Pernikahan yang terjadi antara Ajeng dan Bisma karena perjodohan. Seperti mendapat durian runtuh, itulah kebahagiaan yang dirasakan Ajeng seumur hidup. Suami yang tampan, tajir dan memiliki jabatan di instansi pemerintahan membuatnya tidak menginginkan hal lain lagi.
Ternyata pernikahan yang terjadi tak seindah bayangan Ajeng sebelumnya. Bisma tak lain hanya seorang lelaki dingin tak berhati. Kelahiran putri kecil mereka tak membuat nurani Bisma tersentuh.
Kehadiran Deby rekan kerja beda departemen membuat perasaan Bisma tersentuh dan ingin merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya, sehingga ia mengakhiri pernikahan yang belum genap tiga tahun.
Walau dengan hati terluka Ajeng menerima keputusan sepihak yang diambil Bisma. Di saat ia telah membuka hati, ternyata Bisma baru menyadari bahwa keluarga kecilnya lah yang ia butuhkan bukan yang lain.
Apakah Ajeng akan kembali rujuk dengan Bisma atau menerima lelaki baru dalam hidupnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leny Fairuz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 Makan Siang Bersama
Ia belum tau bidang usaha yang digeluti Ajeng semenjak ia memutus komunikasi setelah enam bulan berpisah rumah. Walau pun setiap Mayang berkunjung ke rumah mama saat ia di sana, dan mendengarkan cerita Mayang tentang Ajeng pada mamanya tak membuat Bisma tertarik.
Ia datang mengunjungi mamanya di akhir pekan karena merindukan masakannya tak kurang tak lebih. Intensitas waktunya bersama Lala putri kecilnya pun sangat jarang. Yang ia lakukan hanya berdiam di kamar pribadinya di rumah besar sang mama.
Yang ia tau, Mayang lah yang sering mengunjungi Ajeng untuk bertemu putri kecil mereka, dan sesekali Lala dibawa Mayang menginap di rumahnya. Ia tau mamanya dan Mayang sangat menyayangi putri kecil mereka.
Lamunan Bisma terhenti ketika tepukan di bahunya menghempaskan wajah-wajah yang bermain di benaknya.
“Saatnya foto bersama para finalis,” ujar Andrean langsung berdiri dari kursi yang ia duduki.
Dari sudut matanya Bisma melihat beberapa lelaki ingin berdiri di samping Ajeng saat pengambilan gambar dimulai. Senyum Ajeng tak hilang dari wajahnya saat sesi foto-foto berlangsung.
“Eh, ini dari Dinas Perdagangan Malang boleh difoto sama ibu Ale yang dapat penghargaan!” seruan staf Bisma membuat perasaannya tiba-tiba menjadi hangat.
Momen foto bersama yang ia ingat hanya ketika pernikahan dan resepsi bersama Ajeng yang digelar mewah di Jakarta. Setelah itu, tidak pernah ada kebersamaan mereka yang tersimpan dalam foto mana pun.
“Terima kasih Ibnu ... “ senyum Bisma melebar pada stafnya yang sungguh pengertian.
Ia merasakan ini kesempatan langka untuk berada satu frame dengan sang mantan. Ada satu hal juga yang ingin ia klarifikasi pada Ibnu tentang sapaannya pada Ajeng, dan kelihatan kalau Ibnu sangat familiar dengannya.
Saat Bisma mulai berjalan mendekati Ajeng, ia mendengar suara ponsel berdering. Dengan cepat Ajeng merogoh tas tangannya.
“Permisi, maaf saya harus menjawab telpon .... “ ujar Ajeng dengan raut serius ketika melewati Bisma dan Ibnu yang sudah bersiap hendak berfoto bersamanya sementara pengusaha yang lain masih setia berdiri di pentas.
Bisma tau, Ajeng menghindari berada satu frame dengannya. Karena setelah beberapa menit menunggu sosoknya tak juga muncul di hadapan mereka berdua.
“Kenapa kamu menyebutnya bu Ale?” melihat sosok Ajeng yang tak kelihatan membuat Bisma tak bisa menutupi rasa penasarannya.
“Kita sih emang udah kenal lama, sebelum Bapak mutasi sini ... “ jawab Ibnu santai sambil mengelap lensa kameranya dengan sapu tangan khusus.
