Wanita kuat dengan segala deritanya tapi dibalik itu semua ada pria yang selalu menemani dan mendukung di balik nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syizha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tekad
Langkah kaki itu mendekat, semakin jelas terdengar di tengah keheningan gudang tua. Akselia menahan napas, mencoba meredam ketegangan yang menyelimuti dirinya. Ia melirik Nathaniel yang bersembunyi di sebelahnya. Wajah pria itu tegang, tetapi ia tetap memegang senter kecil di tangannya, bersiap menghadapi apa pun yang mungkin terjadi.
Dari balik rak besar tempat mereka bersembunyi, Akselia mencoba mengintip. Sosok itu adalah seorang pria berbadan tegap dengan pakaian serba hitam. Di pinggangnya terlihat sarung pistol yang terikat erat. Ia tampak memeriksa setiap sudut gudang dengan cermat, seolah mencari sesuatu—atau seseorang.
Akselia berbisik pelan ke Nathaniel, “Dia bersenjata. Kita harus tetap di sini.”
Nathaniel mengangguk, tetapi matanya tidak lepas dari sosok pria itu. Mereka menunggu, membiarkan waktu berlalu sementara sosok itu terus bergerak di sekitar gudang. Namun, tiba-tiba langkah pria itu berhenti tepat di depan rak tempat mereka bersembunyi.
“Keluar,” suara pria itu terdengar berat dan tegas. “Aku tahu kalian ada di sini.”
Akselia merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menatap Nathaniel, berharap pria itu memiliki ide untuk keluar dari situasi ini. Namun sebelum mereka bisa merespons, pria itu menggerakkan rak tersebut dengan kasar, membuat debu beterbangan dan hampir menjatuhkan Akselia.
Dengan cepat, Nathaniel melompat keluar dari tempat persembunyian, mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah. “Kami tidak ingin masalah,” katanya dengan nada tenang, mencoba menenangkan situasi.
Pria itu menyipitkan matanya. “Kalau begitu, apa yang kalian lakukan di sini? Gudang ini bukan tempat umum.”
Akselia akhirnya muncul dari balik rak, meskipun seluruh tubuhnya tegang. Ia tahu bahwa mereka tidak punya pilihan selain menghadapi pria itu. “Kami mencari sesuatu,” katanya. “Rahasia tentang Aurora. Aku tahu tempat ini menyimpan jawabannya.”
Mendengar itu, pria itu tertawa pendek, tetapi tidak dengan nada ramah. “Aurora? Kau benar-benar nekat, ya? Kau tidak tahu apa yang kau hadapi.”
“Kalau begitu, beri tahu aku,” balas Akselia dengan nada menantang. “Aku sudah kehilangan cukup banyak karena proyek itu. Aku tidak akan mundur sekarang.”
Pria itu memandangnya lama, seolah menilai keberanian di balik kata-katanya. Akhirnya, ia menurunkan pistolnya perlahan. “Namaku Axel. Aku dulu bekerja di bawah Lucas Ravindra. Dan aku ada di sini bukan untuk melawanmu, tetapi untuk memastikan rahasia Aurora tetap tersembunyi.”
Kata-kata Axel membuat Akselia dan Nathaniel tertegun. “Kenapa kau peduli menyembunyikannya? Apa kau salah satu dari mereka yang menghancurkan keluargaku?” tanya Akselia dengan nada penuh kemarahan.
Axel menggeleng. “Aku bukan bagian dari itu. Aku meninggalkan mereka setelah mengetahui rencana sebenarnya. Tapi aku tetap tahu banyak, termasuk bahaya yang bisa kau hadapi jika terus menggali ini.”
Nathaniel berbicara untuk pertama kalinya sejak Axel menurunkan senjatanya. “Kalau begitu, kenapa kau masih di sini? Apa yang kau coba lindungi?”
Axel menghela napas panjang sebelum menjawab. “Karena aku tahu jika rahasia Aurora jatuh ke tangan yang salah, itu bisa menghancurkan lebih dari sekadar kota kecil ini. Teknologi itu terlalu berbahaya.”
“Kau pikir aku peduli dengan teknologi itu?” kata Akselia tajam. “Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada keluargaku. Aku ingin tahu siapa yang bertanggung jawab.”
