Sudah sepantasnya kalau seorang istri menuntut nafkah pada suaminya. Namun bagaimana jika si suami sendiri yang tidak ada keinginan untuk menunaikan kewajibannya dalam menafkahi keluarga? Inilah yang dialami Hanum Pratiwi, istri dari Faisal Damiri selama 5 tahun terakhir.
Hanum memiliki seorang putra bernama Krisna Permana, yang saat ini masih kuliah di Jurusan Informatika. Tentu saja Hanum masih memerlukan biaya yang cukup banyak untuk biaya pendidikan putranya, ditambah juga untuk biaya hidup mereka sehari-hari. Hanum harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, bahkan seringkali meminjam kepada saudara dan teman-temannya. Beruntung sang anak bersedia membantu menitipkan kue di kantin, yang bisa dijadikan sumber income keluarga. Namun pendapatannya yang tak seberapa itu, hanya cukup untuk transport dan uang saku sang anak, kalaupun ada lebih untuk membeli beras.
Bagaimana Hanum bertahan dalam 5 tahun ini? Apakah kesulitan ini mengharuskannya menyerah? Lalu bagaimana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ida Nuraeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 Harapan itu Masih Ada
Allah berfirman sebagai berikut: ”Aku selalu menuruti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Apabila ia berprasangka baik maka ia akan mendapatkan kebaikan. Adapun bila ia berprasangka buruk kepada-Ku maka dia akan mendapatkan keburukan.” (H.R. Tabrani dan Ibnu Hibban).”
Hanum selalu meyakinkan hatinya untuk tetap berkhusnuzon dengan Allah, apapun kondisi yang dihadapinya. Dengan cara seperti ini hati kita menjadi lebih lapang, dan tidak banyak fikiran. Termasuk dengan kondisi suaminya yang malas bekerja. Hanum sadar bahwa apa yang dilakukan suaminya saat ini adalah berdosa, malas bekerja dan tidak memberikan nafkah untuk anak istri, padahal dia adalah imam keluarga. Namun Hanum tidak pernah mengucapkan Ayah berdosa tidak menafkahi keluarga, yang dia lakukan hanya mengingatkan kewajibannya untuk mencari nafkah. Berbagai cara mengingatkan sudah dilakukan, namun hasil akhirnya kembali pada diri Faisal sendiri. Hanum hanya bersabar dengan kelakuan suaminya dan mendoakan yang terbaik untuknya. Dia yakin Allah sedang menyiapkan hadiah terbaik-Nya dibalik kemalasan suaminya itu.
Hari ini Hanum mendapat panggilan untuk interview lamaran kerja online. Dia memang sempat mengirimkan beberapa lamaran kerja melalui aplikasi online. Hanum menyiapkan diri sebaik-baiknya dan sudah standby di depan aplikasi zoom. Doa pun tak hentinya dia lantunkan dalam hati untuk menguatkan diri. Dia mencoba membaca profil singkat perusahaan yang nenginterview dirinya, ternyata perusaahan pialang saham dan komoditas . Rasa sesal mulai muncul dalam hati, karena dia merasa perdagangan berjangka seperti ini terdapat unsur gambling. Namun dia mencoba untuk mengikutinya agar mendapat wawasan baru. Setelah melalui wawancara selama 1 jam, ternyata memang benar perkiraan Hanum akan pekerjaan ini. Dia melamar untuk posisi administrasi, tapi karena faktor usia yang sudah melewati batas maksimal, akhirnya ditawarkan ke posisi Marketing Business Development. Dengan portofolio yang dimilki, Hanum dianggap layak untuk menempati posisi tersebut. Tugasnya untuk mencari klien baru yang bersedia menginvestasikan dananya di beberapa saham maupun produk komoditas yang dikelola perusahaan. Dengan yakin Hanum menolak untuk tawaran posisi tersebut, karena menurut keyakinan Hanum ini lebih banyak unsur gambling. Dia khawatir penghasilannya tidak berkah, otomatis menafkahi keluarga dengan sumber yang tidak berkah.
