbah, ini arwana platinum?” tanyanya memastikan.
“Iya, ini sepasang arwana platinum,” jawab Mbah Dul dengan senyum hangat.
Hamzah menelan ludahnya, rasa takjub menyelimuti dirinya. “Jadi benar ya Mbah, ini arwana platinum,” sambungnya dengan semangat.
“Hehehe,” tawa Mbah Dul bercampur rasa bangga. Mbah Dul kemudian menoleh ke arah mereka, “Kalian sudah makan?”
“Alhamdulillah sudah, Mbah,” jawab Hamzah dan Robi serentak.
“Alhamdulillah kalau begitu.” Mbah Dul terlihat puas.
Mbah Dul sambil kembali fokus pada ikan-ikannya. “Kalau sudah makan, kalian boleh kembali ke kamar. Simbah mau tidur seharian ini bikin tubuh simbah pegal semua.”
“Hehehe, iya Mbah. Kalau begitu kita pamit ke kamar dulu,” timpal Hamzah.
“Iya nak, kalian istirahatlah. Besok kalian berangkat pagi kan? Kalau begitu, segera lah istirahat,” ucap Mbah Dul menutup obrolan dengan lembut.
Mereka berdua kompak mengangguk. Setelah berpamitan dengan Mbah Dul, Hamzah dan Robi melanjutkan langkah menuju kamar mereka. Di tengah perjalanan yang tenang itu, Robi tiba-tiba bertanya.
“Eh Zah,” ucap Robi penasaran.
“Ada apa Rob?” jawab Hamzah.
“Memangnya ada apa jika arwana peliharaan simbah tadi berjenis arwana platinum?” lanjut Robi mencari jawaban.
“Kamu tidak tahu Rob?” sahut Hamzah dengan nada menggoda.
“Aku tidak tahu Zah.”
“Nanti jika sudah sampai ke kamar, aku akan menjelaskannya.”
Beberapa saat kemudian, mereka berdua telah berada di dalam kamar yang nyaman dan hangat. Hamzah segera menuju kamar mandi untuk mengganti celananya dengan sarung kesayangannya. Suara air mengalir menjadi latar belakang saat ia berganti pakaian.
Setelah selesai mengganti pakaiannya, Hamzah keluar dan melihat Robi duduk di tepi ranjang dengan wajah penuh rasa ingin tahu. “Zah, memangnya ada apa dengan arwana platinum Zah?” tanya Robi penuh semangat.
“Jadi begini Rob,” Hamzah mulai menjelaskan sambil duduk berhadapan dengan sahabatnya. “Jenis arwana peliharaan Mbah Dul adalah jenis arwana platinum. Jenis ini sangat terkenal di kalangan para pecinta ikan bahkan oleh orang awam sekalipun.”
Robi mendengarkan dengan seksama, matanya berbinar-binar penuh rasa ingin tahu. “Kenapa bisa terkenal?”
“Karena harga jualnya bisa mencapai 5.7 miliar Rupiah!” kata Hamzah dengan nada dramatis. “Ikan ini memiliki ciri khas warna platinum mengkilap di kulit dan sisiknya serta permukaannya yang halus. Oleh karena itu, ikan Arwana Platinum dijuluki sebagai jenis ikan tercantik.”
Robi ternganga mendengar angka tersebut. “Wow! Jadi itu sebabnya Mbah Dul sangat menyayangi mereka!”
“Iya,” jawab Hamzah sambil tersenyum bangga atas pengetahuan yang ia bagi. “Mbah Dul pasti merasa bangga punya ikan seindah itu.”
Malam semakin larut dan keduanya terbenam dalam obrolan tentang keindahan ikan arwana dan petualangan mereka di masa lalu. Di luar kamar, suara malam menambah suasana hangat persahabatan mereka yang tak lekang oleh waktu.