Tidak ada yang bisa memilih untuk dilahirkan dari rahim yang bagaimana.
Tugas utama seorang anak adalah berbakti pada orang tuanya.
Sekalipun orang tua itu seakan tak pernah mau menerima kita sebagai anaknya.
Dan itulah yang Aruna alami.
Karena seingatnya, ibunya tak pernah memanjakannya. Melihatnya seperti seorang musuh bahkan sejak kecil.
Hidup lelah karena selalu pindah kontrakan dan berakhir di satu keadaan yang membuatnya semakin merasa bahwa memang tak seharusnya dia dilahirkan.
Tapi semesta selalu punya cara untuk mempertemukan keluarga meski sudah lama terpisah.
Haruskah Aruna selalu mengalah dan mengorbankan perasaannya?
Atau satu kali ini saja dalam hidupnya dia akan berjuang demi rasa cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bund FF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mendendam
Hari ini berjalan cukup baik. Uang jajan Aruna utuh karena tadi Ferdi memberinya kue yang cukup untuk mengganjal perutnya hingga waktu pulang sekolah.
Dan sekarang, hati Aruna sendang cukup gembira karena sedang menenteng nasi kotak lengkap dengan sekotak kue berisi jajan pasar beraneka ragam yang didapatkan dari acara tahlilan di rumah Ferdi.
"Makasih ya, Fer" ucap Aruna yang baru saja turun dari motor jadul termodifikasi milik Ferdi.
"Sama-sama. Gue langsung balik ya" pamit Ferdi segera tancap gas. Masih banyak tugas yang harus dilakukan untuk membantu emaknya setelah acara tahlil usai.
"Hati-hati" kata Aruna sambil melambaikan tangan.
Berjalan pelan menuju rumahnya yang ternyata pintunya sedang terbuka padahal sudah jam sembilan malam.
"Ibu dirumah? Tumben sekali" gumam Aruna sedikit berpikir.
Memang ibunya sedang duduk santai di ruang tamu sambil menghisap kepulan asap nikotin dari sebatang rokok. Dengan mata awas melihat ke layar ponselnya.
"Baru pulang?" pertanyaan yang tak akan Aruna jawab terdengar dari mulut ibunya.
"Bawa makanan ya? Bagi gue dong" pinta ibunya, Aruna segera memberikan itu padanya.
Lagipula perut Aruna sudah kenyang karena tadi sempat makan di rumah Ferdi.
"Sisain buat sarapan besok, Bu" ucap Aruna yang langsung ke kamarnya yang kecil untuk meletakkan tasnya, lantas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum tidur.
Cukup lama ritual mandinya karena Aruna harus menunggu bak mandinya penuh. Kebiasaan ibunya yang tak mau mengisi lagi bak mandi padahal sudah menggunakan air di dalamnya.
Berjalan ke ruangan kecil di bagian depan rumah yang digunakan untuk ruang tamu, Aruna mendapati ibunya terlelap di kursi panjang. Padahal Aruna ingin mengerjakan PR.
Dan saat mendapati nasi kotak dan kue di dalam kardus habis tak bersisa, Aruna mengutuk ibu kandungnya itu karena terlalu tega tak mengindahkan perkataannya yang meminta disisakan barang sedikit untuk sarapan esok hari.
"Kenapa dihabiskan, Bu? Kan aku sudah bilang sisain untuk sarapan besok" kesal Aruna yang akhirnya bisa berkomentar.
Ibunya belum lama terpejam, tentu netranya masih dengan mudah bisa dia buka dan mendapati pandangan tak suka dari anaknya.
"Kenapa melotot? Nggak suka kalau gue habisin makanan Lo?" bentak Selly.
"Bukan begitu, Bu. Sisakanlah sedikit untuk sarapanku besok" ujar Aruna melunak, dia masih takut untuk menghadapi ibunya.
