Pertemuan yang tidak sengaja dengan orang yang sangat menyebalkan menjadi awal sebuah takdir yang baru untuk dr. Fakhira Shakira.
Bruukk
"Astaghfirullah." Desis Erfan, ia sudah menabrak seorang dokter yang berjalan di depannya tanpa sengaja karena terburu-buru. "Maaf dok, saya buru-buru," ucapnya dengan tulus. Kali ini Erfan bersikap lebih sopan karena memang ia yang salah, jalan tidak pakai mata. Ya iyalah jalan gak pakai mata, tapi pakai kaki, gimana sih.
"It's Okay. Lain kali hati-hati Pak. Jalannya pakai mata ya!" Erfan membulatkan bola matanya kesal, 'kan sudah dibilang kalau jalan menggunakan kaki bukan mata. Ia sudah minta maaf dengan sopan, menurunkan harga diri malah mendapatkan jawaban yang sangat tidak menyenangkan.
"Oke, sekali lagi maaf Bu Dokter jutek." Tekannya kesal, kemudian melenggang pergi. Puas rasanya sudah membuat dokter itu menghentakkan kaki karena kesal padanya. Erfan tersenyum tipis pada diri sendiri setelahnya.
Karena keegoisan seorang Erfan Bumi Wijaya yang menyebalkan, membuat Hira mengalami pelecehan. Sejak kejadian itu ia tak bisa jauh dari sang pria menyebalkan.
Rasa nyaman hadir tanpa diundang. Namun sayang sang pria sudah menjadi calon suami orang. Sampai pada kenyataan ia sudah dibeli seseorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilawati_2393, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4
"Memang berat kalau terus dipikirkan Ra, lo punya gue buat berbagi segala kesedihan." Ressa menatap lekat mata sendu sahabatnya. Seorang gadis berusia tiga puluh tahun yang menjalani hari-harinya sebagai dokter kandungan. Di rumah sakit gadis itu dikenal dengan dr. Fakhira Shakira SpOG.
Hira membisu, ada keraguan dilubuk hatinya untuk bercerita. Ressa memang sahabatnya sejak SMP, tetap saja seterbuka apapun dengan sahabat pasti masih ada sisi lain yang disembunyikan. Oleh dirinya sendiri tentunya.
"Sekarang bukan waktu yang tepat untuk menceritakannya Sa." Hira menarik kedua sudut bibirnya menampilkan senyuman yang paling manis.
"Dasar, keras kepala!" Cibir Ressa, mengetuk kepala Hira dengan ujung sendok.
"Aauuuww, kejam kau Sa!" Maki Hira, Ressa hanya tertawa. Dua gadis itu sibuk dengan canda dan tawa, sesekali mereka saling jitak. Itu sudah hal biasa, tertawa ditengah kekonyolan masing-masing.
Menjelang maghrib mereka baru berpisah. Ya— hanya seperti itu, sudah membuat hati Hira lega tanpa menceritakan hal tidak menyenangkan yang harus dilaluinya.
Fakhira Shakira berasal dari keluarga sederhana, bahkan bisa dikatakan tidak mampu. Ia bisa kuliah kedokteran karena beasiswa, disisa waktu senggang ia gunakan untuk pekerjaan part time. Jadi joki tugas teman-temannya yang anak orang kaya, sampai joki skripsi.
Ah, itu sudah biasa dilakukannya. Sebenarnya itu tidak baik, so— jangan ditiru. Menjadikan mahasiswa pemalas tambah bodoh saja. Tapi uangnya lumayan sih, bisa untuk tambahan uang jajan. Itulah yang dilakukan Hira untuk bisa bertahan hidup selama mengejar gelar dokter. Waktu istirahat, jangan ditanya. Sudah pasti sangat terkuras, terjaga sampai pagi pun rela dilakukan Hira.
Orang tuanya ke mana? Tidak perlu ditanyakan. Mereka saja sudah tidak peduli lagi dengan hidup Hira. Entah salahnya apa, semenjak ibu meninggal dan ayah menikah lagi hidupnya tambah menderita. Ratapan anak tiri itu ada benarnya.
