Apa yang akan terjadi pada Jamilah setelah tiga kali dilangkahi oleh ketiga adiknya?.
Apa Jamilah akan memiliki jodohnya sendiri setelah kata orang kalau dilangkahi akan susah untuk menikah atau mendapatkan jodoh?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 Wanita Pelangkah
Hari ini Jamilah bisa pulang lebih awal, setelah tahu tidak akan ada buntut dari kejadian dihari pertama Alexander masuk sekolah.
Usai mengantarkan buku tulis matematika kelas 5A Jamilah langsung saja pulang karena memang sudah waktunya. Tidak ingin ikut campur dengan Ibu Wiwin yang memberikan hukuman pada Alexander. Jamilah sangat menghormati, setiap guru memiliki cara dan sudut pandang sendiri untuk membantu setiap muridnya. Selama itu bukan hukuman berupa kontak fisik.
Mengendarai sepeda motor yang memiliki suara sangat berisik. Tapi Jamilah tidak malu atau terganggu sedikit pun.
.
.
.
Sampai di halaman rumah yang berpagar bambu, yang saat ini sedikit terbuka. Jamilah melihat ada dua buah motor matic yang ia tahu itu keluaran terbaru merk Honda. Yang memiliki harga sangat mahal. Tapi masalahnya siapa pemilik sepeda motor yang saat ini sedang terparkir persis di halaman rumahnya itu.
Jamilah langsung saja membawa motornya yang sudah mati masuk ke samping rumah dimana tempat menyimpan motor antik kesayangannya.
"Assalamu'alaikum...." Jamilah memelankan suaranya, ia masuk lewat pintu dapur yang kini sudah ada Jaka dan Julia.
"Wa'alaikumsalam, Kak...." Jawab keduanya sambil menyalami tangan Jamilah.
"Ada tamu siapa?." Tanya Jamilah pada kedua adiknya masih dengan suara yang begitu pelan. Ia duduk di bale-bale yang ada di dapur.
"Katanya, yang kita dengar mah. Mau melamar Kak Jamilah." Jawab Julia santai sambil menatap intens wajah Kakaknya.
"Siapa?." Tanya Jamilah ingin tahu.
"Pak Romli...." Jawab Julia dengan tatapan matanya yang masih belum lepas dari sang Kakak.
Jamilah hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
Pak Romli, merupakan ketua RW tetangga kampung dari arah selatan. Status Pak Romli sendiri saat ini sudah memiliki satu orang istri dan dua orang anak yang masih kecil-kecil. Kisaran umur tiga tahun untuk anak laki-laki dan umur enam tahun anak perempuan.
Dulu pun pernah, saat awal-awal menikah dengan istrinya yang sekarang. Pak Romli datang ingin meminangnya, setelah Jamilah dilangkahi oleh adik yang kedua, Juleha.
"Kenapa Kakak bengong?." Jaka menyenggol pelan lengan Jamilah.
"Kenapa....."
Tatapan Jamilah, Jaka dan Julia beralih pada pintu yang terbuka dari arah dalam rumah. Hingga Pak Romli dan sang istri mengetahui keberadaan Jamilah saat ini sedang berada di dapur.
Mau tidak mau, Jamilah harus menemui tamu yang sedang berada di dalam rumahnya itu. Jamilah pun ikut duduk bergabung mereka setelah membantu Emak mengambil teko air panas yang diminta oleh ibunya Pak Romli.
"Terima kasih, Emaknya Jamilah, Nak Jamilah." Ucap ibunya Pak Romli.
"Sama-sama." Balas Emaknya Jamilah dan Jamilah bersamaan.
Romli begitu senang melihat Jamilah yang lebih dewasa, kalem dan santun seperti ini dan terlihat wajahnya semakin memancarkan sinar. Menerima kedatangan keluarganya saat ini yang memiliki maksud seperti beberapa tahun ke belakang.
"Nak Jamilah...." Suara lembut yang berasal dari ibunda Pak Romli.
"Iya Bu..." Balas Jamilah merendahkan suaranya.
"Ibu datang lagi ke rumah Nak Jamilah, pasti Nak Jamilah tahu apa maksud dari kedatangan kami." Ibunya Pak Romli menjeda ucapannya kala ia meminum sedikit air hangat untuk membasahi kerongkongannya.
Namun Jamilah tidak memotong, ia membiarkan ibunya Pak Romli untuk melanjutkan apa yang ingin disampaikannya.
"Romli, anak Ibu. Ingin meminang kembali Nak Jamilah. Romli sudah mendapatkan izin dari istri pertamanya. Satu tahun terakhir ini, Hesti, istrinya Romli sedang mengidap penyakit yang kata Dokter sedikit kemungkinan untuk bisa sembuhnya. Jadi Hesti sebelum meninggal ingin mencarikan istri untuk Romli dan ibu sambung untuk kedua anaknya yang masih kecil." Ibunya Pak Romli menjelaskan panjang lebar.
