Hanzel Faihan Awal tak menyangka jika pesona janda cantik penjual kue keliling membuat dia jatuh hati, dia bahkan rela berpura-pura menjadi pria miskin agar bisa menikahi wanita itu.
"Menikahlah denganku, Mbak. Aku jamin akan berusaha untuk membahagiakan kamu," ujar Han.
"Memangnya kamu mampu membiayai aku dan juga anakku? Kamu hanya seorang pengantar kue loh!" ujar Sahira.
"Insya Allah mampu, kan' ada Allah yang ngasih rezeky."
Akankah Han diterima oleh Sahira?
Yuk pantengin kisahnya, jangan lupa kasih bintang lima sama koment yang membangun kalau suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BTMJ2 Bab 1
"Akhirnya sampai juga di tanah air, gak sabar pengen lihat ekspresi wajah umi. Pasti senang liat gue pulang, pasti dia heboh."
Seorang pria muda bernama Hanzel Faihan Awal baru saja pulang dari luar negeri dan tiba di bandara, dia baru saja menyelesaikan kuliahnya.
Dia sengaja pulang tanpa memberitahukan ibunya, hal itu dia lakukan untuk memberikan kejutan kepada ibunya.
Pria itu begitu niat untuk memberikan kejutan kepada ibunya, bahkan pulang saja tidak membawa banyak barang. Hanya satu tas ransel yang dia bawa.
"Jam 4 sore, lagi macet-macetnya. Mending naik ojek aja," ujarnya sambil keluar dari dalam bandara dan mencari kang ojek.
Walaupun dia adalah turunan dari keluarga Pramudya, walaupun dia kaya sejak lahir karena diberikan warisan oleh almarhum ayahnya, walaupun dia memiliki beberapa resto warisan dari kakeknya, tetapi pria itu tidak pernah bersikap sombong.
Justru, Hanzel selalu sederhana dalam berpenampilan. Dia tidak pernah memperlihatkan identitasnya, karena dia ingin bebas bergaul dengan siapa pun.
"Jangan ngebut, Pak. Yang penting datang dengan selamat," ujar Hanzel ketika dia sudah naik motor kang ojek dan memberitahukan alamat tempat tinggal uminya.
Khadijah merupakan wanita yang ditinggal meninggal oleh suaminya setelah sepuluh hari melahirkan putranya, ketika pulang dari luar negeri setelah melahirkan, pesawat yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan.
Ustadz Arfan meninggal, sedangkan Khadijah dan juga Hanzel harus meneruskan hidupnya tanpa sang ayah.
Khadijah yang begitu mencintai suaminya tak menikah lagi, dia memutuskan untuk membesarkan putranya sendirian.
Dia bahkan seperti Hanzel, walaupun terlahir dari turunan kaya, tetapi wanita itu tidak pernah sombong. Khadijah selalu rendah hati.
Khadijah kini menempati toko kue milik ibunya, toko kue yang awalnya hanya dua lantai itu kini menjadi 4 lantai. Lantai 1, 2 dan 3 dipakai untuk toko kue. Sedangkan lantai 4 digunakan untuk wanita itu tinggal.
Aksa sempat mengajak putrinya itu untuk tinggal bersama, karena pria itu sudah berusia enam puluh lima tahun. Dia sudah sepuh, dia ingin berkumpul dengan putrinya.
Namun, Khadijah selalu berkata begitu nyaman tinggal di toko kue sambil bekerja. Selain itu, toko kue itu dekat dengan pemakaman suaminya. Sehingga hal itu memudahkan dirinya untuk sering-sering datang ke makam suaminya itu.
"Pak, berhenti di depan."
Sebentar lagi Hanzel akan tiba di toko kue milik ibunya, tetapi di pinggir jalan dia melihat ada toko coklat kesukaan ibunya. Dia lupa membelikan oleh-oleh untuk ibunya tersebut, makanya dia memutuskan untuk membeli coklat yang banyak untuk ibundanya.
"Sepertinya ini cukup," ujar Hanzel setelah membeli sekotak coklat kesukaan Ibundanya.
Di saat Hanzel ingin naik motor kang ojek, Hanzel melihat ada anak dan juga ibunya di pinggir jalan. Yang menjadi perhatiannya adalah anak itu sedang menangis, ibunya bukannya menenangkan tetapi malah ikut menangis.
Hanzel yang merasa penasaran akhirnya menghampiri keduanya, dia ingin tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
"Bu, Cia udah tiga bulan gak bayaran. Kata pak guru, Cia akan dikeluarkan dari sekolah."
Anak perempuan itu terlihat cantik sekali, jika diperkirakan usianya baru saja 7 tahun. Namun, penampilannya terlihat lusuh, wajahnya juga pucat.
