NovelToon NovelToon
PLAY ON

PLAY ON

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Beda Usia / Cinta pada Pandangan Pertama / Enemy to Lovers
Popularitas:168.6k
Nilai: 5
Nama Author: Tris rahmawati

Riga tidak menyadari dia sedang terjebak dalam sebuah masalah yang akan berbuntut panjang bersama Abel, gadis 18 tahun, putri temannya yang baru saja lulus SMA.

Obsesi Abel kepada Auriga yang telah terpendam selama beberapa tahun membuat gadis itu nekat menyamar menjadi seorang wanita pemandu lagu di sebuah tempat hiburan malam. Tempat itu disewa oleh Mahendra, ayah Abel, untuk menyambut tamu-tamunya.
“Bel, kalau bokap lo tahu, gue bisa mati!” Kata Ode asisten sang ayah tengah berbisik.
“Ssst...tenang! Semuanya aman terkendali!” Abel berkata penuh percaya diri.
“Tenang-tenang gimana? Ini tempat bukan buat bocah ingusan kayak elo!”
“Dua hari lagi aku 18 tahun! Oh my God, gatel ya,Mahen!Lo ya, ganjen banget! Katanya nggak mau nikah lagi tapi ani-aninya seabrek!" Umpat Abel pada sang papa.

***
Di satu sisi lain sebuah kebahagiaan untuk Auriga saat mengetahui hubungan rumah tangga mantannya tidak baik-baik saja dan tidak bahagia dia pun kembali terhubung dengannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tris rahmawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

30 0 -1

Auriga tiba di rumah sementara milik Sahara dengan langkah tergesa. Perempuan itu tengah panik, wajahnya pucat sekali, sementara Jevas, bocah kecilnya, terbaring lemas di pangkuannya. Jevas baru saja terguling dari lantai rumah lantai dua mereka, tubuh kecilnya mencium kerasnya lantai. Meski tidak ada luka serius yang terlihat, bocah itu sempat pingsan sesaat, membuat Sahara kehilangan akal.

"Auriga, tolong aku... aku nggak tau harus bagaimana lagi!" Sahara berseru dengan suara gemetar, air matanya mengalir deras. "Aku udah hubungin taksi tapi tidak ada yang datang."

Auriga langsung memeriksa kondisi Jevas. “Kita bawa dia ke rumah sakit sekarang,” katanya tegas. Tanpa membuang waktu, ia mengangkat tubuh Jevas dengan hati-hati, lalu mengajak Sahara masuk ke mobilnya.

Di perjalanan, Sahara terus menangis, menggenggam tangan Jevas yang terkulai lemah. "Aku nggak bisa kehilangan dia, Auriga. Dia satu-satunya alasan aku masih bertahan…" ucapnya terisak.

Auriga menghela napas, mencoba tetap tenang meski hatinya ikut diliputi kekhawatiran. “Tenang, Jevas akan baik-baik saja. Fokus sekarang adalah keselamatannya. Teruslah berdoa.”

Dalam hati, Auriga tak bisa menahan amarahnya pada Rainer. Lelaki itu telah menghancurkan Sahara, segalanya.

Hubungannya dengan Sasa, perempuan yang ditemuinya dalam perjalanan dinas, telah membuatnya lupa akan tanggung jawab sebagai suami dan ayah. Yang lebih menyakitkan, Rainer tidak ingin melepas Sahara sepenuhnya karena status pekerjaannya bergantung padanya. Namun, ia juga tidak mau berpisah dari Sasa, wanita yang kini menguasai hidupnya.

Sidang perceraian mereka sudah memasuki tahap akhir, dan putusan hakim akan segera keluar. Meski begitu, Sahara tahu, perjuangannya tidak akan selesai begitu saja. Masa depannya masih buram, dan ia tidak tahu harus bergantung pada siapa selain Auriga, teman yang selalu ada saat semua pintu lain tertutup.

Setibanya di rumah sakit, dokter segera memeriksa Jevas. Setelah beberapa saat, mereka mendapatkan kabar bahwa kondisinya stabil. Jevas hanya mengalami cedera ringan, namun perlu diawasi untuk memastikan tidak ada komplikasi. Sahara hampir roboh mendengar kabar itu, lega sekaligus kelelahan.

Auriga duduk di sebelahnya, menatap Sahara yang masih menggenggam tangan anaknya erat-erat. “Kamu nggak sendiri, Sahara. Aku akan selalu ada buat kalian,” katanya dengan lembut.