Mending kalau keluarga mereka banyak warisan, punya rumah bak istana. Punya ibu tiri jahat mungkin tak terlalu masalah. Beda cerita kalau sudah kekurangan uang sepertinya. Plus-plus punya ibu sambung seperti mak lampir, iihh mengerikan sekali. Memikirkannya saja bikin merinding.
Hira menghempaskan diri di sofa setelah sampai di apartemen. Ia bekerja di Emeral Hospital, sebuah rumah sakit swasta. Gajinya bisa dibilang lebih tinggi dibanding rumah sakit lain, membuat hidup Hira selama dua tahun terakhir ini bisa bernapas lega. Tanpa tersiksa karena harus memikirkan besok mau makan apa, saking kere-nya.
Sejak lulus SMA Hira merantau di kota ini sendirian demi menghindari ibu tiri yang kejam. Walau begitu sekarang Hira selalu mengirimkan uang bulanan untuk mereka. Lambat laun mak lampir itu luluh juga dengan uangnya. Ah, dasar wanita, tak bisa liat uang sedikit matanya langsung ijo.
Selesai membersihkan diri dan sholat Hira memanjakan tubuh di ranjang empuk. Walau masih tidur sendiri diusia yang dibilang ibu tirinya rentan jadi perawan tua, itu sama sekali tak masalah. Ia sudah tak peduli lagi dengan kata cinta dari para lelaki yang banyak gaya.
Seketika Hira teringat akan ucapan dua lelaki di cafe sore tadi. Pria menyebalkan itu menyebutnya sebagai "Dia dokternya Nana." Apa hubungannya dengan Elvina yang sangat romantis dengan suaminya tadi ya. Hira memang sempat berkenalan dengan Elvina di saat ia melakukan pemeriksaan. Kenapa pria yang dipanggil temannya dengan sebutan Erfan itu sangat peduli. Lebih dari sekedar teman. Apa dia Adik? Atau ipar?
Argh! Kenapa otaknya repot-repot memikirkan lelaki menyebalkan itu. Meskipun tampan tetap saja, sangat menjengkelkan. Hal kecil dibesar-besarkan, sangat tidak dewasa sekali.
Jam delapan pagi ini jadwal Hira visite pasien. Ia sangat bersemangat karena pasien yang akan ditemuinya seorang ibu cantik yang sangat ramah. Suaminya juga begitu romantis, entah kenapa Hira merasa seperti tertarik magnet perempuan cantik itu. Ibu dari bayi ganteng bernama Keyvan Anggara Attahallah. Nama yang sangat indah, batin Hira.
Hira melewati koridor rumah sakit menuju ruangan VVIP kamar 43. Di luar kamar ada beberapa keluarga pasien yang menunggu. Sedang di dalam ada tiga lelaki yang sedang bersenda gurau dengan mesra. Sialnya lelaki menyebalkan itu juga ada di sini. Kenapa hari-harinya terasa apes bertemu pria itu, membuat mood Hira yang tadi senang langsung jeblok.
Dokter muda dengan balutan pashmina jingga polos dan snelli putihnya memasuki ruangan diikuti seorang suster. Sempat ragu untuk menyapa dengan ramah karena ada pria menyebalkan itu. Tapi Hira harus tetap profesional dengan tugasnya.
"Selamat pagi Mbak Nana." Sapa Hira dengan ramah, menampilkan senyumannya yang paling manis tanpa menatap tiga lelaki tampan yang mengawasinya.
"Pagi dr. Hira," balas Elvina dengan senyumannya. Suster memberikan rekam medis pasien pada Hira, setelahnya ia melakukan pemeriksaan. Lalu suster melakukan penggantian cairan infus.
"Hari ini Mbak sudah boleh pulang." Ucap Hira setelah selesai melakukan pemeriksaan pada pasiennya.
"Alhamdulillah," Ucap tiga lelaki itu berbarengan.
"Sebentar lagi Papa bisa main sama Key dong." Goda Erfan, Ken memutar bola matanya pada lelaki yang baru bersuara itu. "Enak aja ngaku-ngakuin anak orang," sentak Ken.
