Saat keadilan sudah tumpul, saat hukum tak lagi mampu bekerja, maka dia akan menciptakan keadilannya sendiri.
Dikhianati, diusir dari rumah sendiri, hidupnya yang berat bertambah berat ketika ujian menimpa anak semata wayangnya.
Viona mencari keadilan, tapi hukum tak mampu berbicara. Ia diam seribu bahasa, menutup mata dan telinga rapat-rapat.
Viona tak memerlukan mereka untuk menghukum orang-orang jahat. Dia menghukum dengan caranya sendiri.
Bagaimana kisah balas dendam Viona, seorang ibu tunggal yang memiliki identitas tersembunyi itu?
Yuk, ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 12
Viona membongkar lemari rahasia yang sudah lama tak disentuh. Mengeluarkan sebuah koper cukup besar dan membongkar isi di dalamnya. Seragam agen rahasia yang sudah lama disimpan, sejak ia memutuskan menikah dan meninggalkan pekerjaannya.
Tak hanya itu, laptop dan senjata api miliknya pun masih tersimpan dengan baik. Viona memasukkan semuanya ke dalam tas kecil yang akan dibawanya.
Pagi itu, dia sudah bersiap dengan pakaian serba hitam kesukaannya. Tak lupa jaket kulit melapisi tubuhnya yang ramping. Menggendong ransel di belakang, memastikan semua bukti ia bawa dan akan diserahkan kepada pihak berwajib. Berharap mereka akan bekerja cepat menangkap semua pelaku di dalam video tersebut.
"Aku akan pergi, titip Merlia dan jangan tinggalkan dia sendirian di villa. Ingat, Kak, segores saja kulitnya terluka maka kau dan seluruh keluargamu yang akan menanggung akibatnya," ancam Viona tak main-main.
Sang kakak mengernyit, menelisik manik tajam Viona yang tak lagi memiliki cahaya.
"Kau tidak percaya padaku?" tanyanya tak habis pikir.
Viona menghela napas, menunduk beberapa saat. Ia melirik Merlia yang berdiri di teras villa melepas kepergiannya.
"Entahlah. Saat ini aku tidak bisa mempercayai siapapun juga," katanya tanpa mengalihkan tatapan dari sosok Merlia yang mendekat.
"Baiklah. Kakak mengerti. Kau tenang saja, Kakak akan menjaga Merlia dengan nyawa Kakak sendiri. Kau bisa tenang di sana," jawab sang kakak betapa ia mengerti bagaimana perasaan Viona.
"Jangan katakan padanya tentang pekerjaanku," bisik Viona menatap tajam kakaknya itu.
"Kau tenang saja," katanya.
"Terima kasih."
Merlia berhenti di belakang mereka, menatap Viona yang tampak berbeda dari biasanya. Tak terlihat seperti seorang ibu rumah tangga. Bahkan, dia merasa Viona lebih muda darinya.
"Ibu!" Gadis itu mendekat dan memeluk Viona.
"Berhati-hatilah dan cepat kembali!" bisiknya pilu, ia mengeratkan pelukan tak rela berpisah.
Viona mengusap-usap punggung Merlia, tersenyum bibirnya meski hati sedih bukan main.
"Jika ada apapun katakan saja pada bibimu, jangan memendamnya sendirian. Kau mengerti?" Viona menangkup wajah Merlia, menatap teduh pada matanya.
Gadis itu mengangguk mengerti, dia berjanji tak akan membuat Viona dan bibinya kerepotan. Viona mengecup dahi sang anak, kemudian berbalik mendekati motornya. Ia mengenakan helm, menoleh kepada mereka sembari mengangkat tangan berpamitan.
Merlia dan bibinya melambaikan tangan melepas kepergian Viona.
"Kenapa Ibu terlihat berbeda sekali, Bibi? Selama ini aku tidak pernah melihat ibu mengenakan pakaian seperti itu?" tanya Merlia masih menatap jalan sampai sosok sang ibu menghilang.
"Dia sedikit tomboy saat muda dulu, tapi berubah setelah menikah. Sudahlah jangan terlalu dipikirkan. Ayo, masuk!" ajak sang bibi diangguki oleh Merlia.
Entahlah, apakah dia bisa menjalani hari-hari tanpa sang ibu, tapi Merlia harus mencoba. Dia yakin pasti bisa. Semua ini dapat ia lalui dengan tabah dan kuat.
****
Viona tiba di sebuah rumah kecil yang dulu menjadi tempat singgahnya ketika masih bertugas. Rumah yang dirawat seorang wanita paruh baya bersama cucunya. Ia mengaktifkan ponsel pribadi menghubungi seseorang.
"Agen Vi!" pekik suara di seberang membuat Viona menjauhkan ponsel.
"Aku ingin sisa uangku malam ini juga," ucap Viona tegas dan langsung. Tak ada basa-basi walau sekedar bertanya tentang kabar.
"Vi!" Suara berat dari seorang laki-laki yang berwibawa, membuat Viona tertegun.
"Ketua!" katanya tanpa ekspresi.
Helaan napas dari seberang terdengar panjang.
"Syukurlah kau kembali. Kenapa kau tidak datang saja ke markas dan kembali bergabung di sini. Tidak ada yang seperti dirimu, Vi. Kami kehilangan satu sayap sejak kau memutuskan keluar," ujar laki-laki yang dipanggil ketua oleh Viona itu.
Ia tercenung, membayangkan harus kembali dan berkumpul bersama mereka rasanya enggan. Pastilah tak akan senyaman dahulu.
"Untuk apa? Untuk kalian jadikan kambing hitam lagi? Tidak!" tolak Viona dengan tegas.
Kembali terdengar helaan napas, tapi Viona tidak peduli.
"Setidaknya datanglah ke markas. Kami sangat merindukanmu. Teman-temanmu pasti senang kau datang," rayu ketua itu memelas.
"Tidak perlu. Bawakan saja uangnya malam ini juga!" tegas Viona sama sekali tidak tertarik untuk kembali.
Lama orang di seberang sana terdiam, dan Viona masih mendengarkan.
"Baik, di mana?"
"Gedung tiga belas!"
Viona menutup sambungan, berencana pergi ke kantor polisi untuk menyerahkan bukti kejahatan anak-anak para penguasa itu.
"Aku lebih suka bertindak sendiri!"
****
Maaf, ya, kakak-kakak. Aku ngantuk, kalo bangun nanti aku lanjut, ya. Terima kasih banyak.
kyknya Peni yg terakhir.. buat jackpot bapaknya.. si mantan Viona..!! 👻👻👻