Nara Stephana, pengacara cemerlang yang muak pada dunia nyata. Perjodohan yang memenjarakan kebebasannya hanya menambah luka di hatinya. Dia melarikan diri pada sebuah rumah tua—dan takdirnya berubah saat ia menemukan lemari antik yang menyimpan gaun bak milik seorang ratu.
Saat gaun itu membalut tubuhnya, dunia seakan berhenti bernafas, menyeretnya ke kerajaan bayangan yang berdiri di atas pijakan rahasia dan intrik. Sebagai penasihat, Nara tak gentar melawan hukum-hukum kuno yang bagaikan rantai berkarat mengekang rakyatnya. Namun, di tengah pertempuran logika, ia terseret dalam pusaran persaingan dua pangeran. Salah satu dari mereka, dengan identitas yang tersembunyi di balik topeng, menyalakan bara di hatinya yang dingin.
Di antara bayangan yang membisikkan keabadian dan cahaya yang menawarkan kebebasan, Nara harus memilih. Apakah ia akan kembali ke dunia nyata yang mengiris jiwanya, atau berjuang untuk cinta dan takhta yang menjadikannya utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukti Portal
Nara menatap Pangeran Arven dengan tatapan yang penuh tekad, seolah ingin memastikan bahwa kata-katanya akan terdengar jelas dan tanpa keraguan. Wanita itu menghampiri Arven dengan langkah mantap disaat pejabat yang mengobrol dengannya sudah pergi. Udara sekitar mereka terasa sedikit lebih berat, seperti menunggu momen penting yang akan terjadi.
"Pangeran Arven," ujar Nara tegas, matanya tidak pernah lepas dari mata Arven yang tampak tenang namun menyimpan misteri. "Sebelumnya aku minta maaf atas persinggungan tadi pagi, yang tidak mengenali siapa dirimu, Pangeran."
Arven yang berwajah tegas itu mengalihkan pandangannya ke arah lain, seakan mencoba menyembunyikan sesuatu. Namun, Nara bisa merasakan ada ketegangan dalam dirinya. "Ada kepentingan apa kau menemui diriku?" Suaranya terdengar sedikit dingin.
Nara menarik napas dalam-dalam. "Aku... ada yang ingin aku bicarakan. Tetapi sepertinya tidak bisa dibicarakan di ruang terbuka seperti ini." Ia menatap sekitar, memastikan tidak ada yang mendekat. "Bisakah kita berbicara di luar istana saja?"
Arven mengangkat alisnya sedikit, pandangannya kini terfokus pada Nara.
"Kalau begitu, kau peganglah tanganku," kata Arven dengan suara yang lebih tenang namun penuh perintah. Tanpa menunggu jawaban, ia menyurukkan telapak tangannya. Dan dalam sekejap, suasana sekitar mereka berubah. Tempat itu yang semula terang benderang dengan hiruk-pikuk istana, kini menjadi lebih sepi dan tertutup.
Nara terkejut sejenak, namun rasa penasaran dan keyakinan membuatnya tidak ragu. Ia menggenggam tangan Arven dengan mantap, merasakan kehangatan dan kekuatan yang tiba-tiba mengalir melalui sentuhan itu.
Seperti tidak penting menanyakan ini di mana, Nara pun langsung masuk ke tujuan utama ia menemui Arven.
"Katakan, apa yang mau kau bicarakan," ucap Arven, suaranya tetap tegas meski matanya tidak pernah lepas dari Nara.
"Aku sudah menemukan portal yang rusak. Kalau saja aku pergi ke barat tadi pagi, maka aku tidak akan menemukannya," ujar Nara, dengan sedikit nada menantang, mencoba mengukur reaksi Arven.
Arven tersenyum tipis, senyum yang sulit dibaca namun mengandung arti. "Untungnya kau merajuk dengan bertekad membuat pagi ku suram. Kalau kau manusia penurut meskipun itu salah, kau tidak mendapatkan apapun. Kau berhasil membaca kode yang sedang aku sampaikan." Ada ketegangan tersirat dalam kata-katanya, seolah ia sedang menilai apakah Nara akan bisa mengikuti permainan ini.
"Jadi... apakah benar kau yang telah membuatku masuk ke dunia bayangan ini?" tanyanya tepat sasaran. Suaranya terdengar sedikit lebih rendah, namun tidak ada keraguan dalam nada itu.
"Pintar. Kau sudah banyak belajar cara kerja dunia ini, Nara," jawab Arven, memberikan apresiasi. Senyumnya kembali mengembang tipis, menantang Nara untuk melangkah lebih jauh. "Bagaimana, apa yang akan kau lakukan selanjutnya setelah menemukan yang seharusnya kau temukan?"
Pertanyaan Arven itu menguji pemikiran Nara. Apakah wanita itu bisa tepat mengambil langkah selanjutnya?
"Aku membutuhkanmu sebagai seorang ahli di dunia bayangan ini, Pangeran. Ada beberapa hal yang tidak aku mengerti di portal tersebut. Setelah aku tahu kau adalah yang membawaku kesini, aku semakin yakin bahwa kau lah yang hanya berada di pihak ku."
Arven tertawa, suaranya pelan namun terasa penuh makna. "Kau sedang mencoba merekrutku, Nara? Hahahaha." Senyumnya semakin lebar, tetapi ada ketegangan yang tetap tersirat di balik tawa itu.