Sahara menoleh, matanya basah namun penuh rasa syukur kondisi anaknya baik-baik saja. "Terima kasih, Ga. Aku nggak tau apa yang akan terjadi kalau kamu nggak ada di sini."

Setelah memastikan Jevas tertidur pulas dan situasi di kamar rumah sakit sudah tenang, Auriga melangkah keluar untuk menghirup udara segar. Tak lama, langkah Sahara terdengar menyusul dari belakang.

“Di mana ayahnya? Kamu sudah mengabari?” tanya Auriga pelan, menoleh ke arah Sahara yang tampak masih lelah.

Sahara tersenyum kecut, menatap ke lantai. “Sasa… wanita itu. Aku lihat mereka lagi liburan ke Thailand. Apa gunanya aku mengabari dia? Rainer bahkan nggak peduli. Kanu tahu, Ga, aku sudah terlalu lama menghadapi hal-hal buruk darinya. Ini sekarang, justru kesempatan aku pergi… meninggalkan semua ini.”

Auriga menghela napas, mencoba menahan emosinya. “Bagaimanapun, dia ayahnya, Sahara. Kamu nggak bisa begitu saja memutus hubungan Jevas dengan Rainer. Jadi, gimana proses sidang perceraian? Sudah ada putusan? Bukannya kamu bisa tuntut dia? Dia menikah tapi berselingkuh itu alasan yang cukup kuat. Kalau kamu mau, Rainer bisa kehilangan pekerjaannya, bahkan mungkin dihukum. Kita bisa pakai lawyer terbaik. Jangan takut dengan orang-orang yang dia gunakan untuk mengintimidasi.”

Sahara menggeleng perlahan, matanya penuh keyakinan meski suaranya terdengar getir. “Aku sudah memikirkan semuanya, Ga. Biarlah. Aku nggak mau melawan dia lebih jauh. Aku hanya ingin hak asuh Jevas. Itu saja. Persetan dengan semua yang dia lakukan, aku Cuma ingin lepas… tanpa ada hubungan apa pun lagi sama dia.”

Auriga terdiam beberapa saat, menatap Sahara yang tampak rapuh namun kuat pada saat bersamaan. Ia tahu keputusan itu bukan hal mudah bagi sahabatnya, dan meski hatinya geram dengan perlakuan Rainer, ia memilih untuk menghormati pilihan Sahara.

Tiba-tiba, Sahara mendekat. Suaranya lirih tapi penuh ketulusan. “Boleh aku peluk kamu, Ga?”

Auriga terkejut sejenak, tapi kemudian mengangguk perlahan. Di koridor rumah sakit yang sepi itu, Sahara mendekapnya erat. Tangis yang ia tahan sejak tadi akhirnya pecah. Auriga membiarkan Sahara menangis di dadanya, tanpa mengucapkan satu kata pun. Kadang, kehadiran tanpa kata adalah satu-satunya hal yang bisa menguatkan seseorang. Tapi bukan seperti ini yang Auriga mau, dia sudah memilih jalannya kenapa kembali mencarinya.

Apakah hatinya bergetar karna sisa sebuah rasa atau karena kasihan saja?

***

Hadiah-hadiah itu sudah dikirim ke email atau belum. Hadiah macam apa? Abel sama sekali tidak peduli. Semua itu tak berarti baginya karena pasti sesuatu yang tidak Abel harapkan.

Satu-satunya yang ia inginkan saat ini adalah pergi secepat mungkin dari negara ini, meninggalkan semua kekacauan di belakangnya.

Abel bergegas pulang dengan napas masih begitu berat, rasa bersalah dan panik bercampur jadi satu. Setibanya di rumah, ia langsung dihadapkan dengan Ode yang menatapnya tajam, ekspresi penuh amarah setelah dia tadi barusan mereschedule keberangkatannya..

"Lo kira lo bisa seenaknya rubah-rubah jadwal, Abel?" Ode memulai, suaranya penuh nada frustrasi. "Bokap lo udah susah-susah atur waktu buat nganterin lo, dan sekarang lo malah bikin keberangkatan pagi-pagi buta pas dia masih ada kerjaan! Lihat, gara-gara permainan lo, semuanya jadi kacau! Gue juga kena imbasnya ngak dia elo tapi juga di Auriga dan semua yang udah gue atur jauh-jauh hari hancur berantakan!"

"Ode..." Abel memotong, suaranya lemah. "Marahlah, marahlah sepuasnya. Tapi kali ini aja, tolong gue."