Bisma semakin penasaran dengan cerita staf kantornya itu. Apalagi Ibnu adalah satu-satunya staf admin paling lama di Diskopindag kota Malang. Ia ingin mengetahui semua tentang sepak terjang dan usaha Ajeng yang membuat namanya masuk jajaran pengusaha yang mendapat penghargaan pemerintah pusat. Berarti saat ia masih aktif di pemerintahan kota administratif Jakarta Utara Ajeng sudah memulai usahanya.
Benar-benar di luar dugaan.
“Sebenarnya dari tahun lalu bu Ale udah masuk nominasi pengusaha muda produktif di kota Malang. Tapi saat itu beliau belum menetap di sini masih di Surabaya dan bekerja di sana. Yang mengelola di sini Mas Hendra dan istrinya mbak Asih yang dipercayai ibu untuk meng-handle sebelum ibu pensiun dini .... “
“Astaga .... Telah banyak yang tau tentang aktivitas Ajeng. Jangan-jangan .... Apa mereka curiga kalau aku ada hubungannya dengan Ajeng?” “ batin Bisma dalam hati.
“Bapak tau, nama suaminya bu Ale mirip dengan nama bapak, Bisma. Walau masih praduga si ...” Ibnu berkata santai.
Bisma tidak menjawab. Ia langsung mengalihkan pertanyaan pada topik lain, “Kenapa kalian memanggilnya dengan nama bu Ale?”
“He he .... “ cengiran muncul di bibir Ibnu, “Itu panggilan kesayangan mas Hilman yang jadi relasinya bu Ale. Beliaukan salah satu pengusaha kuliner dan agrotani terbesar yang jadi pemasok di Malang.”
“Kenapa kamu mencurigaiku sebagai mantan suaminya? Dan hal receh gini kalian jadikan bahan gosip ....” Bisma ingin menghentikan kecurigaan stafnya itu.
“Hanya memastikan aja si Pak. Menurut mas Hilman suaminya bu Ajeng Lestari atau mbak Ale tugasnya jauh. Itu yang membuat keduanya berpisah. Tentu saja banyak yang pengen tau siapa nama suaminya. Eh, kebetulan namanya sama dengan Bapak.”
Bisma manggut-manggut memahami ucapan Ibnu. Kini tatapannya kembali terarah pada satu titik, “Tapi kan banyak yang namanya serupa tapi orangnya berbeda.”
“Benar juga,” komentar Ibnu santai, “Apa benar bapak duda ?”
Bisma terdiam. Ia lupa satu hal, bahwa sekarang KTP elektronik, dan tidak mungkin ia mengatakan kebenaran tentang dirinya dan Ajeng. Tapi ia pun belum ganti KK akan status barunya yang kembali lajang. Belum sempat Bisma menjawab ....
“Jadi benar selentingan kabar bahwa bapak dekat dengan mbak Deby?” kini pertanyaan Ibnu yang seperti bisikan terdengar di telinganya.
Bisma tertegun, apa iya semua staf melihat keakraban yang terjadi diantara mereka yang hanya ia dan Deby yang tau. Tak mungkin Bisma mengumbarnya, apalagi ia baru tiga bulan dimutasi di kantor ini.
“Menurutmu?” Bisma mengembalikan pertanyaan Ibnu.
“Hati-hati lho Pak. Mbak Deby itu player, jangan sampai Bapak jadi korban ...” Ibnu berkata serius, “Dia biasa main dengan bos dan pejabat. Sepak terjangnya udah terkenal di kalangan atas. Tapi rahasia kita lho ....”
Bisma menghela nafas mendengar ucapan Ibnu. Ia memang harus memutuskan hubungan yang tidak sehat ini. Ia terlalu tinggi menaruh harapan pada perempuan yang salah.
Walaupun kecewa yang ia rasa terlalu besar, tapi ia bersyukur mengetahui lebih dini, sebelum hubungan keduanya diikat tali suci. Sungguh pembicaraan yang luamayan berat.
Percakapan mereka terhenti, karena panitia sudah menutup dan mengakhiri rangkaian acara. Tak lupa pihak panitia mempersilahkan para tamu undangan dan para peserta untuk menikmati makan siang berupa hidangan prasmanan yang sudah disiapkan pihak hotel.