Jamilah hanya mampu mengucap istighfar beruang kali di dalam hati, bagaimana bisa hal ini bisa terjadi dalam hidupnya. Saat wanita lain sedang berjuang melawan penyakit, masa ia harus hadir untuk mematahkan semangat wanita yang sedang berjuang untuk kesembuhan demi suami dan anaknya.
"Rasanya tidak mungkin dan bisa ia melakukan itu pada wanita lain." Batinnya.
Jamilah menatap Hesti yang menatap kearahnya juga dengan senyum yang dipaksakan dan raut wajah yang penuh dengan kesedihan dan tekanan.
"Tadi Emak dan Bapak, Nak Jamilah. Menyerahkan semua keputusan pada Nak Jamilah karena memang benar nantinya Nak Jamilah yang akan menjalani rumah tangga bersama anak Ibu." Lanjut Ibunya Pak Romli, kembali meneguk air hangat itu cukup banyak kali ini.
"Terima kasih sebelum dan sesudahnya atas niat baik Pak Romli dan keluarga terhadap saya. Tapi saya mohon diberi waktu untuk memikirkan ini semua, saya tidak ingin gegabah dalam mengambil keputusan yang besar untuk hidup saya." Jawab Jamilah dengan suara yang tetap merendah, menghormati mereka sebagai tamu.
Romli dan Ibunya tiba-tiba saja merasa gerah, kepanasan dan sedikit merasa sesak, sampai Ibunya Pak Romli meminta kipas angin yang ada di dalam rumah Jamilah supaya difokuskan kearahnya.
Bapak Jamilah pun mengabulkan apa yang diminta tamunya itu.
Ibunya Pak Romli kembali meneguk air minum hangat itu sampai habis dua gelas kecil, ada sebuah rasa yang tidak biasa saat Jamilah menunda jawaban untuk pinangan anaknya saat ini.
"Apa yang mau dipertimbangkan lagi oleh Nak Jamilah?. Jika mengingat, mohon maaf kalau saya harus bicara jujur mengenai fakta ini. Usia Nak Jamilah sudah tidak lagi muda, sudah dilangkahi sampai tiga kali, dimana jika dikampung kita itu akan membuat beban untuk kedua orang tua Nak Jamilah. Nah kami bermaksud mengambil alih beban kedua orang tua Nak Jamilah dengan menikahkan Nak Jamilah dengan Romli." Ucap Ibunya Pak Romli yang sangat melukai hati kedua orang tua Jamilah, tapi tidak dengan Jamilah.
Jamilah memegang tangan Emak dan Bapak yang mengapit kanan kiri dirinya.
"Iya saya tahu itu, terima kasih sudah mengingatkan saya. Tapi keputusan saya tetap bulat, kalau saya meminta waktu untuk memikirkan semua itu." Jawab Jamilah tetap bernada lembut namun sangat tegas kali ini.
Tidak ingin dipermalukan lebih lama dan untuk yang kedua kalinya, Ibunya Romli, Romli dan Hesti pamit pulang dengan alasan sebentar lagi memasuki waktu sholat Jum'at. Dan itu memang benar adanya.
.
.
.
Usai melaksanakan sholat dzuhur, Jamilah memainkan sebenar hape yang sudah tiga tahun ini dimilikinya. Ia membaca artikel yang didapatnya dari google setelah ia mencari artikel tersebut.
Menjadi guru tidak lantas membuatnya pintar, ia tetap harus banyak belajar, belajar dan belajar lagi. Terlebih lagi tentang mengenal setiap karakter dari anak didiknya yang sudah mulai bermunculan di dalam lingkungan sekolah. Tidak mungkin ia menggunakan metode yang sama pada semua anak, pasti akan ada yang berbeda.
Saat sedang serius membaca artikel tersebut, sebuah pesan masuk dari Pak Ginanjar. Tepat pukul satu siang. Dimana isinya, ia diminta Pak Ginanjar untuk meluangkan waktu untuk datang berkunjung ke rumah wali murid dari Alexander bersama dirinya.
Jamilah membalas singkat pesan tersebut, menanyakan jam berapa mereka akan jalan?.
Tidak lama pesanan balasan diterima oleh Jamilah, kalau tidak ada halangan mereka akan jalan jam 3 sore ini.
Jamilah hanya sesaat mendiamkan pesan terakhir dari Pak Ginanjar, sampai pada menit berikutnya ia membalas dengan kalimat yang singkat.
"Insya Alloh"
.
.
.