Hari ini pun Hanum yakin bahwa itu petunjuk Allah, supaya lebih selektif lagi dalam memilih jenis pekerjaan. Ya meskipun harus repot dan berusaha payah, Hanum lebih memilih untuk pekerjaan yang riil dilakukan. Misalnya mengentry dan mengolah data untuk bahan analisa perkembangan bisnis. Hanum tetap yakin dan percaya akan datang waktunya dimana dia mendapatkan pekerjaan yang tepat. Sambil menunggu datangnya pekerjaan itu, dia tetap harus semangat berjualan kue dulu.
🎀🎀🎀🎀🎀
Sekarang ini Faisal sudah mau keluar dari kamar, walaupun baru sebatas jalan-jalan di depan rumah sampai ujung gang. Lumayan lah tidak semedi di dalam kamar terus. Hanum berfikir, memang harus ada akibat dulu baru suaminya itu akan berubah. Tapi masa iya, Hanum harus membiarkan kelaparan dulu keluarganya, baru Faisal tergerak untuk bekerja? Selesai dengan urusan perkuehan pagi ini, Hanum lanjut dengan menyetrika pakaian yang sudah menumpuk selama 2 minggu.
"Bu, mau ke pasar nggak hari ini? Biar Ayah antar sekalian" tanya Faisal yang baru masuk setelah berjemur di teras.
"Ada sih yang harus dibeli karena stoknya sudah habis, tapi harus nunggu siangan. Nunggu pembayaran masuk dulu, karena simpanan Ibu kemarin dipakai biaya berobat Ayah." ujar Hanum tanpa menghentikan pekerjaannya
"Memang biasa jam berapa ditransfernya?"
"Biasa sih habis makan siang baru masuk. Biasanya kalau sudah masuk Faras langsung ngabarin"
"Ya sudah kasih tahu saja kalau jadi pergi." ujar Faisal lalu pergi ke dapur untuk mengambil air minum.
"Tadi ada chat dari Dang Iyan, nanyain Ayah mau ikutan proyek lagi apa nggak?" beritahu Faisal sambil duduk di dekat tumpukan pakaian yang sudah disetrika.
"Terus Ayah jawab apa?"
"Ayah bilang saja kalau nggak punya ongkos untuk pergi kesana dan masih kurang sehat" jawab Faisal tanpa ada rasa bersalah.
"Kan bisa minta dia kirim untuk ongkos perginya, nggak jauh ini dari Bengkulu ke Linggau." usul Hanum agak kesal
"Ya Ayah tuh malas ketemu Mang Fahmi, nanti ditagih hutang. Padahal Ayah juga nggak ngerasain uang hasil proyek terakhir itu, malahan mobil kita yang dipakai buat bayar material."
"Yah, kalau hutang memang mau tidak mau harus dibayar. Terus kita juga harus menghadapi orang yang memberi hutang, bukannya malah menghindar, biar ada win-win solution alias kesepakatan bersama kedua belah pihak. Berapa kali Ibu bilang, bicarakan kondisi sebenarnya dengan Mang Fahmi, dia pasti bisa mengerti kok. Daripada seperti sekarang, Ayah nggak kerja, terus penghasilan juga nggak ada, tapi makan, listrik dan kontrakan kan tetap harus dibayar. Kalau Ayah jujur dengan Mang Fahmi, peluang bisa kerja jelas ada, dan pasti akan ada penghasilan." nasihat Hanum yang kesekian kalinya.
"Coba berfikirnya jangan karena malas ketemu Mang Fahmi, tapi berfikirnya kalau anak istri nggak bisa makan. Naudzubillah min dzalik. Alhamdulillah Ibu masih bisa bantu sekarang, kalau besok atau lusa siapa yang tahu akan seperti apa." lanjut Hanum mencoba menggugah lagi semangat Faisal.
