Setelah aku selamat dari kecelakaan itu, aku berhasil untuk bertahan hidup. Tetapi masalah yang kuhadapi ternyata lebih besar daripada dugaanku. Aku tersesat dihutan yang lebat dan luas ini. Aku mungkin masih bisa bertahan jika yang kuhadapi hanyalah binatang liar. Tapi yang jadi masalah bukanlah itu. Sebuah desa dengan penduduk yang menurutku asing dan aneh karena mereka mengalami sebuah penyakit yang membuat indera penglihatan mereka menjadi tidak berfungsi. Sehingga mereka harus mencari "Cahaya" mereka sendiri untuk mengatasi kegelapan yang amat sangat menyelimuti raga mereka. Mereka terpaksa harus mencari dan mencari sampai bisa menemukan mata mereka yang hilang. Dan akhirnya mereka bertemu dengan kami. Beberapa penumpang yang selamat setelah kecelakaan itu, harus bertahan hidup dari kejaran atau mungkin bisa kusebut penderitaan mereka atas kegelapan yang menyelimuti mereka. Berjuang untuk mendapatkan "Cahaya Mata" mereka kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Foerza17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ladang Tebu
Kami terus berlari meninggalkan area itu dan sampailah kita di perkebunan tebu yang sangat luas. Tinggi tebunya sudah melebihi tinggi kami. Membuat pandangan menjadi sedikit sulit untuk dijangkau. Kami harap kami sudah lumayan jauh meninggalkan para zombie-zombie itu. Kami pun memutuskan untuk beristirahat sejenak di tepian pematang kebun itu.
Tatapan Kak Willie tergambar jelas penuh kekosongan dan raut wajah penuh dengan keputusasaan. Mungkin dia merasa sangat bersalah karena terlalu lama saat menuruni tangga tadi, sehingga membuat Mas Doni terpaksa untuk mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan kami semua.
"Kita istirahat dulu disini. Saat menjelang pagi, kita akan menuju kearah utara dengan mengandalkan matahari terbit sebagai penunjuk arah kita. Aku ingat perkebunan tebu ini berada disisi selatan jalan raya. Dengan begitu, kita bisa mencari bantuan dan segera melaporkan apa yang sedang kita alami saat ini," ucap Pak Bonadi dengan napas yang terengah-engah. Kami yang juga kehabisan napas hanya mengangguk saja tak mampu lagi untuk menjawab instruksinya. Setelah itu kami pun memutuskan untuk tidur dengan alas yang seadanya.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Hari menjelang pagi, sinarnya yang menyilaukan menyapu seluruh bumi. Menampakkan hamparan tebu laksana labirin yang menyesatkan siapapun yang nekat masuk kedalamnya. Aku perlahan membuka mataku dan meregangkan otot-otot tubuhku yang sudah pegal-pegal karena terbaring pada alas tanah dengan posisi yang tidak merata itu.
Aku heran, tumben sekali aku yang pertama bangun tidur. Biasanya aku selalu dibangunin oleh yang lain. Tapi aku tak ambil pusing, aku memutuskan untuk jalan-jalan terlebih dahulu menyusuri ladang ini dengan berjalan melalui celah diantara petak tebu tersebut. Memang biasanya ladang tebu diberi celah seperti jalan setapak yang digunakan sebagai sarana untuk mengangkut tebu yang sudah panen nantinya. Tetapi aku juga harus memperhatikan jalan yang kulalui agar tidak tersesat untuk kembali. Karena ladang ini amatlah luas jika tidak terbiasa melaluinya.
Aku mengamati tebu ini yang sudah berwarna merah kecokelatan. Sepertinya sudah masak, aku mencoba untuk mengambil batang tebu kemudian kucicipi. Rasanya lumayan manis, aku pun berasumsi bahwa tebu ini sudah waktunya untuk panen. Memberikanku secercah harapan untuk mencari bantuan. Maksudku, tebu yang mulai panen biasanya akan mulai sering dipantau oleh para petani untuk memastikan kapan waktu yang tepat untuk mulai memanennya.
Aku sedikit berjalan lebih jauh menyusuri ladang ini. Tapi sejauh aku berjalan, aku tak menemukan apapun selain tebu yang melebihi tinggi badanku itu. Aku memutuskan untuk kembali dan menemui yang lain. Tinggi tebu yang melebihi tinggiku ini, dan dengan jalan setapak yang dibuat lebih rendah daripada petak tebunya, menjadi sedikit sulit untuk melihat kearah langit. Mengandalkan matahari sebagai penunjuk arah diantara tebu ini menjadi sulit. Aku akan memberitahu Pak Bonadi tentang masalah ini nantinya.
Sesampainya aku di rombongan, aku melihat yang lain sudah mulai terbangun dari tidurnya. Aku menyarankan agar mereka mencoba untuk mencicipi tebu ini sebagai sarapan pagi. Mereka pun mencoba mencicipinya, mereka ternyata suka.