Usai berpamitan pada Emak dan Bapak, Jamilah berangkat menuju rumah Pak Ginanjar sekitar jam 14.15 WIB. Supaya bisa sampai sekitar jam 14.45 14.55 WIB.
Setelah melewati perjalanan sekitar tiga puluh menit, Jamilah sudah sampai di rumah Pak Ginanjar. Bagaimana bisa Jamilah tahu rumah Pak Ginanjar?. Karena sudah beberapa kali Jamilah bersama guru-guru yang lain datang ke rumah Pak Ginanjar dalam berbagai kesempatan. Seperti menjenguk beliau sedang sakit, pembuatan naskah soal latihan harian semua kelas, atau terkahir menghadiri anak pertamanya menikah.
"Kita langsung jalan saja Ibu Jamilah, supaya tidak kemalaman nanti pulangnya."
"Baik Pak, silahkan."
Keduanya membawa motor masing-masing. berjalan beriringan menuju rumah wali murid dari Alexander, yaitu Kakek Utomo Santoso.
.
.
.
"Assalamu'alaikum..." Pak Ginanjar mengetuk pintu rumah Pak Utomo. Setelah sebelumnya ia dan Jamilah memarkirkan motor didepan rumah Pak Utomo.
"Wa'alaikumsalam..." Ada Jawaban dari dalam rumah besar tersebut dan pintu langsung terbuka lebar guna menyambut tamu yang sudah dinantinya.
Pak Utomo mempersilakan Jamilah dan Pak Ginanjar untuk masuk dan langsung duduk di ruang tamu yang sangat luas.
"Ayo silahkan masuk, Pak Ginanjar, Ibu guru Alexander."
Jamilah dan Pak Ginanjar mengikuti Pak Utomo yang telah lebih dulu duduk di kursi ruang tamu.
Pendengaran mereka terganggu dengan pertengkaran yang tiba-tiba terjadi di dalam rumah Pak Utomo. Pandangan ketiganya pun tertuju pada lantai dua tapi tidak memperlihatkan siapa pun di sana, hanya suaranya saja.
"Alexander!. Tidak seperti itu?. Kamu harus paham kesibukan Daddy mu di LA, itu demi kesembuhan Joy. Jadi kamu jangan bertingkah seperti anak kecil." Teriak seroang wanita dari lantai dua rumah itu.
"Aku memang masih anak kecil, apa kalian tidak bisa melihat itu?. Kenapa aku yang harus paham dengan keadaan Daddy dan Joy?. Sedangkan mereka saja tidak mempedulikan ku disini, mereka malah mengirim ku tempat yang kotor, kumuh dan banyak penyakitnya. Sementara Joy tinggal di tempat yang serba higienis." Teriak seorang anak kecil yang begitu lantang, tegas dan sangat arogan pastinya. Yang dibisa dipastikan jika suara itu milik Alexander.
"Alexander, dengar kan Bibi." Suara wanita itu melemah, dan tidak lagi terdengar suara apa pun dari lantai dua rumah Pak Utomo.
Jamilah, Pak Utomo dan Pak Ginanjar baru bisa bernafas dengan lega saat tidak mendengar keributan itu lagi, setelah sebelumnya sangat menahan nafas takut terjadi hal yang diluar dugaan. Tapi syukurnya tidak ada.
Pak Utomo mulai mengutarakan maksud dan tujuannya mengundang Pak Ginanjar dan Ibu guru Alexander untuk datang ke sana.
.
.
.
Dalam perjalanan pulang, Jamilah dan Pak Ginanjar menyempatkan diri untuk mampir ke masjid yang mereka lewati. Keduanya langsung menjalankan sholat Ashar. Lalu Jamilah dan Pak Ginanjar berpisah di persimpangan jalan.
Jamilah kemalaman dijalan karena ia mampir kembali di sebuah masjid yang dilewatinya untuk menjalankan sholat Maghrib.
"Ibu Jamilah dari mana?." Tanya salah satu pemuda yang baru keluar dari masjid.
"Eh Andi ya?." Samar-samar Jamilah mengingat pemuda itu yang merupakan teman dari adik ketiganya Juju.
"Saya dari kampung sebelah, Andi. Ada sedikit urusan." Jamilah menjawab pertanyaan Andi sebelumnya.
Ada tiga orang ibu-ibu yang baru keluar juga dari masjid. Mereka yang tahu siapa Jamilah pun, mendekatinya dan saling bertegur sapa.
"Eh Ibu Jamilah, sekarang mainnya sama anak muda ya Bu. Sudah tidak ada teman yang sebaya ya?. karena mereka sudah memiliki keluarga masing-masing." Jamilah hanya memperlihatkan senyum tulus dan ramah pada ketiga ibu itu tanpa membalasnya sedikit pun.
Y
hhh