Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28. Di mana ayah?
Tidak ingin kecolongan, gadis muda itu bergabung masuk dalam air. Duduk, dengan salah satu tangan menyodorkan segelas minuman, pada dua bocah itu, bergantian.
"Maaf, Kak. Jadi, merepotkan."
"Tidak apa. Saya menyukai mereka." Zamar membiarkan dua anak itu, bermain air, dengan pandangan yang tidak beralih. "Siapa nama mereka?"
"Khaira dan Khaysan."
"Khaira, Khaysan." Dua nama, yang serasa pernah didengarnya, entah dimana. "Apa orang tuanya bekerja disini?"
"Tidak, Kak. Hanya, ibunya saja. Dia membuka kedai. Untuk, ayah mereka. Dia bekerja sebagai dokter."
Zamar tidak bertanya lagi. Ia sibuk mengikat rambut Aira yang berantakan.
"Sudah ya, mandinya." Zamar memeluk Aira dipangkuannya.
"Aila, masih mau belenang, Om."
"Besok saja, lagi. Sekarang, sudah panas. Om tinggal disana," tunjuk Zamar, "Kalau mau berenang, Aira datang ke rumah."
"Wah, lumah Om ganteng, besal sekali." Aira sudah bangkit memperhatikan dengan antusias.
"Terima kasih. Kalau Aira mau datang bermain, boleh."
"Boleh, Om?"
"Boleh, dong. Asal ijin, sama ibunya."
"No, no. Mami pasti mala-mala. Om aja yang ijin sama mami."
"Baiklah. Nanti, Om yang meminta ijin. Sekarang, kita pulang, yah."
Keempatnya, akhirnya naik ke pinggir laut. Zamar berjalan dengan menggandeng tangan Aira dan Khay, disisi kiri dan kanan. Ia mengantar mereka, sampai didepan kedai.
"Masuk dan ganti baju. Kalian bisa masuk angin."
"Trima kasih, Om ganteng." Muah, Aira mendaratkan kecupan dipipi Zamar.
"Tlima kasih, Om," pamit Khay yang tampak kaku.
"Sama-sama. Om pulang dulu."
"Om ganteng, nanti sole mampil sini, yah. Aila punya boneka."
"Oke. Bye-bye."
Dua bocah itu, masuk lewat pintu belakang. Sementara, Zamar masih memperhatikan mereka. Ia juga menatap kedai ini. Sudah lama, ia tidak duduk dan menikmati secangkir kopi. Setiap kali datang, ia hanya duduk diatas balkon, menatap lautan. Tidak beranjak keluar, sama sekali. Tapi, kali ini, ia tertarik pada dua bocah yang sedang tarik menarik di pinggir laut.
"Kalian dari mana?"
"Tadi Aila belenang sama om ganteng."
"Mami, kan sudah bilang. Jangan berenang, Ai. Kenapa tidak mendengarkan Mami?"
"Lama, Mami. Kebulu, tulun ujan."
"Udah, udah."
Maya memandikan dua anaknya, bergantian. Setelah selesai, mereka menggunakan pakaian, ia menyuapi keduanya.
"Mami, Aila mau tinggal sini."
"Kenapa?"
"Ada laut, Aila suka. Aila mau belenang hali-hali."
Seporsi makanan sudah habis. Maya memberikan mereka botol susu. Tapi, seperti biasa, Khaysan tidak mau meminumnya.
"Kenapa Khay?"
"Mami, Kakak tida mau inum ginian. Minumnya di gelas."
"Aaaaa... Gelas," ulang Maya, lalu memindahkan isi susu dalam gelas.
Dua bocah itu, akhirnya tertidur. Dengan memeluk, guling. Maya akhirnya bisa bekerja dengan tenang. Ia memeriksa laporan keuangan, yang sudah dua bulan belum sempat, ia periksa. Ia juga mengecek peralatan yang sudah waktunya, untuk diganti dan mencatatnya.
Saat ini kedai Maya, sudah banyak berubah. Mulai bangunan yang lebih luas dan menu makanan yang varian. Dibelakang kedai, ia membangun tempat tinggal untuk para karyawannya, jadi mereka tidak bersusah payah, mencari tempat tinggal. Dengan izin pengelola pantai, yang kini dipegang sang pengusaha, Maya bisa membuat kedainya lebih baik. Pengusaha yang sebenarnya, Maya ketahui identitasnya. Tapi, untuk berhubungan dengannya, Maya mempercayakan pada karyawannya.
Pukul satu siang, kedai ramai pengunjung yang akan makan siang. Maya duduk di meja kasir, dengan memperhatikan karyawannya, melayani pelanggan.
Ia tersenyum, saat diantara mereka, ada seorang pria berjalan menghampirinya.
"Kenapa kau datang?"
"Ada seorang gadis, membuat janji denganku." Ansel terkekeh geli.
"Dia sedang tidur. Masuklah, aku akan bawakan makanan."
