Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.
Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ꦢꦸꦮꦥꦸꦭꦸꦮꦁ
Suasana kampung terasa mencekam. Para penduduk pribumi menutup pintu dan jendela rapat-rapat, bersembunyi dari pandangan tentara yang mendampingi Herlic. Setiap ketukan pintunya membawa ancaman dan kesengsaraan. Suara sepatu botnya menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya.
Setelah selesai di beberapa rumah, Herlic tiba di rumah Mela, sebuah rumah kecil yang terlihat rapuh. Dengan wajah tanpa belas kasihan, dia menggedor pintu dengan keras. Suaranya bergema hingga ke sudut kampung yang sepi. “Buka pintu! Kami datang untuk mengambil pajak!” teriaknya dengan nada mengintimidasi. Namun, tidak ada jawaban dari dalam rumah.
Di dalam duduk gemetar di sudut kamar. Matanya berkaca-kaca, dipenuhi rasa takut. “Mela, kita tidak punya apa-apa lagi. Bagaimana kita bisa membayar mereka?” bisiknya dengan suara hampir tak terdengar.
Herlic semakin tidak sabar. “Aku tahu kalian ada di dalam! Jangan membuatku marah!” Suaranya semakin keras, membuat beberapa tetangga mengintip dari celah-celah jendela mereka, tetapi tak ada yang berani keluar membantu.
Herlic masuk ke dalam rumah dengan langkah mantap, diikuti oleh para prajuritnya. Matanya menyapu setiap sudut ruangan yang sederhana itu, mencari tanda-tanda kehidupan. “Cepat keluar!” teriaknya dengan suara yang menggelegar. Namun, tidak ada jawaban. Rumah itu terasa sunyi, seolah menantang kehadirannya.
Setelah memeriksa ruang depan, Herlic melangkah ke kamar ibu Mela. Matanya langsung tertuju pada wanita tua yang terbaring di tempat tidur, napasnya terengah-engah karena ketakutan. “Mana uang pajakmu?” bentaknya kasar, nada suaranya penuh amarah.
Dengan suara yang lemah dan penuh ketakutan, ibu Mela mencoba menjelaskan. “Maaf, Tuan… anak saya belum pulang. Tolong, tunggulah sebentar lagi… Dia akan membawa uang itu.”
Namun, permohonan itu hanya membuat Herlic semakin marah. “Kau menyuruhku menunggu?! Aku tidak pernah menunggu siapa pun!” teriaknya, wajahnya memerah karena amarah. Ia berbalik ke arah bawahannya. “Cepat, habisi dia sekarang juga!”
Namun, sebelum perintah itu dijalankan, salah satu prajurit melangkah maju, matanya penuh dengan niat jahat. “Tuan,” katanya dengan nada rendah, “kenapa kita tidak bersenang-senang dulu? Dia tidak bisa melawan.”
Herlic melirik prajurit itu dengan tatapan muak, lalu mengibaskan tangannya dengan acuh. “Lakukan apa pun yang kalian mau. Aku tidak peduli. Aku tidak ingin melihatnya.” Dengan itu, ia keluar dari rumah bersama empat prajurit lainnya, meninggalkan sisanya di belakang.
Para prajurit yang tersisa segera menunjukkan kebiadaban mereka. Mereka mendekati ibu Mela dengan tatapan liar, sementara wanita tua itu memohon dengan air mata yang mengalir deras. “Tolong… jangan lakukan ini… Saya mohon…” katanya dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Namun, permohonannya hanya menjadi bahan tawa bagi mereka. Dengan kejam, mereka mulai menodainya satu per satu, tanpa belas kasihan. Jeritannya yang memilukan memenuhi rumah itu, tetapi tidak ada yang datang untuk menyelamatkannya. Di luar, tetangga-tetangga yang mendengar hanya bisa berdiam diri, terlalu takut untuk bertindak.
Ketika semuanya selesai, tubuh ibu Mela terbaring lemah, hampir tidak bernyawa. Salah satu prajurit mengangkat senapannya, menatap tubuh tak berdaya itu dengan sinis. “Sudah cukup. Dia tak ada gunanya lagi,” katanya sebelum menarik pelatuk senjatanya. Suara tembakan menggema, mengakhiri hidup wanita tua itu.
Mereka meninggalkan rumah dengan tawa yang dingin, meninggalkan jejak kehancuran. Rumah kecil itu kini sunyi, hanya menyisakan bau darah dan kesedihan yang mendalam.