"Ya kalau kesana juga, Ayah bingung mesti tinggal dimana. Jan kita sudah tidak punya tempat tinggal lagi." keluh Faisal mengandung setitik harapan
"Ya sementara di rumah Dang Erwin dulu lah, toh kalau nanti proyek sudah mulai kan pasti lebih banyak di lapangan. Apalagi waktu itu Dang Erwin sudah menawari Ayah untuk ke sana. Bisa jadi memang sudah ada kerjaan juga untuk Ayah. Jadi sekarang sih keputusannya ada di Ayah"
"Nanti Ayah coba fikirkan dulu, supaya nggak salah ngambil keputusan"
"Kalau perlu sholat istikharah Yah, biar lebih berkah keputusannya" saran Hanum.
Terselip rasa bahagia dalam hati Hanum, karena mulai terlihat perubahan dalam diri Faisal. Dia terus berdoa semoga Allah memberikan jalan terbaik baginya dan terbaik bagi keluarga.
"Tapi nanti kalian hanya berdua saja, terus kalau Faras pergi sampai nginap Ibu akan sendirian". rupanya Faisal masih merasa khawatir meninggalkan keluarganya.
"Insya Allah kami berdua aman, biar Allah yang menjaga kami. Faras juga nggak akan berani meninggalkan Ibu kalau melihat hanya sendirian di rumah. Pokoknya Ayah fokus dengan pekerjaan, jangan merisaukan kami."
Faisal tidak berucap lagi, tapi sekilas Hanum lirik dia sedang termenung, dengan tatapan yang tertuju ke langit-langit ruang tengah. keduanya tidak lagi bercakap-cakap sampai Hanum selesai dengan tumpukan pakaian yang disetrikanya.
Selesai sholat Dzuhur Faras memberitahu kalau transfer 2 hari sudah masuk dan ditransfer ke rekening Hanum. Akhirnya dengan diantar Faisal, Hanum pergi ke pasar membeli bahan-bahan yang sudah habis.
"Kalau Ayah jadi ke Linggau, paling balik ke sini sebulan sekali, nggak mungkin tiap minggu."
"Iyalah. Ngapain juga harus tiap minggu, boros diongkos. Teknologi sudah maju, kita kan bisa komunikasi lewat video call kapan pun mau. Nggak harus bolak-balik naik bis."
"Yah kan nggak biasa berjauhan lama, pasti akan.merasa ada yang kurang lah."
"Kalau sudah sibuk di lapangan mah nggak akan ada perasaan itu. Apalagi kalau pekerjanya orang rantau semua, pasti saling menghibur lah."
Karena asyik mengobrol, tidak terasa mereka sudah sampai di pasar. Hanum langsung menuju ke kios yang menjadi tujuannya, sedangkan Faisal memilih menunggu di warung kopi dekat area parkir. Bahan-bahan yang dibeli Hanum memang tidak banyak, karena bahan kering dia sudah stok untuk kebutuhan 1 minggu. Yang dibeli hanya sayuran dan bumbu-bumbu. Selesai berbelanja mereka sempatkan untuk membeli es dawet untuk mengurangi dahaga yang menyerang.
"Berasa lagi pacaran seperti jaman belum punya anak. Pergi berdua, terus minum dawet. Memang benar kata orang, kalau anak sudah dewasa mereka akan sibuk dengan dunianya, dan orang tua kembali hanya berdua." ujar Faisal sambil mengenang masa dahulu.
"Yah karena kebetulan saja anak kita hanya seorang, akan beda cerita kalau punya beberapa" balas Hanum sambil tertawa.
"Makanya Ayah tuh mau pergi kepikiran Ibu nanti, apa-apa sendirian"
"Siapa bilang? Anak Ayah itu sweet banget loh kalau lagi berdua Ibu, perhatiannya luar biasa. Makanya jangan khawatir, Faras pasti menjaga Ibu dengan baik" ucap Hanum meyakinkan Faisal.
Setelah mengosongkan segelas es dawet yang legit, keduanya kembali melanjutkan perjalanan. Mungkin ini perjalanan yang penuh keakraban setelah hampir 1 tahun komunikasi mereka tidak bagus.
'Ya Allah tolong bantu untuk meyakinkan kembali suami hamba, supaya tidak berubah pemikiran dan tidak ada keraguan lagi untuk berangkat menjemput rejeki' ucap Hanum dalam hatinya.