Ode mendengus, melipat tangan di dada. "Lo selalu bilang 'kali ini aja', Bel. Tapi kenyataannya? Masalah lo nggak pernah habis. Ada aja yang bikin kacau."

Abel menghela napas panjang, mencoba meredam tangis yang mulai mengancam. "Ya gimana, udah terjadi. Udah ketahuan. Izinin aku berangkat sendiri aja, Ode. Papa pasti ngerti. Sebagai asistennya, lo bisa atur supaya dia nggak perlu nganterin gue, atau papa nyusul aja nanti kapan-kapan. Tolong dengar gue, Ode. Gue nggak tenang, jantung gue rasanya mau meledak! Bahkan mau tidur aja gue takut! Lo tau apa yang dia lakukan? Dia kirim hadiah lewat email, itu jebakan! Dia mau papa malu. Anak kayak gue pasti bikin papa kecewa!"

Ode menggeleng dengan tajam, matanya membara. "Jelas lah bokap lo bakal marah, Bel! Lo tau dia jarang marah, tapi kalau udah nyusahin orang lain? Apalagi sampai main-main sama keluarga Auriga, keluarga omanya? Habis lo! Nyusahin, Lo tuh anak kecil, nggak mikir panjang."

"Fix gue berangkat besok pagi!" Abel berseru tiba-tiba, suaranya meninggi. "Atau mending gue mati aja! Lo nggak mau bantu, malah cuma ngeluh! Gue tau lo udah nggak mau disogok, mentang-mentang bonus dari papa udah cair, gaya banget!"

Ode menyipitkan mata, suaranya berubah dingin. "Lo pikir gue nggak mau nerima uang lo karena apa? Karena uang dari lo cuma bikin hidup gue tambah ribet! Gue nggak mau bayar ketenangan gue pake uang lo, Bel. Lo inget nggak waktu gue kena marah Pak Mahen cuma gara-gara lupa kasih bingkisan buat temen deketnya? Dia ngediemin gue berhari-hari! Lo tau bokap lo gimana kan soal hal-hal kayak gitu? Apalagi ini... lo main-main sama masalah besar."

Abel terdiam, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Aku nyesal, Ode," katanya akhirnya, suaranya melemah. "Aku malu. Aku nggak enak sama papa. Anak seorang Mahendra malah bikin aib kayak gini. Gue nyusahin lo, gue ngecewain semua orang. Tapi, iya gua pergi. Gue cuma mau beresin semuanya."

Ode memandangnya lama, ekspresi campur aduk. "Kabur ya itu kan jalan satu-satunya pinter ya! Lari dari masalah. Kadang gue sedih lo pergi, Bel," katanya pelan. "Tapi gue juga kesel. Lo ninggalin masalah, bikin hidup orang ribet, buang waktu, tenaga, dan emosi. Kalau lain kali lo ngelakuin ini lagi, gue nggak akan bantu, Bel. Ini yang terakhir."

Abel menatap Ode dengan pandangan penuh penyesalan. "Gue janji, Ode. Gue janji ini terakhir kali. Gue cuma... gue cuma mau semua ini selesai."

Ode menghela napas panjang, mengangkat tangan seolah menyerah. "Udah, gue mau tidur. Besok gue bantu lo berangkat, tapi jangan harap gue maklumin lo lagi. Habis ini, urus diri lo sendiri."

Abel mengangguk pelan. "Makasih, Ode. Gue tau gue salah. Gue janji ini terakhir."

Malam itu, kamar Abel dipenuhi keheningan yang berat. Sementara Ode kembali ke kamarnya, Abel duduk di sudut, memikirkan semua kesalahan yang ia buat. Di satu sisi, ia ingin pergi jauh dan meredam semuanya yang sudah dia buat. Tapi di sisi lain, rasa bersalahnya terhadap sang ayah tetap menghantui.

***

Burung besi yang ditumpangi Abel akhirnya lepas landas, meninggalkan landasan dengan gemuruh yang mengguncang perasaannya. Gadis itu menatap ke luar jendela, matanya berkaca-kaca. Ini adalah perjalanan pertama yang ia tempuh tanpa Papa atau Ode yang mengantarnya.

Segalanya terasa jauh dari apa yang ia bayangkan. Melbourne menjadi tujuan akhir, kota yang sebelumnya pernah ia kunjungi untuk mempersiapkan studinya.

Di sana, ia akan tinggal di asrama seperti keinginan Papanya, menempuh pendidikan di jurusan Business Administration Management, sebuah langkah besar menuju masa depan yang ia impikan.