Ajeng terpaku ketika melihat kursi sudah penuh terisi ketika ia kembali dari mengambil makanan. Banyak peserta yang pindah duduk untuk sekedar beramah tamah dengan para pejabat sehingga kursi miliknya sudah ada yang menempati.
“Sini aja bu Ajeng .... “ sebuah suara bariton mengelus daun telinganya membuat senyum mengembang di wajah Ajeng.
Dengan langkah pasti ia menghampiri meja yang masih menyisakan kursi kosong. Ia melihat rekannya k Ratih pengusaha tekstil juga berada di sana dan terlibat perbincangan dengan Suhendro, yang ia tau adalah staf ahli disnaker kota Malang.
Andrean tersenyum puas karena Ajeng memenuhi undangannya untuk duduk bersama dalam satu meja yang berisi delapan orang.
“Eh ... “ suara terkejut Ajeng tak bisa ia sembunyikan begitu menyadari bahwa ia duduk berdampingan dengan Bisma yang masih berbicara dengan Ibnu.
Seketika Bisma menoleh dan berdiri cepat, tapi Andrean terlebih dahulu menarik kursi untuk Ajeng mendudukinya.
“Terima kasih pak Andre,” Ajeng berkata pelan sambil menganggukkan kepala dengan santun.
Ia mulai menikmati makan dengan hati yang tidak tenang. Bagaimana mau tenang, Andrean mulai mengajaknya berbicara hal-hal sepele yang tidak penting seputar usahanya dan kesehariannya.
Ajeng hanya membalas sesekali untuk menjaga kesopanan pada ketua APINDO yang sering disebut Riyanti teman sesama pengusaha yang juga mendapat penghargaan kali ini.
“Nggak usah terlalu formil, bu Ajeng bisa sebut nama langsung tanpa embel-embel Pak, berasa tua .... “ kekehan Andrean terdengar saat berkali-kali Ajeng menyebut namanya dengan panggilan pak.
Bisma mengumpat dalam hati melihat perlakuan relasinya yang mulai tebar pesona pada Ajeng.
“Baiklah mas Andre .... “ dengan sopan Ajeng menuruti keinginan Andrean.
“Apa mbak Ajeng mengenal pak Bisma?” kini Andrean mulai menatap Bisma yang kelihatan menyimak pembicaraan mereka dengan serius.
Ajeng langsung menoleh ke samping yang kebetulan Bisma juga menatapnya lekat. Dengan gerakan halus ia menggelengkan wajah seketika. Karena ia memang tidak pernah tau apa posisi dan jabatan Bisma di kantor.
“Wah, masa mbak Ajeng gak kenal? Beliau adalah staf ahli dinas perdagangan. Pak Bisma biasa mendampingi kepala dinas untuk turun ke lapangan meninjau kegiatan para pelaku usaha .... “ ujar Andrean dengan perasaan tak yakin.
“Maklum Pak, pak Bisma baru sekitar tiga bulan mutasi dari Jakarta,” sela Ibnu cepat.
Andrean manggut-manggut mendengar pembicaraan keduanya. Ini sangat masuk akal baginya. Karena ia pun baru kali ini bertemu dan mengenal Bisma setelah kegiatan diklat dan seminar di Bandung selama tiga hari, hingga saat ini keduanya berada di acara yang sama di kota Malang.
“Wah, berarti mbak Ajeng dan pak Bisma memang belum saling mengenal sebelumnya...”
Mendengar ucapan Andrean setelah melihat sikap Ajeng membuat Bisma kesal seketika. Bagaimana bisa Ajeng mengaku tidak mengenalnya. Sedangkan mereka pernah berbagi bantal dan selimut, bahkan keringat ....
Jari tangannya mengepal tidak terima dengan jawaban Ajeng. Rasa marah mulai menyeruak naik ke dada. Ia yang selalu perfeksionis dan perkataannya menjadi rujukan setiap pengambilan keputusan, merasa harga dirinya diinjak perempuan yang pernah membersamainya hampir tiga tahun dalam ikatan rumah tangga.
Sesi makan siang telah berakhir bersama dengan berakhirnya kegiatan yang dilaksanakan selama dua hari. Para peserta, panitia dan tokoh-tokoh penting yang menjadi nara sumber mulai bersalaman dan saling mengucapkan kata perpisahan.