"Cuma nasi kotak nggak enak juga Lo masih dibawa masalah. Pelit banget sih jadi anak" cerca sang ibu, padahal nasi itu habis juga meski dibilang tidak enak.
"Satu lagi Bu, apa ibu tahu kemana duit buat bayar kontrakan bulan ini? Aku taruh di bawah bantal, tapi sekarang nggak ada" tanya Aruna lirih, takut ibunya salah paham.
Tapi mendengar penuturan Aruna, ibunya langsung saja naik pitam. Berdiri dengan mata masih awas kepada Aruna yang duduk di kursi, dan menyambar sapu untuk digunakan sebagai alat pemukul.
Bug!
Satu pukulan mendarat di kepala Aruna, membuatnya menjerit.
"Aduh, sakit Bu. Ampun, kenapa ibu tega sekali sih sama aku?" tanya Aruna dalam kesakitannya.
"Belum juga gue jadi beban buat hidup lo, tapi Lo sudah beraninya bersikap kurang ajar sama gue" bentak Selly dengan tangan yang masih terus memukulkan gagang sapu ke beberapa bagian tubuh Aruna.
"Lo pikir gue nyolong duit Lo yang nggak seberapa itu? Gue masih mampu nyari duit sendiri" teriak Selly tak tahu malu. Kelakuannya yang seperti ini sering menjadi buah bibir tetangganya. Dan pasti esok hari akan ada pandangan penuh rasa kasihan menerpa tiap perjalanan Aruna.
Cukup lama Aruna menjadi sasaran kemarahan ibunya. Padahal hanya karena masalah sepele, Selly sudah tega memukuli Aruna tanpa ampun.
Saat netranya melihat cairan merah menetesi sela jari Aruna yang menutupi dahinya, Selly tersadar dan menghentikan aksi pukulnya. Lagipula gagang sapu itu sudah patah, menggambarkan begitu besarnya luapan emosi yang tadi sempat tersalurkan dari benda itu.
Menyisakan Aruna yang duduk sambil memegangi dahinya yang bocor. Sangat sakit sekali rasanya.
"Makanya jangan suka nyolot sama gue" bentak Selly, lantas memasuki kamarnya dan mengambil tas selempang dan langsung pergi tanpa berniat membantu anaknya yang kesakitan.
Aruna sudah tak lagi menangis meski merasakan banyaknya rasa sakit di tubuhnya. Bahkan sejak pertama kali ibunya memukul, Aruna sudah tak berniat meneteskan air matanya.
Bukan hanya tubuh yang sakit, hatinya bahkan jauh lebih terasa sakit. Hingga sudah tak mau lagi dia menangis, tapi rasa dendam kini mulai terpupuk dihatinya.
Semenjak tahu kalau Aruna masih punya bapak yang kata ibunya adalah orang kaya, Aruna jadi gelap mata. Dendamnya mulai terpupuk.
Dan seperti biasa, Marni akan datang dengan tergesa begitu melihat Selly keluar. Mendapati Aruna dalam kesakitan tanpa tangisan membuat Marni seperti naik pitam.
"Ibu kamu sudah sangat keterlaluan, Run. Kenapa nggak kamu laporin polisi saja sih" kesal Mirna yang sudah siap dengan salep dan minyak tawon untuk sedikit meringankan sakit yang Aruna rasakan.
"Biarlah budhe. Kalau aku laporin polisi dan ditangkap, nanti aku sendirian dong di dunia ini" jawab Aruna santai, rasanya sudah biasa merasakan sakit seperti ini.
"Tapi kan kasihan kalau kamu terus menerus diperlakukan seperti ini, Run. Budhe nggak tega lihatnya" kata Marni yang kini harus mengurus dua orang sakit, yaitu suaminya dan Aruna.
"Aduh, pelan-pelan ya Budhe" ujar Aruna saat Mirna mengoleskan minyak cap Tawon ke area punggung Aruna yang memerah di beberapa titik akibat pukulan dari gagang sapu.