Maya belum sempat makan siang, tepat sekali Ansel tiba. Jadi, mereka makan siang bersama diruang tengah.
"Dia sangat pulas," ujar Ansel yang mencubit ikan bakar
"Dia lelah berenang."
"Hahahaha... dia persis sepertimu. Suka berenang, padahal tidak tahu."
"Jangan membicarakannya. Itu sangat memalukan!" Ansel tertawa dan hampir saja tersedak.
Ansel memilih tidur bersama dua bocah yang masih terlelap. Sementara Maya, duduk diruang tengah dengan layar komputer yang menyala. Ia sudah seperti seorang pebisnis sukses.
Yah, selama dua tahun belakangan. Sedikit banyak, Maya mempelajari ilmu ekonomi, manajemen dan pembukuan. Lalu, bagaimana dengan pendidikannya? Maya belum mau memikirkannya. Saat ini, tujuannya adalah memberikan hidup yang lebih baik, untuk kedua buah hatinya.
"Ayah." Aira merapatkan tubuhya, saat kedua maniknya bertemu mata Ansel yang terpejam. Ia ingin dipeluk lebih lama.
Ayah, selama ini, Mereka memanggil Ansel Ayah. Ayah seperti pada umumnya. Memberikan kasih sayang dan perhatian. Ayah yang selalu menidurkan setiap malam, namun saat terbangun, mereka hanya tidur bertiga. Setiap mereka bertanya, jawaban ibu selalu sama, "Ayah bekerja" hingga akhirnya, mereka tidak pernah bertanya lagi.
Kehadiran Ansel setiap hari, sudah cukup untuk mereka berdua. Dan hal itu juga, membuat Maya merasa tenang. Sebab, keduanya tidak akan pernah bertanya "dimana Ayah?"
Belum lagi, kehadiran Resti sebagai nenek dan ayah Ansel, sebagai kakek. Ditambah, Saphira sebagai tante. Keluarga lengkap, yang tidak akan membuat mereka untuk bertanya "dimana ayah?"
Aira menghirup aroma tubuh Ansel, seolah sangat merindukannya. Padahal, mereka bertemu setiap hari, hanya saja ketika terbangun, Ansel tidak bersamanya.
Hal yang sama dilakukan Khaysan, ia juga merapatkan tubuh pada adiknya, hingga Aira terjepit.
"Aila teljepit, kakak. Undul belakang."
Khay tidak bergerak. Ia mengambil tangan Ansel, meletakkan diatas perutnya.
"Ini punya Aila." Merebut tangan Ansel, meletakkan diatas perutnya. "Ayah, punya Aila."
"Jangan libut, Ai. Ayah bangun!"
Aira menutup mulutnya, dengan kedua tangan. Lalu, berpura-pura tidur.
Ansel sebenarnya, sudah lama terbangun, saat Aira berteriak. Dengan pasrah, membiarkan dua anak itu memperebutkan tangannya, karena hanya ingin dipeluk. Supaya adil, Ansel memeluk keduanya dan mengecup kening Aira, agar tidak protes.
Posisi, yang membuat Maya, ingin menangis menatap mereka. Dua anaknya, berebut kasih sayang pada pria yang bukan ayah kandung mereka. Maya yang ingin mengambil buku catatan dalam tas, membeku ditempat. Kedua anaknya yang tidak menyadari kehadirannya, sibuk menarik tangan Ansel, agar dipeluk.
Tanpa bersuara, Maya keluar kamar. Ia berlari keluar, lewat pintu belakang. Ia. menangis sejadi-jadinya.
Apa yang akan terjadi, jika suatu hari Ansel menikah? Siapa yang akan menjadi ayah mereka? Maya takut, jika akhirnya, dua anaknya mengetahui tentang Ansel, yang bukan ayah mereka. Maya takut, harus menjawab apa nanti, saat mereka bertanya.
Kehadiran Ansel dan keluarganya, membuat kedua anaknya memiliki keluarga lengkap. Dan itu, membuat mereka beranggapan, "Dia adalah kakek nenekku. Dia adalah tanteku dan dia adalah ayahku."
Jika tiba-tiba, mereka kehilangan. Maya harus mengatakan apa?
Maya terduduk diatas pasir, menangis dengan menutup wajahnya.
🍋 Bersambung
karya yg sungguh bagus.
sebagai orangtua memang hrs bijak menyikapi pilihan anak
tidak seperti ibunya Za dan ibunya Sandra
tanpa mrk sadari, kedua orgtua tsb sdh merusak mental dan karakter anak
sy Tidak menyalakan sepenuhnya Za
mungkin klw kita berada diposisi Za akan mengalami hal yg sama
Buat May,hrs juga bijaksana,dan mengalahkan ego
di bab ini sy suka peran Kel.dr.Ansel.
Terimakasih Thor,sy suka dgn karyamu
banyak pesan moral yg Thor sampaikan.
Terimakasih.👍👍❤️