Regina, memilih bercerai dari sang suami yang telah menikahinya selama 5 tahun.
Dia selalu tidak terlihat di depan sang suami karena perempuan lain yang dicintai suaminya.
Namun setelah bercerai, ternyata malah menjadi awal dari kisah cintanya bersama sang adik ipar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon To Raja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Berita dari rumah sakit
Pada sore harinya, Regina tiba di keluarga Taliban sambil membawa sebuah paper bag besar yang kemudian menemui Ibu mertuanya dan menyerahkan paperbag itu.
Sang ibu mertua bernama Christina tampak senang menerima hadiah tersebut, "padahal Kau tidak perlu repot-repot membawa hadiah, cukup datang saja kemari ibu sudah sangat senang. Oya, di mana Kevin?" Tanya Christina.
"Mungkin belum pulang kerja, aku datang bersama Arvin, kebetulan tadi bertemu di jalan," ucap Regina sambil melihat ke arah pintu masuk, di mana Arvin Baru saja datang Seraya membawa sebuah kardus yang entah apa isinya.
"Kau sudah pulang dari luar negeri ya? Bisa-bisanya kau pulang kemarin malam dan baru sempat datang ke rumah sore hari ini? Memangnya kau kemana saja hah?!" Christina tampak kesal melihat putranya.
Tetapi Arvin menanggapinya dengan tersenyum, sambil meletakkan kardus di atas meja dan mendekati sang Ibu lalu memeluk ibunya dengan hangat.
"Aku cinta ibu, Ada banyak hal yang harus kuselesaikan setelah kembali dari luar negeri, tapi malam ini aku akan menginap di sini," ucap Arvin membuat Christina merasa senang.
"Benarkah? Bagus, akhirnya kau sadar bahwa ini adalah rumahmu, kau harus lebih sering tinggal di sini, untuk apa tinggal di apartemen kecil? Bahkan Kau hanya memilih apartemen dengan satu kamar saja, kau itu benar-benar tidak terlihat seperti bagian dari keluarga Taliban!" Kesal Christina.
"Maaf Bu," ucap Arvin yang selama ini memang tidak pernah tinggal di kediaman besar keluarganya, sebab ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman tinggal di tempat itu, namun hari ini dia harus berada di tempat itu untuk memastikan Regina dalam keadaan aman.
"Baiklah, tidak perlu minta maaf. Sekarang kalian berdua pergilah ke kamar, bersiap-siap untuk makan malam, kakek juga sedang istirahat, nanti kita semua berkumpul bersama saat Ayah kalian kembali," ucap Christina.
"Baik, Bu," kata Arvin dan Regina secara bersamaan lalu kedua orang itu naik ke lantai atas menuju kamar masing-masing.
Tetapi ketika Regita tiba di depan pintu kamar dan hendak membuka pintu, suara dari belakang membuatnya menghentikan gerakannya.
"Apa kau buru-buru untuk bercerai?" Tanya Arvin.
Regina berbalik menatap Arvin, "ya," jawab Regina dengan percaya diri dan penuh tekad, tampak tidak ada yang bisa menghancurkan tekadnya itu.
Arvin mengangguk, lalu memasuki kamar dengan hati yang tiba-tiba melambung naik melewati langit ke-7.
Regina pun memasuki kamarnya, jantungnya berdegup kencang dan dia merasa seolah-olah baru saja memberi kesempatan pada Alvin bahwa mereka memiliki kesempatan untuk bersama-sama.
Regina butuh waktu cukup lama untuk berdiam diri sebelum akhirnya mandi dan menggunakan pakaiannya, Dia sedikit kesal melihat ruang gantinya dipenuhi pakaian laki-laki, itu adalah pakaian-pakaian milik Arvin yang disediakan di sana saat mereka tinggal di rumah itu.
Namun sebenarnya, jika mereka tinggal di rumah keluarga Taliban, keduanya tidak tidur bersama, Regina akan tidur di sofa, sementara Kevin akan tidur di tempat tidur atau biasanya menghabiskan sepanjang waktunya di ruang kerja.
Jika dahulu Regina merasa hal seperti itu wajar karena dia masih berusaha untuk mendapatkan cinta Kevin, namun saat ini dia merasa begitu konyol.
Regina tertawa geli memikirkan masa lalu tersebut Lalu menggunakan pakaiannya dan segera keluar dari kamar untuk turun ke ruang makan.