"Maaf ya, Nak. Untuk saat ini ibu belum punya uang, dagangannya lagi sepi. Doakan biar dagangan Ibu laris, biar Ibu bisa bayar biaya sekolah kamu."
Hanzel memerhatikan wanita itu, isinya terlihat lebih tua darinya. Cantik, tapi baju yang dipakai juga terlihat kurang layak. Di wajahnya terlihat kesedihan yang mendalam, sepertinya mereka adalah anak dan ibu yang begitu kesusahan.
Hanzel juga melihat ada keranjang kue di samping wanita itu, kue kukus yang dijual terlihat masih banyak. Masih sepertiganya, Hanzel menjadi iba dibuatnya.
"Ehm! Maaf, Mbak. Kuenya berapaan ya?" tanya Hanzel.
Wanita itu langsung menolehkan wajahnya ke arah Hanzel, dia begitu senang karena ada yang menanyakan kue miliknya.
"Satunya lima ribuan, mau beli berapa?"
"Kalau saya borong semuanya berapa ya?"
Wanita itu semakin senang mendengar Hanzel akan memborong dagangannya, dia langsung menghitung dagangannya yang ada di dalam keranjang itu.
"Semuanya ada lima puluh bungkus, berarti dua ratus lima puluh lima ribu," jawab wanita itu antusias.
"Oke, saya bayar." Hanzel langsung memberikan uang yang disebutkan oleh wanita itu. "Maaf, tadi saya dengar anaknya belum bayar uang bulanan. Memangnya kalau boleh tahu berapa uang bulanannya?"
"Eh? Kenapa memangnya?"
"Hanya ingin tahu saja," jawab Hanzel.
"Tiga ratus tujuh puluh lima ribu, uang dagang sehari-hari kepakai untuk makan dan juga bayar kontrakan."
Hanzel tak banyak bicara, dia langsung mengambil uang sebesar lima ratus ribu dan memberikannya kepada anak dari wanita itu.
"Cia, ini untuk bayar uang sekolah. Jangan lupa belajar yang benar ya," ujar Hanzel.
"Makasih, Om ganteng. Cia pasti tidak akan dimarahi pak guru lagi, pasti Cia gak akan dikeluarkan dari sekolah."
"Ya, Sayang. Om pergi dulu," ujar Hanzel yang langsung pergi menuju motor kang ojek yang sejak tadi sudah menunggu.
"Tunggu! Anda siapa? Rumahnya di mana? Saya memang miskin, tapi saya bukan pengemis. Kalau nanti saya sudah mendapatkan uang, pasti saya akan menggantinya."
"Nama saya Han, sebenarnya saya ikhlas memberikan uang itu kepada putri anda. Tapi, kalau memang anda mau menggantinya, saya akan terima."
Hanzel tahu jika wanita itu merasa senang karena sudah mendapatkan biaya untuk sekolah putrinya, tetapi di satu sisi wanita itu juga pasti merasa sedih karena tiba-tiba saja dia memberikan uang itu tanpa sebab.
Hanzel juga menyadari kalau wanita itu adalah seorang pekerja keras, dia tidak mau menyinggung perasaan dari wanita itu.
"Doakan saya agar jualannya laku, suatu saat jika saya memiliki uang, pasti saya akan menggantinya."
"Iya, Mbak. Semoga dagangannya laris, biar bisa menjalani kehidupan yang lebih baik."
"Terima kasih doanya," ujar wanita itu.
Hanzel menganggukkan kepalanya, lalu pria itu segera pergi dari sana karena sudah merindukan ibunya.
"Umi!" teriak Hanzel ketika dia tiba di depan toko kue dan melihat ibunya sedang melayani pembeli.
"Baby Han!" jerit Khadijah ketika dia melihat putra tampannya sudah datang.
Wanita itu bahkan langsung berlari dan memeluk putranya dengan erat, dia tidak menyangka jika putranya itu akan datang sebelum memberitahukan dirinya.
"Kamu datang, Baby?"
"Umi, aku udah gede. Jangan panggil Baby lagi," protes Hanzel.
"Sorry, tapi sebesar apa pun kamu, tetap saja bagi Umi kamu adalah Baby Han. Bayi kecilnya Umi," ujar Khadijah.
"Umi, malu ih. Aku ngambek ih," ujar Hanzel yang langsung mengurai pelukannya. Lalu, Dia memberikan kotak coklat yang sudah dia beli dan segera masuk ke dalam toko kue.
Khadijah hanya terkekeh sambil menggelengkan kepalanya, karena setiap kali dia memanggil putranya dengan sebutan 'baby Han', pasti dia akan marah.
Di satu sisi dia juga merasa senang karena melihat putranya, putranya itu terlihat begitu sehat dan juga tampan.
"Anak ini, sekarang sudah mulai bisa bikin kejutan." Khadijah lalu melangkahkan kakinya untuk menemui putranya.