Sementara itu, di jalan menuju bandara, Mahendra terus mencoba menghubungi putrinya. Ia telah mengusahakan segalanya untuk bisa mengantar Abel pagi itu, namun usahanya sia-sia.

Ia terlambat, terhalang pekerjaan yang tak bisa ia tinggalkan semalam. Amarahnya semalam terhadap Ode, asisten sekaligus orang kepercayaannya, masih terasa. Jadwal keberangkatan yang berubah mendadak membuat semuanya berantakan dan ia harus merelakan Abel terbang sendirian.

Di bandara, Mahendra berdiri terpaku menatap layar informasi penerbangan. Pesawat yang membawa Abel sudah lepas landas. Seketika, ada kekosongan yang menyelimuti dirinya. Rasa sesal yang tak tertahankan merayap masuk, menggerogoti hatinya.

“Arabella berangkat sendiri,” gumam Mahendra pelan, suaranya hampir tak terdengar di antara hiruk-pikuk bandara.

Ode, yang berdiri di sampingnya, menatap Mahendra dengan perasaan bersalah. Ia telah menerima amarah pria yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri, namun apa yang lebih menyakitkan adalah melihat Mahendra begitu sedih.

“Maafkan saya, Pak,” kata Ode dengan nada penuh penyesalan. “Tapi percayalah, Abel sudah dewasa. Dia pasti bisa mengatasi semuanya.”

Mahendra hanya mengangguk lemah, matanya masih terpaku pada layar. Sekuat apa pun ia mencoba menenangkan diri, hatinya tetap terasa berat. Ode tahu, ini bukan sekadar soal keberangkatan Abel. Ini adalah momen yang selama ini Mahendra nantikan, tetapi malah berlalu tanpa kehadirannya.

“Dia anak saya, Ode. Anak saya satu-satunya,” gumam Mahendra, suaranya bergetar.

Ode mencoba memberi penghiburan, tapi ia tahu tak ada kata-kata yang bisa benar-benar menghapus perasaan itu. Mahendra, dengan seluruh kasih sayangnya, merasa kehilangan momen penting dalam hidup putrinya.

Tapi ia juga tahu, ini adalah bagian dari kehidupan. Abel sedang memulai perjalanannya sendiri. Dan sebagai seorang ayah, tugasnya adalah melepaskan meski hatinya belum sepenuhnya siap.

***

Beberapa jam kemudian

Sore itu, di tempat duduknya, Auriga menggelengkan kepala dengan perasaan tak percaya. Hasil tes Ana dengan sampel milik Arabella menunjukkan hasil yang sama—positif. Mereka adalah dua orang yang sama.

Pria itu kebingungan, shock, dan tercengang. Apa maksud semua ini? Apa yang sebenarnya terjadi?

Auriga berusaha mencerna kenapa seorang gadis seusia Abel bisa melakukan hal seperti itu pada pria yang jauh lebih tua dan merupakan teman ayahnya.

Apakah itu ketertarikan? Atau ada motif lain? Semua terasa aneh dan membingungkan. Kenapa Abel melakukannya? Apa tujuan sebenarnya? Dan, mengapa dia pergi begitu saja meninggalkan rumah Oma kalau punya misi? Auriga tak bisa mengerti, merasa bahwa Abel tidak mendapatkan apa-apa dari semua itu.

Dengan kesal, Auriga memijat pelipisnya, berusaha menenangkan pikirannya yang semakin pusing. Dia merasa seperti terjebak dalam permainan anak kecil, yaitu permainan yang dimainkan oleh Abel.

Auriga membayangkan bagaimana penampilan Abel ketika dia berusaha menjadi seorang wanita penggoda, berusaha menarik perhatian Auriga.

“Shit,” gumamnya pelan, tertawa sendiri. “Jatuh pingsan? Itu benar-benar luka dan cedera? Sampai sejauh itu?”

Kemudian, dengan kesal, Auriga bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar dari kantornya dia pergi ke Bandara

Seperti yang dikatakan Mahendra, Abel berangkat malam itu. Namun, ketika Auriga menghubungi Mahendra di bandara, dia diberitahu bahwa Abel sudah berangkat pagi tadi. Auriga tertawa pelan, merasa bodoh. Bocah itu melarikan diri, padahal ia sudah berniat menggodanya dengan buket bunga dan lolipop, namun terlambat.