"Sepertinya kita gak perlu lagi buat nyari makanan. Ini kek gudang makanan buat kita," ucap Kak Willie sembari menggigit tebu itu.
"Iya sih, Will. Tapi kalo cuman tebu doang gak ada nutrisinya. Cuman isinya gula doang yang masuk ke perut kita," sanggah Kak Ayu yang memang notabenenya seorang perawat. Kak Willie cemberut mendengarnya.
"Selagi di perjalanan nanti, aku nyoba buat nembak burung kalo gitu," ucap Pak Juari.
Setelah beberapa saat kami mengisi perut hanya dengan memakan tebu, kami pun mulai melanjutkan perjalanan kearah utara dengan menyusuri tepian ladang itu. Kami tak berniat untuk masuk kedalam labirin tebu itu karena berlandaskan laporan dariku tadi yang kurang memungkinkan untuk dilalui. Kami pun berjalan beriringan sambil sesekali menepis daun tebu yang menjalar mengganggu perjalanan kami. Sesekali aku meraih dedaunan untuk kujadikan mainan penghilang bosan.
Pagi yang cerah dengan matahari yang masih berselimut awan. Disambut oleh kicauan burung dan udara pagi yang segar memenuhi paru-paru. Dengan embun pagi yang masih tersisa diujung rumput, menyembunyikan bahaya dengan keindahan alamnya yang mempesona.
Tiba-tiba kami mendengar suara gonggongan anjing dikejauhan. Kami pun mulai merasa khawatir karenanya. Kemudian Pak Juari menyiapkan senapannya untuk mengantisipasi serangan anjing penjaga. Kami terus berjalan menyusuri pinggiran ladang dengan mata yang waspada. Membuat fokus kami menjadi terpecah harus memprioritaskan makanan atau keselamatan kami terlebih dahulu.
Suara gonggongan anjing yang bergema dari segala arah, semakin menambah perasaan cemas karenanya. Indra penciumannya yang 10x lebih baik dari manusia, membuat kesan ngeri jika harus berhadapan dengan mereka. Tapi jika mereka bisa dijinakkan, itu akan sangat menguntungkan kami.
"Tenang saja. Mereka bukanlah anjing liar. Mereka anjing penjaga kebun, jadi tidak terlalu sulit untuk dijinakkan. Kalau bertemu mereka, kita harus tetap tenang. Akan kucoba untuk menjinakkannya," ucap Pak Bonadi.
Pandangan kami masih tetap awas akan situasi disekeliling kami. Kemungkinan anjing-anjing itu berada didalam ladang. Asalkan kita tidak memasukinya, aku harap kami tidak diserang olehnya.
Di kejauhan, diantara tebu yang lebat, terdapat seekor anjing yang terus menggonggong tanpa henti. Entah apa yang dilakukannya, dia seperti menggonggong tanpa tujuan. Aku mengawasi anjing itu sembari terus berjalan. Anjing itu terlihat bertingkah aneh.
Tiba-tiba kami dihadang oleh seekor anjing dikejauhan. Pak Bonadi langsung memberi instruksi untuk diam dan beliau berjalan pelan menghampirinya untuk mencoba menjinakkannya. Kami hanya memperhatikannya dari belakang dan Pak Juari mengarahkan senapannya untuk berjaga-jaga apabila dia tiba-tiba menyerang Pak Bonadi.
Pak Bonadi berjalan dengan perlahan tapi pasti mendekati anjing itu. Saat hampir mendekatinya, anjing itu menyalak kearah Pak Bonadi dan langsung menggigit tangan beliau. Pak Bonadi mencoba melepaskan gigitan anjing itu dan segera lari kearah kami. Pak Juari pun langsung menembak hingga mati kearah anjing itu.
Kami pun menghampiri anjing itu untuk melihatnya dengan seksama. Aku sangat terkejut setelah mengetahui bahwa anjing itu tidak memiliki bola mata dikedua kelopak matanya. Pantas saja tadi menggonggong tanpa tujuan yang jelas. Aku mulai berasumsi bahwa semua desa disini sudah terkena kutukan yang membuat bola mata mereka menghilang sehingga memaksa mereka untuk mencari bola mata yang berasal dari makhluk hidup lain.
Tapi apakah mungkin jika bola mata mereka menghilang, mereka masih bisa melihat dunia? Apakah mereka tidak punya dokter atau seorang mantri desa yang bisa mengobati penyakit mereka? Apakah ini sebuah kutukan ataukah sebuah wabah?
Ketika aku masih bergelut dengan berbagai pertanyaan yang muncul di kepalaku, tiba-tiba mulai terdengar gonggongan anjing yang mulai bersahut-sahutan. Mungkin suara tembakan tadi yang menjadi pemicunya. Kami terdiam cemas akan gonggongan anjing-anjing tersebut.