"Iya, Pangeran. Bagaimana? Apakah Anda bersedia?"
Tawa Arven berubah menjadi senyum tipis, senyum yang penuh arti. "Hmm, baiklah. Kalau begitu, aku akan membantumu. Bersiaplah!"
Namun, sebelum Arven bisa bergerak lebih jauh, Nara mencegahnya. "Tunggu," ucapnya dengan nada yang sedikit panik.
Arven berhenti sejenak, menatap Nara dengan sedikit kebingungan. "Ada apa lagi?"
Nara menatapnya serius, matanya mengandung pertanyaan yang mendalam. "Di luar, kita tidak bisa bersikap seperti ini, kan?" pertanyaannya keluar begitu saja, keraguan yang sejak tadi bercokol di kepala.
Arven mengerutkan alisnya sejenak, sebelum kembali menatap Nara. "Di luar kau harus sabar menghadapi sikapku Nara. Kita tidak bisa terus-menerus berbicara seperti ini, kalau tidak mau ketahuan bahwa kita bersekutu. Berhati-hati lah, karena Ratu Baily sedang mengawasi dirimu, juga diriku."
Nara mengangguk mengerti.
...***...
Arven dan Nara pun kembali ke lokasi penemuan. Di sana, Arven mulai melakukan tugasnya yang diminta Nara untuk melengkapi laporannya sebagai bukti. Nara mengamati dengan seksama, mencoba menangkap setiap gerakan Arven yang penuh perhitungan.
"Kau tahu kan, kalau rakyat bayangan punya tanda pengenal?" Arven mulai berbicara, suaranya tenang namun penuh perhatian. "Sehingga bisa terdeteksi ada seseorang yang bukan termasuk di dalamnya. Tanda itu adalah energinya. Raja dapat mendeteksi kau orang asing karena energi mu berbeda dengan kami."
"Energi?" Nara terdiam sejenak, mencoba memahami. "Lalu, apa maksudnya energi itu?"
"Iya," jawab Arven sambil memandang Nara. "Energi yang mengalir dalam tubuh kita adalah sesuatu yang tidak bisa disembunyikan. Namun soal membaca energi, hanya sebagian yang tahu. Hanya mereka yang benar-benar paham cara kerja dunia ini. Dan... kita bisa gunakan energi yang tertinggal di portal ini sebagai bukti. Aku yang akan mengerjakannya Nara."
"Tapi apakah energi yang tertinggal disini belum di manipulasi? Aku rasa mereka tak seceroboh itu meninggalkan jejak."
"Tenang saja, penciuman ku mengatakan kalau ini adalah energi asli si perusak." Arven begitu yakin, tetapi wajah Nara masih tersirat keraguan tipis.
"Baiklah, asal jangan di pengadilan nanti, energi yang yang kau tampilkan sebagai bukti ternyata energi milikku. Apapun bisa terjadi di ruang pengadilan. Yang tadinya A menjadi B, begitu pun sebaliknya." Nara mengungkapkan sedikit kekhawatirannya berdasarkan pengalaman.
"Lihat saja nanti." Jawab Arven dengan seringaian, membuat Nara ingin memukul laki-laki itu.
"Ayo kita lekas kembali ke istana. Raze sudah mencari-carimu."
"Kau tahu darimana?"
"Dari pancaran matanya, dia suka padamu Nara. Bahkan dia ingin menjadikanmu istri agar bisa memenangkan sayembara menjadi Raja selanjutnya."
"Sayembara?" Nara agak terkejut.
"Iya benar. Siapa yang menikah duluan lalu memiliki anak, maka ia yang dijadikan raja selanjutnya. Raze sudah mau menikah dengan putri salah satu menteri sebelum bertemu denganmu. Lalu akhirnya dia batalkan setelah membawamu ke istana. Artinya.. Raze ingin kau menjadi ratunya."
"Ternyata begitu rupanya. Lalu kau sendiri bagaimana pangeran? apakah sudah memiliki calonnya? Kau tentu ingin memang darinya kan?"
"Tentu saja aku sudah memiliki calon istri. Aku ingin jadi raja karena ingin menang darinya. Anak dari wanita yang sudah menyakiti ibu ku tidak akan ku biarkan menang.
Nara bisa merasakan emosi yang begitu kuat dalam suara Arven. Dalam sekejap, dia menyadari bahwa perjuangan Arven bukan hanya soal tahta. Itu adalah tentang pembalasan, dan tentang rasa kehilangan yang lebih dalam dari apa yang terlihat.
"Jadi, bukan sekadar raja yang kau inginkan?" kata Nara, sedikit terkejut oleh kedalaman perasaan yang terungkap.
"Benar," jawab Arven, menatap Nara dengan tatapan yang penuh determinasi. "Aku ingin menuntut keadilan, bahkan jika aku harus menghancurkan semua yang ada di depanku untuk mendapatkannya."
Nara menunduk, mencoba memahami perasaan Arven, yang sepertinya lebih rumit daripada yang dia kira.
"Kalau begitu, aku hanya bisa membantu untuk mencegah Raze menikah cepat-cepat."
Arven tersenyum.
Tapi aku penisirin sama calonnya Pangeran Arven. Mau nanya tapi malu.
.
.
Bersambung.