Setelah perceraian orang tuanya, dan kematian adik perempuannya, Jasmine, seorang gadis berusia 20 tahun, memutuskan meninggalkan masa lalunya dengan pergi ke Edinburgh—kota yang katanya penuh kehangatan, dia berharap menemukan harapan baru di sini.
Di sana, ternyata takdir mempertemukannya dengan Jack Finlay, pria berusia 27 tahun, yang merupakan pimpinan gangster, pria penuh misteri.
Dunia Jack sangat bertolak belakang dengan kehangatan yang Jasmine inginkan. Namun, entah bagaimana, dia tetap menemukan kehangatan di sana.
Di balik tatapan tajamnya, kerasnya kehidupannya, Jack juga sama hancurnya dengan Jasmine—dia seorang pria yang tumbuh dari keluarga broken home.
Kehadiran Jasmine seperti cahaya yang menyusup dalam kegelapan Jack, membawa harapan yang selama ini tak pernah dia izinkan mendekat. Jack menemukan kedamaian, kehangatan dalam senyum Jasmine. Namun, Jasmine menyadari, bahwa cintanya pada Jack bisa menghancurkan hidupnya.
___________
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenaBintang , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BALAPAN
Jack berdiri di depan pintu kamar Jasmine. Matanya merah karena kurang tidur, dan ekspresinya penuh dengan kegelisahan yang mendalam. Dia mencoba mengetuk pintu sekali lagi, berharap Jasmine mau berbicara dengannya dan menyelesaikan salah paham ini.
"Jasmine, tolong buka pintunya. Kita tidak bisa terus seperti ini," katanya dengan nada rendah tapi mendesak.
Tidak ada jawaban dari dalam kamar, seperti semalam. Jack menghela napas panjang, dan kali ini dia memutuskan untuk tidak menunggu lebih lama.
Dengan dorongan kuat, dia mendobrak pintu hingga terbuka. Suara pintu yang terbanting mengejutkan Jasmine yang sedang duduk termenung di tepi ranjang. Matanya melebar, menatap Jack yang berdiri di ambang pintu dengan napas memburu.
"Jack! Apa yang kau lakukan?" serunya terkejut.
Jack berjalan masuk tanpa ragu, menatap Jasmine dengan campuran emosi di wajahnya. "Aku tidak tahan lagi, Jasmine. Kau boleh marah, kau boleh membenci aku, tapi kita harus menyelesaikan ini sekarang."
Jasmine berdiri dari tempat duduknya, mencoba menjaga jarak. "Apa yang mau kau jelaskan? Semuanya sudah jelas, Jack. Foto itu... Nicole... kau tidak perlu berkata apa-apa lagi. Jika kau ingin kembali padanya, silahkan. Aku tidak akan memaksamu bersamaku, Jack."
Jack menggeleng dengan frustasi, lalu mendekati Jasmine. "Tidak, kau salah. Tidak ada apa-apa antara aku dan Nicole. Dia muncul begitu saja. Aku bahkan tidak tahu mengapa dia ada di bar itu. Tapi aku bersumpah, Jasmine, aku tidak pernah berniat menyakitimu. Dia bukan mantan kekasih, kami tidak pernah menjalin hubungan. Dia hanya teman yang pernah menghilang dari hidupku."
"Tapi dulu kau menyukainya, kan?"
"Tidak, Jasmine. Tolong jangan salah paham."
"Jack, kau pikir aku bisa begitu saja percaya padamu? Setelah semua ini?" Jasmine balas menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku sudah terlalu sering dikecewakan oleh orang-orang yang seharusnya peduli padaku. Aku tidak tahu apakah aku bisa menghadapi ini lagi."
Jack mendekat, mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah Jasmine, tapi dia menahan diri. "Aku tahu aku sudah membuatmu merasa seperti itu, dan aku tidak bisa memintamu untuk memaafkanku sekarang. Tapi Jasmine, aku mencintaimu."
Jasmine terdiam, tubuhnya gemetar mendengar kata-kata itu.
"Aku mencintaimu, dan aku akan melakukan apa saja untuk membuktikan bahwa aku tidak akan menyakitimu lagi," lanjut Jack, suaranya serak oleh emosi. "Tolong... jangan tinggalkan aku."
Air mata akhirnya jatuh dari mata Jasmine. Dia ingin tetap marah, ingin tetap menjauh, tapi rasa sakit dan ketulusan di mata Jack membuat hatinya luluh.