Axel terdiam, lalu berkata dengan nada pelan, “Keluargamu menjadi korban dari sesuatu yang jauh lebih besar dari apa yang bisa kau bayangkan. Lucas Ravindra memang dalang dari semua ini, tapi dia bukan satu-satunya. Ada orang-orang di belakangnya, mereka yang punya kekuatan lebih besar. Jika kau terus mengejar ini, mereka akan tahu, dan mereka tidak akan berhenti sampai kau diam.”
Akselia menggertakkan giginya, tetapi ia tidak menunjukkan ketakutan. “Kalau begitu, biarkan mereka datang. Aku tidak akan berhenti.”
Axel menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca, lalu akhirnya mengangguk. “Kalau begitu, aku akan membantumu. Tapi kau harus bersiap menghadapi apa pun yang mungkin terjadi.”
Axel membawa mereka ke sudut lain gudang, di mana terdapat pintu baja yang hampir tertutup oleh debu dan sarang laba-laba. Ia mengeluarkan kunci dari saku jaketnya, memasukkannya ke dalam lubang kunci yang sudah berkarat, dan memutar dengan tenaga besar. Pintu itu terbuka dengan suara berderit, memperlihatkan tangga yang menuju ke bawah tanah.
“Ini tempat di mana semua data eksperimen terakhir disimpan,” kata Axel. “Sebagian besar sudah dihancurkan, tapi aku yakin masih ada sesuatu yang tersisa.”
Mereka menuruni tangga dengan hati-hati, memasuki lorong sempit yang gelap dan berbau lembap. Di ujung lorong, terdapat ruangan kecil dengan rak-rak berisi dokumen dan komputer tua yang sudah berdebu.
Nathaniel langsung mulai memeriksa dokumen di rak, sementara Akselia mendekati salah satu komputer. Axel menyalakan generator kecil di sudut ruangan, memberi daya pada komputer yang akhirnya menyala dengan lambat.
Akselia memperhatikan layar yang berkedip-kedip sebelum menampilkan menu utama. Ia mulai membuka file satu per satu, kebanyakan berisi data teknis yang sulit dipahami. Namun, salah satu file menarik perhatiannya—sebuah video pendek dengan label *Kesaksian Proyek Aurora*.
Ketika ia memutar video itu, layar menampilkan seorang pria yang tampak kelelahan. Wajahnya penuh kerutan, tetapi matanya menunjukkan tekad yang kuat. “Namaku adalah Adrian Ananta,” kata pria itu.
Akselia terdiam, tubuhnya membeku. Itu adalah ayahnya.
“Jika kau melihat ini, berarti aku gagal menghentikan mereka. Lucas Ravindra dan para petinggi di belakangnya akan terus memanfaatkan teknologi Aurora, meskipun mereka tahu risikonya. Proyek ini tidak hanya tentang energi—ini adalah senjata, sesuatu yang bisa menghancurkan lebih dari sekadar kehidupan manusia. Aku meninggalkan pesan ini untuk siapa pun yang mencoba melawan mereka. Rahasia terbesar Aurora tidak ada di sini, tapi di tempat yang disebut ‘Sentinel.’ Hanya di sana kebenaran sebenarnya bisa ditemukan.”
Video itu terhenti, meninggalkan Akselia dalam keheningan yang menyakitkan. Ayahnya meninggalkan petunjuk terakhir, tetapi juga memperingatkan bahaya yang menunggunya.
“Sentinel?” gumam Nathaniel, berdiri di sampingnya. “Apa itu?”
Axel tampak terkejut mendengar nama itu. “Sentinel adalah fasilitas rahasia yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Jika Adrian Ananta menyebutnya, itu berarti dia tahu sesuatu yang bahkan aku tidak tahu.”
Akselia mengepalkan tangannya, menahan gejolak emosi yang muncul. “Aku akan menemukannya. Apa pun yang terjadi, aku akan pergi ke Sentinel.”
Axel dan Nathaniel saling bertukar pandang, menyadari bahwa keputusan Akselia sudah bulat. Namun, sebelum mereka bisa merencanakan langkah berikutnya, suara langkah kaki terdengar lagi dari atas tangga.
“Kita kedatangan tamu,” kata Axel dengan nada tegang.
Akselia meraih tongkat kayunya, sementara Nathaniel mematikan komputer dengan cepat. Mereka tahu bahwa rahasia ini baru saja menarik perhatian yang tidak diinginkan. Dan kali ini, mereka harus bertarung untuk keluar hidup-hidup.