Saat baru keluar dari kamar, Regina menghentikan langkahnya saat melihat Arvin juga keluar dari kamar dengan setelan santai, kaos putih dan celana pendek berwarna coklat itu membuat Arvin terlihat lebih tampan.
Selama ini Regina tidak pernah menyadarinya, sebab seluruh perhatiannya terfokus pada Kevin, namun sekarang dia seolah-olah tersihir dengan pemandangan di hadapannya itu.
"Ayo," kata Arvin menyadarkan Regina dari lamunannya yang akhirnya Regina melangkahkan kaki menyusul pria itu menuruni tangga.
Saat mereka tiba di lantai bawah, sang ibu mertua terlihat sedang menelepon di ruang keluarga.
"Kau tidak pulang malam ini? Istrimu ada di sini, Baru saja datang, dia bilang akan menginap di sini, tapi kau malah tidak mau ke sini?! Apa jangan-jangan kalian bertengkar lagi?! Apalagi yang sudah kau lakukan sampai-sampai kalian bisa bertengkar?" Kesal Christina pada putranya, dia tahu bahwa masalah dalam rumah tangga Putra sulungnya pasti tidak pernah lepas dari kesalahan putranya, sebab Regina selalu bersikap baik dan bahkan selalu menjadi menantu dan istri yang penurut.
Dari seberang telepon, Kevin berkata, "aku memang menyuruhnya ke situ karena aku tidak bisa pulang ke rumah hari ini, pekerjaan terlalu banyak."
"Apa?! Dasar kau ini, bisa-bisanya kau mementingkan pekerjaan untuk menelantarkan istrimu? Awas aja kalau besok-besok kau masih melakukan hal yang sama, Ibu tidak akan memberimu kesempatan untuk membuat alasan!" Christina dengan cepat menekan tombol reject pada panggilan telepon itu.
"Ibu," kata Regina membuat Christina berbalik menatap sang menantu.
"Ayo ke ruang makan, semua nya sudah siap, ibu akan memanggil Ayah kalian," ucap Christina dijawab anggukan Regina dan Arvin hingga keduanya pergi ke ruang makan sementara Christina memanggil suaminya dan menyuruh pelayan untuk mengantar sang kakek turun ke ruang makan.
Setelah semua orang berkumpul di meja makan, maka bunyi peralatan makan pun mulai terdengar diselingi percakapan antar keluarga.
"Rumah ini menjadi lebih hidup kalau semua orang kembali. Sayang sekali Kevin tidak ada di sini," kata Tuan besar tampak sedikit tidak puas dengan ketidakhadiran Kevin.
"Besok-besok dia akan bergabung," ucap Christina.
"Benar, Ayah tidak perlu memikirkannya," suami Christina berbicara lalu berbalik menatap putranya, "ayah sudah lelah menanyakan ini padamu, kapan kau akan membawakan kami seorang menantu yang cantik?" Tanya sang ayah membuat Arvin langsung menoleh menatap Regina.
Jantung Regina seketika berdegup kencang, namun dia menahan ekspresinya dan membiarkan Arvin berkata, "segera," jawab Arvin.
"Benarkah?"
"Segera katamu? Kapan segeranya itu?"
"Akhirnya semua orang di rumah ini akan menikah!"
Tiga orang yang mendengar ucapan Arvin benar-benar senang, karena selama ini setiap kali Arvin ditanya tentang seorang menantu untuk keluarga mereka, Arvin hanya diam saja, namun sekarang pria itu telah berbicara.
"Hm,," Arvin mengangguk, "aku akan membicarakannya malam ini juga," ucap Arvin.
"Bagus! Bagus!" Sang kakek tampak puas,, "kalau begitu setelah makan malam, semua orang akan berkumpul di ruang kerjaku! Ada hal lain juga yang perlu kusampaikan!" Senyuman terpatri di wajah sang tuan besar yang sudah dipenuhi keriput.
Regina sedikit merasakan keringat dingin di tangannya, entah kenapa perasaannya tidak enak dan cukup gelisah untuk sesuatu yang mereka rencanakan kali ini.
Bagaimanapun, ini adalah rencana yang begitu besar, dan dilakukan sangat mendadak, bahkan secepatnya malam ini juga?