"Key itu pasti lebih suka main sama Abi Adnan dan Ummi Attisya." Sela Adnan sambil tekekeh, bukan menengahi Ken dan Erfan malah ikut-ikutan.
"Gak bisa, Key anakku." Bentak Ken dengan cemberut, Elvina hanya geleng-geleng kepala dengan kelakuan tiga jagoan itu. Dari dulu sampai sekarang tak pernah berubah.
"Hm, bisa gak sih kalian tunda dulu berantemnya sampai dr. Hira keluar kek, bikin malu aja." Hira yang disebut namanya ikut tersenyum. Lelaki menyebalkan itu terlihat sangat tampan dengan kemeja abunya. Tak kalah tampan dengan dua lelaki disampingnya yang sangat mirip paras mereka.
"Maaf Sayang, Erfan sama Kak Adnan tuh yang bikin ulah." Ken mendekati istrinya, membelai lembut kepala Elvina.
"Udah tau mereka gitu, Abang masih aja ngeladeni," rengut Elvina.
"Iya maaf, habisnya mereka menyebalkan Sayang."
"Sama aja, Abang juga nyebelin."
"Lalu apa bedanya kamu Na, ngambek di depan dokter," Adnan terkekeh.
"Kak Adnaan..!" Rengek Elvina
"Iya-iya maaf Sayang." Adnan mendekati adik iparnya, "maaf ya dok." Ucapnya pada Hira, gadis itu hanya mengangguk lucu melihat tingkah mereka.
"Sayang! Lo bilang Nan. Sama ipar sendiri bilang Sayang." Erfan meninju punggung Adnan.
"Dari dulu gue panggil dia Sayang keles, lo jealous amat. Idih." Bela Adnan, ia bisa ngomong gitu karena gak ada Attisya, coba kalau ada mana berani membuat hati perempuannya itu terluka.
"Cukuupp, malu tau." Pekik Elvina, "tenang Sayang." Ken menciumi puncak kepala istrinya. "Udah ah bercandanya, kalian bikin El emosi aja." Ditatapnya bergantian dua orang yang masih senyam-senyum dibelakangnya.
"Maaf dok, mereka bercandanya memang suka keterlaluan." Elvina yang jadinya malu dan ken yang harus meminta maaf agar istrinya tidak marah lagi.
"It's okay. Kalian lucu." Kata Hira pada lelaki yang masih menenangkan istrinya itu. "Saya permisi dulu ya, semoga anaknya jadi anak yang sholeh ya Mbak. Dan kita bisa berjumpa lagi dilain waktu." Hira mengusap punggung tangan Elvina. Ia juga heran dengan dirinya sendiri, selama ini belum pernah memperlakukan pasien seperti itu.
"Aamiin, terima kasih dr. Hira. Abaikan pembicaraan mereka yang gak jelas ya." Sahut Elvina, Hira mengangguk meninggalkan ruangan dengan tersenyum sumringah. Huuhhh, kenapa deg-deg'an selama di dalam tadi. Seperti sedang disidang, Hira menarik napas lega saat melewati koridor rumah sakit.
Percakapan singkat mereka menimbulkan banyak tanda tanya dipikiran Hira. Apa mungkin tiga orang lelaki itu pernah menyukai satu gadis yang sama. Aishh, sejak kapan juga ia peduli dengan kehidupan pasien seperti ini. Ada apa dengan otaknya sekarang, yang begitu mudah traveling kemana-mana.
Hira memasuki ruangan VK memeriksa pasiennya satu persatu. Ruang VK lebih familiarnya disebut ruang bersalin. Pagi ini sudah ada tiga pasien yang akan melahirkan. Bersama bidan, Hira akan membantu bayi-bayi mungil itu melihat dunia. Rasa bangga hadir saat bisa menyambut wajah-wajah lucu itu menatap dunia yang fana ini.
Lelah? Itu pasti. Tapi ini sudah kewajibannya, sumpah dokternya. Bangga? Tentu, segala lelah terbayar lunas saat mendengar suara tangisan merdu itu. Itulah kebahagian Hira yang sesungguhnya.
udah untung suami mendukung pekerjaan nya,malah mau di bikinin tempat praktek sendiri, kurang apa coba si erfan