Ketika Mela akhirnya pulang, pemandangan yang ia temukan menghancurkan hatinya. Ia melihat ibunya terbaring tak bernyawa di atas ranjang, tubuhnya penuh luka dan tanda-tanda kekerasan. Tangisannya pecah, memenuhi malam yang kelam. Dengan air mata bercampur kemarahan, ia bersumpah dalam hatinya bahwa penderitaan ini tidak akan dibiarkan berlalu tanpa pembalasan. Mela tahu bahwa hidupnya kini telah berubah selamanya.
Mela terisak di samping tubuh ibunya, menggenggam tangan dingin yang tak lagi bergerak. Hatinya dipenuhi duka, tetapi di balik air matanya, bara kemarahan mulai menyala. Ia tahu bahwa tangisan tidak akan mengembalikan ibunya atau menghapus penderitaan yang telah mereka alami. Dalam keheningan malam, Mela bangkit, matanya menyiratkan tekad yang kuat.
"Aku tidak akan membiarkan ini berlalu," bisiknya dengan suara serak. "Aku akan membuat mereka membayar untuk semua ini."
Pagi itu rumah Mela masih dalam suasana kelam. Tubuh ibunya yang telah terbujur kaku tergeletak di lantai, belum sempat dimakamkan. Mela duduk di samping jenazah itu, matanya kosong, pikirannya dipenuhi kebencian yang membakar. Langkah kaki berat terdengar dari luar, memecah keheningan.
Pintu yang sudah rusak kembali terbuka dengan kasar. Herlic dan pasukannya muncul, kali ini dengan tatapan dingin yang sama. Mereka masuk tanpa permisi, memenuhi ruangan kecil itu dengan kehadiran mereka yang mengintimidasi.
“Mana pajakmu?” bentak salah seorang prajurit, nada suaranya tajam.
Mela tidak menoleh. Matanya tetap tertuju pada tubuh ibunya yang kaku. “Aku tidak akan membayarnya,” jawabnya dengan suara rendah namun tegas.
Prajurit itu mendekat, wajahnya dipenuhi amarah. “Apa kau ingin kami menghabisimu juga, hah?”
Mela mengangkat wajahnya perlahan, menatap langsung ke mata prajurit itu. Tidak ada rasa takut di wajahnya, hanya kebencian yang membara. “Habisi saja aku. Aku tidak peduli. Kalian semua sama saja—kejam, tidak berperikemanusiaan. Dasar kompeni sialan!” teriaknya, suaranya menggelegar.
Prajurit itu terkejut sesaat sebelum amarahnya memuncak. Ia segera mengangkat senjatanya, bersiap menembak. Namun, Herlic, yang diam mengamati dari belakang, mengangkat tangannya memberi perintah. “Tahan senjatamu,” katanya tenang namun tegas.
“Tuan, dia menghina kita!” protes prajurit itu.
Herlic menatapnya tajam. “Aku bilang tahan senjatamu.” Nada suaranya tidak meninggalkan ruang untuk bantahan. Prajurit itu akhirnya menurunkan senjatanya dengan enggan, wajahnya masih dipenuhi kemarahan.
Herlic mendekati Mela, berdiri beberapa langkah di depannya. “Aku akan memberimu waktu,” katanya dengan suara yang tidak biasanya lembut. “Besok kami akan datang lagi. Bersiaplah.”
Mela tidak menjawab, hanya memandang Herlic dengan tatapan penuh kebencian. Herlic menatapnya sesaat, kemudian berbalik dan melangkah keluar diikuti oleh pasukannya.
Ketika suara langkah mereka semakin menjauh, Mela menarik napas dalam-dalam, menenangkan amarah yang hampir meledak. Ada sesuatu yang aneh pada Herlic kali ini. Ia tidak seperti biasanya. Namun, Mela tahu, itu bukan berarti mereka telah berubah. Ia yakin Herlic dan pasukannya akan kembali membawa kehancuran.
Mela duduk di depan rumah kecilnya yang kini kosong dan sunyi. Angin sore yang sejuk tak mampu mengusir rasa dingin yang meringkus hatinya. Dalam diam, ia menatap horizon, mengingat masa-masa di mana rumah ini pernah penuh dengan tawa dan kehidupan. Kini, ia harus menjalani hari-harinya sendirian. Semua orang yang ia cintai telah tiada.
Mulai dari ayahnya, Nek Ciliwa, Dan kini, ibunya satu-satunya keluarga yang tersisa juga telah pergi, di tangan kejam tentara Belanda. Mela masih ingat bagaimana ia menemukan tubuh ibunya yang tak bernyawa, bagaimana jeritannya memecah malam, tetapi tidak ada yang bisa mengembalikan ibunya.