"Kau sungguh mencintaiku?" tanya Jasmine dengan suara bergetar.
Jack mengangguk, mendekatkan wajahnya pada Jasmine. "Lebih dari yang bisa kubayangkan."
Jasmine menutup matanya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Akhirnya, ia mengangguk pelan, meski dengan keraguan. "Aku butuh waktu, Jack."
Jack tersenyum tipis, meletakkan tangannya di pundak Jasmine. "Aku akan memberimu waktu sebanyak yang kau butuhkan, tapi aku tidak akan berhenti memperjuangkanmu."
Mereka berdua berdiri dalam keheningan, ditemani sinar matahari pagi yang mulai menghangatkan kamar itu. Meski luka mereka belum sepenuhnya sembuh, langkah pertama untuk memperbaiki hubungan mereka telah diambil.
...****************...
Malam harinya..
Jasmine duduk di sofa apartemen, menatap layar ponselnya yang kosong dari notifikasi apa pun. Jack tidak memberitahunya ke mana dia pergi, dan rasa gelisah mulai merayap di hatinya.
Dia mencoba membaca buku untuk mengalihkan perhatian, tetapi setiap suara kecil dari luar membuatnya berharap Jack akan segera pulang. "Ke mana dia pergi?" gumam Jasmine, nada suaranya terdengar kesal dan cemas sekaligus.
Dia berjalan mondar-mandir di ruang tamu, mencoba menelepon Jack, tetapi panggilannya tidak dijawab. "Dia bahkan tidak membawa helm motornya tadi pagi," gumam Jasmine dengan kesal.
Perasaan cemasnya berubah menjadi kekhawatiran. Jasmine duduk di sofa, memeluk bantal sambil menggigit bibirnya. "Apa yang dia lakukan? Kenapa dia tidak memberitahuku ke mana dia pergi?"
Berbagai pikiran negatif bermunculan. Jasmine yakin jika Jack pasti menemui Nicole lagi. "Pria memang sama saja!"
***
Di sisi lain, Jack berada di arena balapan malam yang gemerlap oleh lampu neon. Suara mesin motor yang meraung memecah malam, sementara penonton bersorak di sepanjang jalan. Jack mengenakan helmnya, menatap lintasan yang akan menjadi jalannya menuju hadiah besar malam ini.
"Jack, kau yakin mau ikut balapan ini? Mereka bilang lawanmu tidak main-main," ujar salah satu temannya.
Jack hanya mengangguk sambil menyalakan mesin motornya. "Aku harus menang. Ini bukan hanya soal uang. Aku ingin melakukan sesuatu untuk Jasmine, sesuatu yang membuktikan kalau aku serius."
Cornor mendekat. "Dia masih marah padamu, Jack?"
Jack mengangguk lesu. "Tentu dia sangat marah. Dan.... apa kau sudah menemukan orang yang mengirim foto itu pada Jasmine?"
"Belum, tapi aku akan segera menemukannya," jawab Cornor.
Jack menepuk pundak Cornor. "Terima kasih."
Balapan dimulai, dan Jack melaju dengan kecepatan penuh, mengatasi tikungan tajam dan bersaing dengan lawan yang tak kalah agresif. Adrenalinnya memuncak, tapi pikirannya tetap tertuju pada Jasmine.
Jalanan yang licin karena sisa embun musim gugur membuat setiap tikungan terasa lebih berbahaya. Lampu neon dari mobil-mobil penonton memantul di permukaan jalan, menambah suasana tegang.
Lawannya, seorang pria bernama Dante, dikenal licik dan sering menggunakan cara curang untuk menang. Dari awal, Jack sudah tahu balapan ini tidak akan mudah, tetapi demi uang untuk kejutan bagi Jasmine, dia tak akan mundur.
Saat mendekati putaran kedua, Dante yang mengendarai motor hitam dengan aksesoris mencolok mulai mendekati Jack. Di salah satu tikungan tajam, Dante terlihat memperlambat motornya, tapi Jack tahu ini hanya trik. Tiba-tiba, Dante memotong jalur Jack secara agresif, hampir membuat Jack kehilangan keseimbangan.
Jack menggerutu di bawah helmnya, tetapi tetap fokus pada lintasan. "Main curang, ya? Kita lihat siapa yang bertahan," gumam Jack sambil memacu motornya lebih kencang.