Sementara luka di kening Aruna sudah tak meneteskan darah lagi. Mirna sengaja mengurusnya belakangan agar darahnya benar-benar berhenti. Selanjutnya dia akan memberi perban disana.
Selesai dengan kegiatannya, Mirna berpamitan agar Runa bisa segera istirahat dan membiarkannya untuk mengunci pintu rumahnya.
Meski tak ada barang berharga, tapi Aruna masih sayang dengan nyawanya jika saja ibunya kembali pulang dalam keadaan berbahaya tanpa dia ketahui.
......................
"Ibu Lo ngamuk lagi, Run?" tanya Ferdi pelan saat mendapati Aruna memakai masker ditambah keningnya diperban.
Aruna hanya mengangguk.
"Kenapa?" tanya Ferdi pagi ini di koridor sekolah yang masih sepi. Ferdi berangkat sepagi itu untuk mengerjakan tugas piket yang kemarin tak dia lakukan.
Sementara sengaja Aruna berangkat pagi-pagi sekali sebelum ibunya membuka mata. Malas sekali kalau mendengar tuturan kata kasar dari wanita yang mengaku ibunya itu tapi tak sedikitpun sikapnya menunjukkan sosok ibu.
"Perkelahian orang miskin pasti karena masalah perut dan duit, Fer" ujar Aruna miris. Tapi tak berniat bercerita bahwa nasi kotak darinya yang menyulut emosi sang ibu.
"Kenapa separah ini?" tanya Ferdi, tak biasanya luka yang Aruna alami sebanyak itu, karena Ferdi yakin di bagian tubuh Aruna yang tertutup baju ada banyak luka juga.
"Tiba-tiba duit buat bayar kontrakan yang gue simpan di bawah bantal hilang, Fer. Gue cuma tanya ke ibu, tapi malah langsung marah. Katanya gue nuduh ibu yang enggak-enggak. Gue dipukul pakai gagang sapu" ujar Aruna santai kali ini, sudah sangat biasa pandangan Ferdi menatapnya penuh kasihan.
Obrolan kedua remaja itu terdengar jelas di telinga Tyo yang juga tengah datang kepagian kali ini. Sebetulnya memang Tyo sengaja untuk sekedar membawakan Aruna bekal dari rumahnya.
Entahlah, rasanya hatinya sangat tersentuh saat melihat penderitaan yang Aruna alami. Rasa kasihan itu sangat mendalam. Membekas sampai ke ulu hatinya. Padahal baru juga kenal dengan sosok Aruna yang tak sedikitpun bersikap welcome padanya.
"Terus Lo sudah bilang Bu Marni tentang hilangnya duit kontrakan?" tanya Ferdi.
Aruna menggeleng pelan.
"Gue nggak enak sama mereka, Fer. Mereka terlalu baik" Aruna menghela nafas sebelum kembali berujar.
"Gue cuma bilang kalau duit kontrakan masih belum ada, dan budhe paham sama kondisi gue. Boleh dicicil kalau memang terpakai buat keperluan yang lain, begitu kata budhe Marni" lanjut Aruna.
"Pakai duit tabungan gue bagaimana?" Ferdi yang juga bukan orang berada mencoba membantu sebisanya.
"Jangan dulu, biar gue coba cashbond deh sama ko Acing. Semoga saja boleh" kata Aruna.
"Terus nanti Lo masih mau kerja gitu? Badan Lo pasti memar semua itu" kata Ferdi.
"Kalau hari ini kayaknya gue ijin dulu, Fer. Punggung gue beneran sakit. Besok saja gue kerja lagi" jawab Aruna sambil menunduk.
Dan melihat sudah cukup banyak murid berdatangan, Aruna menyudahi sesi curhatnya. Dan kembali bersikap dingin, irit bicara dan menyebalkan agar tak ada yang mau berteman dengannya kalau ujung-ujungnya hanya akan mengolok-olok Aruna yang notabene adalah anak dari seorang kupu-kupu malam.