Akselia Ananta

Hari-hari di pusat komunitas baru itu mulai berjalan dengan lebih teratur. Penduduk desa datang dan pergi, membawa hasil bumi, kerajinan tangan, atau sekadar mencari ilmu dan wawasan dari penduduk lain. Tempat itu menjadi ramai dan hidup, jauh dari gambaran kota mati yang mereka temukan beberapa minggu lalu.

Di tengah hiruk-pikuk itu, Akselia menemukan sebuah rutinitas yang, meskipun sederhana, mulai memberikan rasa damai dalam dirinya. Pagi-pagi sekali, sebelum keramaian dimulai, dia akan berjalan mengelilingi pusat komunitas, memeriksa apakah semuanya berjalan lancar.

Mikael sering kali menyusulnya dengan membawa secangkir teh hangat, seperti pagi itu.

“Kau tidak pernah bisa istirahat, ya?” tanya Mikael, menyerahkan cangkir itu kepada Akselia.

Akselia menerimanya dengan senyum kecil. “Jika aku berhenti terlalu lama, aku akan mulai berpikir terlalu banyak. Lebih baik tetap sibuk.”

Mikael mengangguk, meskipun dia tahu alasan Akselia lebih dalam dari itu. “Tapi kau perlu belajar menikmati momen-momen kecil juga, Sel. Kau tahu, seperti pagi ini. Lihatlah, semuanya berjalan dengan baik. Kau pantas mengambil napas sebentar.”

Akselia memandang ke sekeliling. Anak-anak berlarian di lapangan, pedagang mulai membuka lapak mereka, dan orang-orang berbincang dengan penuh tawa. Dia tidak bisa menyangkal bahwa ini adalah sesuatu yang indah—sesuatu yang mereka ciptakan bersama.

“Kau benar,” katanya akhirnya. “Kadang aku lupa untuk menghargai hal-hal kecil seperti ini.”

Mikael tersenyum, lalu menunjuk sebuah tenda kecil di ujung pasar. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita mulai dengan mencoba makanan dari lapak baru itu? Kudengar mereka punya roti panggang dengan madu liar yang luar biasa.”

Akselia tertawa kecil. “Kau selalu tahu bagaimana caranya menggoda orang dengan makanan.”

---

Saat mereka tiba di lapak yang dimaksud, seorang wanita muda bernama Mira menyambut mereka dengan antusias. Dia adalah salah satu penduduk desa yang baru bergabung, membawa hasil madu dari lebah liar yang dia pelihara bersama keluarganya.

“Selamat pagi, Nona Akselia, Tuan Mikael!” sapanya. “Kalian harus mencoba roti madu kami. Ini resep keluarga turun-temurun.”

Mikael langsung mengangguk. “Kami datang ke sini khusus untuk itu.”

Mira tersenyum lebar dan segera menyajikan dua potong roti yang masih hangat, dengan lapisan madu yang mengilap di atasnya. Akselia mencicipinya dan langsung terkejut. Rasanya manis, tetapi tidak berlebihan, dengan aroma khas yang membuatnya ingin mengambil gigitan kedua.

“Ini luar biasa,” katanya jujur.

“Terima kasih, Nona,” kata Mira dengan senyum bangga. “Aku senang sekali bisa berbagi sesuatu dari desaku di sini.”

Mikael, yang sudah menghabiskan rotinya, menoleh ke Mira. “Lapak ini akan menjadi favorit banyak orang, aku yakin.”

Mira tersipu, tetapi terlihat senang. “Terima kasih, Tuan Mikael. Aku akan terus mencoba memberikan yang terbaik.”

Setelah selesai, Akselia dan Mikael kembali berjalan-jalan mengelilingi pasar, menyapa para penduduk yang sibuk. Ada seorang pandai besi yang memperbaiki alat-alat pertanian, seorang seniman muda yang menjual lukisan kecil, dan bahkan seorang pendongeng tua yang duduk di bawah pohon, dikelilingi oleh anak-anak yang mendengarkan cerita-ceritanya dengan penuh antusias.

“Ini seperti dunia kecil yang sempurna,” kata Mikael tiba-tiba.

Akselia mengangguk pelan. “Tapi kita tahu ini hanya awal. Masih ada banyak tantangan yang menunggu.”

“Tentu saja,” kata Mikael, menatapnya. “Tapi untuk saat ini, bukankah kita boleh menikmati apa yang sudah kita capai?”

Akselia tersenyum. “Kau selalu tahu bagaimana caranya mengingatkanku untuk hidup di saat ini.”

Mikael tertawa kecil. “Itulah gunaku, bukan?”

---

Malamnya, setelah pasar mulai sepi, Akselia berjalan sendirian ke sebuah bukit kecil di dekat pusat komunitas. Dari sana, dia bisa melihat lampu-lampu dari tenda dan rumah kecil yang bersinar di tengah kegelapan. Angin malam yang sejuk membelai wajahnya, membawa aroma tanah basah dan bunga liar.

Mikael menyusulnya beberapa saat kemudian, membawa sebuah lampu minyak kecil.

“Tempat favoritmu, ya?” tanyanya sambil duduk di samping Akselia.

“Kadang, aku butuh waktu untuk merenung,” jawab Akselia.

“Dan apa yang kau renungkan malam ini?”

Akselia terdiam sejenak sebelum menjawab. “Aku berpikir tentang bagaimana semua ini terasa seperti mimpi. Aku tidak pernah membayangkan akan sampai di titik ini.”

Mikael menatapnya. “Kau tahu, aku selalu percaya kau bisa. Kau punya sesuatu yang tidak dimiliki banyak orang—keteguhan dan hati yang besar. Itulah yang membuatmu berbeda.”

Akselia menoleh padanya, matanya bertemu dengan tatapan Mikael yang hangat. “Kau terlalu sering memujiku, Mikael.”

“Karena kau pantas mendapatkannya,” jawab Mikael tanpa ragu.

Hening kembali menyelimuti mereka, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Ada kehangatan di antara mereka yang tidak membutuhkan kata-kata untuk dijelaskan.

“Terima kasih, Mikael,” kata Akselia pelan, hampir seperti bisikan.

“Untuk apa?”

“Untuk selalu ada. Untuk percaya padaku, bahkan saat aku tidak yakin pada diriku sendiri.”

Mikael tersenyum. “Kau tidak perlu berterima kasih untuk itu. Aku akan selalu ada di sini, Akselia.”

Dan malam itu, di bawah bintang-bintang, Akselia merasa bahwa dia tidak hanya membangun dunia baru untuk orang lain, tetapi juga menemukan tempat di mana dia benar-benar merasa diterima.