Regina cukup terkejut dengan keputusan Arvin itu, namun dia tidak menunjukkan ketidaksetujuannya dan hanya fokus makan seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Dari tempat duduknya, Arvin memperhatikan Regina, lalu sesaat tersenyum, "kau harus makan lebih banyak," kata Arvin mengambil daging dan meletakkannya di piring Regina.
"Yang sopan pada kakakmu!" Christina menegur anaknya.
"Ibu,," Arvin menatap ibunya dengan tatapan memelas.
"Regina itu kakak ipar mu, jangan berbicara seolah-olah dia teman sebayamu!" Christina masih tidak senang pada putranya.
"Kami adalah teman, bahkan sewaktu kecil kami--"
"Itu dulu, tapi sekarang status Regina lebih tinggi darimu!" Tegas Christina akhirnya membuat Arvin mengangguk, dia pasrah dan membiarkan keinginan ibunya terpenuhi.
Makan malam pun berlanjut, sampai selesainya makan malam dan Regina memilih pergi ke balkon dengan Arvin mengikutinya, Ia mendapat panggilan telepon dari rumah sakit tempat dia melakukan pemeriksaan kesehatan.
"Halo," Regina mengangkat panggilan telepon itu Seraya duduk di sofa, melihat seorang pelayan yang memasuki area balkon membawa nampan, tampaknya berisi teh untuk mereka berdua.
"Tuan besar mengatakan untuk berkumpul di ruang kerjanya dalam 20 menit lagi," ucap sang pelayan dijawab anggukan pelan Arvin lalu pelayan itu segera pergi.
Sementara Regina yang menerima telepon, seorang perempuan dari seberang telepon berkata, "seluruh hasil pemeriksaan Nona telah keluar, kami menghubungi lebih awal karena ada sesuatu yang serius yang membutuhkan tindak lanjut lebih awal. Kami berharap Nona segera datang ke rumah sakit besok pagi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut, ini mengenai adanya gejala kanker yang terdeteksi pada tubuh nona."
Ucapan perawat dari seberang telepon seketika membuat Regina terdiam.
Kanker?
"I,,, itu, Anda yakin? Saya memeriksakan kesehatan setiap bulan, dan tidak ada masalah di bulan-bulan yang lalu, Jadi tidak mungkin hari ini tiba-tiba muncul tanda-tanda saya mengidap kanker bukan?" Kata Regina sedikit keringat dingin.
Tidak ada yang akan tenang ketika dia didiagnosa memiliki gejala mengidap kanker.
Arvin yang mendengar ucapan Regina juga terkejut, dia memfokuskan perhatiannya pada perempuan di hadapannya.
"Nyonya, Anda harus tahu bahwa pemeriksaan beda satu hari saja bisa menghasilkan sesuatu yang berbeda, semuanya tergantung dari kondisi pasien saat melakukan pemeriksaan kesehatan. Kalau begitu kami akan menunggu nyonya di rumah sakit besok pagi, saya akan menghubungi anda lagi untuk mengingatkan anda besok pagi. Dan saya harus mengingatkan Nyonya bahwa gejala kanker ini terdapat di bagian yang sangat sensitif, akan berakibat fatal jika tidak segera ditangani," ucap perempuan dari seberang telepon membuat Regina menurunkan ponselnya dan menekan tombol reject.
"Kau baik-baik saja?" Arvin dengan cepat mengambil minuman di atas meja dan memberikannya pada Regina.
"Katanya aku mungkin mengidap kanker, dan itu berada di bagian tubuh yang sangat sensitif, akan berakibat sangat fatal jika tidak langsung menanganinya," kata Regina menerima minuman dari Arvin dan mengatur helaan nafasnya sebelum meneguk minuman tersebut.
Arvin mengerutkan keningnya, Dia teringat akan panggilan telepon dari Selena ketika dia berada di taman.
Ada rasa curiga dalam hati Arvin sehingga dia berkata, "aku akan menemanimu besok."
Regina tidak berkata apapun, fokusnya lebih tertuju pada ucapan perawat yang terus terngiang-ngiang dipikirannya.
Kanker.
ya gak ada yg mau ama selwna yg pwnyakiran..
❤❤❤❤😉
begitu tau kepastian pisisi Kevin di perusahaan dan dan dikeluarga dia langsung berniat merebut Arvin
haa... betapa bodohnya kau Kevin
😀😀😀❤❤❤❤