Namun, kecurangan itu tidak berhenti di situ.
Di putaran berikutnya, salah satu anak buah Dante, yang berada di pinggir lintasan, melemparkan sesuatu ke jalan—sebuah botol kaca yang pecah begitu saja di aspal. Jack melihatnya di detik terakhir dan berhasil menghindarinya, tapi kehilangan kecepatan karena harus mengubah jalurnya.
Dante tertawa sambil melaju lebih jauh ke depan. Suara mesinnya seperti ejekan di telinga Jack.
"Brengsek." Jack mendesis, memacu motornya kembali dengan agresif. Adrenalinnya memuncak, bukan hanya karena ingin menang, tapi juga karena rasa marah pada taktik kotor lawannya.
Ketika mendekati putaran terakhir, Dante mencoba trik lainnya. Dia sengaja memperlambat motornya, menunggu Jack mendekat, lalu mendadak mengerem keras. Jack hampir menabraknya, tetapi dengan refleks luar biasa, dia memutar setang motornya dan berhasil menyalip Dante.
Suara sorakan penonton terdengar semakin keras. Jack tahu ini adalah momen penentuan.
Di garis finis, Jack melaju dengan kecepatan penuh, mengabaikan rasa sakit di lengannya yang tergores akibat pecahan botol tadi. Dante mencoba menyalip di detik terakhir, tetapi Jack berhasil melewatinya dengan selisih hanya beberapa inci.
Ketika Jack berhenti di garis finis, suara sorakan berubah menjadi ejekan bagi Dante, yang tidak percaya dirinya kalah. Jack turun dari motornya, napasnya terengah-engah, namun dia tidak menunjukkan rasa puas. Sebaliknya, dia berjalan ke arah Dante yang tampak marah.
"Apa itu tadi? Kecurangan? Itu caramu menang?" Jack menatap Dante dengan tajam.
Dante mendekat, wajahnya penuh amarah. "Kau pikir kau lebih baik dariku? Jangan merasa puas dulu, Jack. Aku akan membuatmu menyesal ikut balapan ini."
Jack hanya menatapnya dingin, lalu berbalik. Baginya, kemenangan ini adalah untuk Jasmine, bukan untuk membuktikan apapun kepada Dante.
Namun, ancaman Dante membuat suasana malam itu terasa lebih berat. Sambil membawa uang kemenangannya, Jack kembali ke motornya. Meski tubuhnya terasa lelah dan lengan yang terluka mulai terasa nyeri, pikirannya hanya tertuju pada Jasmine di apartemen, yang menunggunya tanpa tahu apa yang baru saja terjadi.
...****************...
Beberapa jam kemudian, suara ketukan pintu terdengar dari luar. Jasmine segera bangkit dan membuka pintu. Jack masuk dengan helm di tangannya, bajunya sedikit berdebu, tetapi senyum kecil terlihat di wajahnya.
"Ke mana saja kau?" tanyanya tajam, matanya memancarkan rasa marah bercampur khawatir.
Jack melepas sepatunya, lalu berjalan ke arah Jasmine. "Aku punya sesuatu yang ingin aku tunjukkan, tapi aku butuh waktu untuk menyiapkannya. Jasmine, aku minta maaf karena tidak memberitahumu. Aku hanya ingin membuatmu bahagia."
Jasmine mengerutkan kening, masih kesal. "Dan kau pikir menghilang begitu saja tanpa kabar akan membuatku bahagia?"
Jack tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Tidak, tentu saja tidak. Tapi aku ingin semuanya jadi kejutan."
Jasmine terdiam, menatap Jack yang tampak begitu percaya diri dengan rencananya. "Kejutan apa?"
Jack tersenyum, matanya bersinar penuh misteri. "Besok malam, kau akan tahu."
Meski hatinya masih dipenuhi keraguan, Jasmine akhirnya menghela napas panjang. "Kau ini benar-benar suka membuatku marah."
Jack mendekat, menatap Jasmine dengan lembut. "Tapi aku juga tahu bagaimana membuatmu tersenyum."
Jasmine hanya memutar matanya, berusaha menyembunyikan senyum kecil yang muncul di bibirnya. Meski dia belum memaafkan Jack sepenuhnya, ada sesuatu tentang pria itu yang selalu berhasil membuatnya luluh, meski hanya sedikit.
...****************...