Apakah Abel takut akan dilaporkan ke papanya? Atau mungkin malu akhirnya ketahuan?

Semua yang di buat Abrl terasa seperti buang-buang waktu. Auriga marah dan kesal, namun saat melihat wajah ketakutan Abel, dia justru ingin tertawa. Semua ini terasa konyol.

“Memalukan,” kata Auriga, merasa malu terjebak dalam permainan yang tidak penting,permain kekanak-kanakan padahal biasnya dia dalam sebuah drama besar atau serius.

Akhirnya, Auriga pergi dari bandara, menyerahkan buket bunga yang dibawanya kepada sopirnya.

Awalnya, dia berniat mengirimkan hasil pemeriksaan itu kepada Abel sebagai hadiah dan bukti kebohongannya, namun akhirnya dia urung melakukannya. Ternyata, dia justru menikmati melihat wajah takut Abel dan merasa seperti senang mempermainkan bocah itu.

Kasus selesai.

“Om-om versus Bocil, baiklah 0-1. Kamu memang kali ini walaupun akhirnya ketahuan. Selamat Kabur bocah kecil!" gumam Auriga, senyum tipis tersungging di bibirnya masih saja merasa geli akhirnya sadar di permainan seorang gadis kecil.

1
🌺HN💫
😍😍 gak sabar nungguin kelanjutan ceritanya.
saking serunya aku sampai 2 kali bacanya🤭
Rina
masih menungu klnjutany
Estriana Pranadya
udahh ketangkap basah, dinikahin aja pak mahen ituu pasangan lagi bucin2nya kesian kalo tolak 🥺🥺
ansya
duh kenapa gak pamit aja ke toilet sekalian,,, biar pak mahen tau kalau kamar anaknya jelek naruh nya sampek gak ada toilet juga.
pah mahen liat tuh si nenek sihir Rieke buat anak mu kayak di penampungan 🥲🥲🥲
likerain_1308
pak mahendra udh di ancem ni, sm yg pada baca, klo berani gk kasih restu ke Abell Riga 🤣🤣🤣.....hayoo mb triss, kasih restu ajaa....😅😅😅
Sunny Sunshine
biasanya klo dah cinta tulus malah kan di hargai di jaga tubuh pacar nya, bukan utk sembarang menyentuh
Sunny Sunshine
ode itu adalah kita semua,, pagi pagi orang masih mo tidur ribut panggil"... apaan sih pagi pagi panggil panggil.... hahhahhhahhaha aku padamu odee
Ngadisih Awuawu
ya begitulah namanya main kucing kucingan,,,, bisa kapan aja juga ketangkep nya 😁
Ngadisih Awuawu
hahaha Abel sama Riga akhirnya terciduk sama pak Mahen ya 😀😀
jangan di marahin ya Pak
Vike Kusumaningrum 💜
Alhamdulillah akhirnya papa Mahen tau, semoga g dipisahkan y kak Tris. dan semoga boroknya Rieke segera terungkap.

pengen live streaming Rieke dan Sahara kecewa dalam waktu bersamaan. 🙏🙏
Sabarina_Dewi
nah lho nah lho nah lho
nikah nikah nikah
timakasi tris rahma 😘
Rika Andesla
ntar klu cerita masih mahen dan nenek lampir aku skip aja deh, males baca nya dr pada aku lama" darting ma mereka, jd laki kok lemot bnget, aku cm nunggu ctr riga ma abel aj
Rika Andesla
dr kmrin lo kmn aja asu
Suri Ani
Luar biasa
Herlinawati Ana
udh dibayangin ya Riga dan skrglah mnghadapi Kenyataannya... Gak bs main petak umpet lg dong🤣
Nastiti Titi
waduh udahlah trs trng aja Auriga n Abel,biar ga usah sembunyi2 lg dr P Mahen...😁
Herlinawati Ana
makin meresahkan aja nih kk tris😅
makin dbuat penasaran guling² nungguin part selanjutnya🤣
Ada yg Gentar weh mau ngadepin camer yg ternyata adalah teman sndiri🤣
Kudo'a in aja ya Riga smga Lancar² Aja usahamu kalo Gak Lancar terpaksa deh Dad Jullio & Mom Dilvi turun tangan demi Dirimu😅
Makasih upnya kk tris😍
SasSya
😆😆😆😆😆😆
e e e e e e
kalian ketahuan

menunggu reaksi pak mahen
SasSya
😂😂🤣🤣😂😂🤣🤣
SasSya
be** buanget kalo anda percaya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!