Mardo, pemuda yang dulu cuma hobi mancing, kini terpaksa 'mancing' makhluk gaib demi pekerjaan baru yang absurd. Kontrak kerjanya bersama Dea, seorang Ratu Kuntilanak Merah yang lebih sering dandan daripada tidur, mewajibkan Mardo untuk berlatih pedang, membaca buku tua, dan bertemu makhluk gaib yang kadang lebih aneh daripada teman-temannya sendiri.
Apa sebenarnya pekerjaan aneh yang membuat Mardo terjun ke dunia gaib penuh risiko ini? Yang pasti, pekerjaan ini mengajarkan Mardo satu hal: setiap pekerjaan harus dijalani dengan sepenuh hati, atau setidaknya dengan sedikit keberanian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riva Armis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28: Senyuman dan Langkahnya
Gadis kecil berambut panjang itu kemudian kembali menghilang bersama Torgol. Kak Kila terbang dengan cepat ninggalin kami. Tinggalah gue, Dea dan Sulay yang berhadap-hadapan.
"Sebenarnya ini ada apa, sih, Pak?"
"Ini perintah si Bos, Do. Dia minta gue buat bantu nyembuhin cucunya."
"Cucunya? Anak kecil tadi? Emang dia sakit apaan, Pak?"
"Gue juga gak dikasih tahu detilnya. Yang jelas, dia sekarat dan butuh dua kekuatan spirit biar bisa hidup."
Dea yang dari tadi cemberut tiba-tiba memukul perut Sulay! Untungnya gak begitu kencang.
"Kenapa lo harus nyerang gue, sih!?"
"Salah lo duluan nyerang ke sini!"
"Eh! Gue cuma pengin nyelamatin spirit penjaga kuburan itu, ya! Gak ada niatan nyerang! Siluman Kuyang tadi, tuh yang nyerang gue duluan!"
Argumen Dea emang ada benarnya, tapi waktu gue ingat bahwa dialah yang emang pertama bikin gue kesal karena numpahin kopinya Mery, gue rasa Dea ada salahnya juga.
"Terus sekarang gimana?" tanya gue.
"Aku mau pergi dulu! Aku juga lagi sebel sama kamu, Do!"
Dea menghilang bersama asap merahnya yang melayang keluar.
"Gue mau ke ruang medis dulu sebelum ke ruangan si Bos. Lo mau ikutan nggak?"
Gue melihat ke arah cangkir kopi di bawah.
"Lo duluan aja, Pak. Nanti gue nyusul."
Waktu gue lagi bersihin meja dan lantai, Mery datang menghampiri. Kelihatan banget kalau dia lagi susah jalan.
"Mendingan lo ke ruang medis, Mer. Gue takut lukanya parah."
"Nanti aja, lah. Gue mau beres-beres dulu. Lagian kaki gue sakit buat jalan."
Gue jadi teringat dengan Naya, ketika jempolnya berdarah gara-gara mau bantuin gue ngikat kail pancing. Waktu itu dia bilang, kalau berdarah demi seseorang yang dia sayang sama sekali gak sakit. Walaupun, diam-diam gue melihat dia kesakitan.
"Lo sering ngasih gue kopi enak bikinan lo, lo ngasih gue sarung pedang yang bagus, lo masakin gue nasi goreng, dan lo ngasih gue hadiah Valentine. Jadi, seenggaknya biarin gue nemenin lo dan merawat luka lo hari ini."
Habis ngomong ngawur kayak gitu, gue menggendong Mery dan mau bawa dia ke ruang Medis.
"Do! Apa-apaan lo!? Turunin gue! Malu, tahu!"
Secara tiba-tiba tubuh gue ngeluarin asap hitam banyak banget! Gue sama Mery bingung terus ketawa-ketawa waktu ngelewatin orang-orang. Kayaknya asap hitam ini bikin kami gak bisa dilihat orang.
"Lo udah bisa ilmu menghilang, Do!?"
"Emang iya!? Kok bisa!?"
Mery cuma senyum aja di gendongan gue. Pipinya yang memerah gue rasa efek lain dari serangan Dea tadi.
"Gue berat nggak, Do?"
"Hah? G-gue udah sering ngangkat yang lebih berat dari lo, sih. Jadi santai aja."
"Oh ... maksud lo gue gendut? Terus lo sering ngangkat cewek lain? Gitu, ya? Oke."
"Lho? Kok jadi gitu, sih? Maksud gue lo gak seberat sapi, kok"
"Oh ... sekarang nyamain gue sama sapi?"
"Enggak gitu ... Mery."
Mery kemudian ketawa, terus narik kuping gue. Sakit ternyata!
"Ngapain lo ngangkat sapi?"
"T-tiap tahun, kan ada Hari Raya Kurban. Gak tahu kenapa, gue dipanggil terus buat jadi panitia."
"Iya ... maksud gue kenapa sapinya harus lo yang angkat?"
Gue menatap Mery sambil ketawa.
"Soalnya sapinya gak bisa jalan sendiri."
Mery menarik kuping gue lagi!
"Tuh, kan! Nyamain gue sama sapi!"
Gak kerasa sudah sampai di depan ruang medis aja. Gue menurunkan Mery perlahan, dan asap-asap itu mulai memudar. Gue memegangi tangan Mery, membantunya menjaga keseimbangan saat berdiri. Ketika mau mengetuk pintu, Sulay tiba-tiba keluar dengan tangan kanan yang dililit perban.
"Tangan lo kenapa, Pak!?"
"Katanya gue harus istirahatin tangan gue sementara gara-gara tadi gue pake buat ngendaliin kekuatan Dea. Lo kenapa bawa Mery ke sini?"
"Lha? Dia, kan tadi juga kena serangan Dea."
Sulay diam aja, terus dia pergi. Di dalam, gue melihat Kak Kila dengan tubuh yang kali ini lebih tinggi dengan baju kuning. Dia lagi rebahan dengan dua asistennya yang sedang membantu menyisir rambut panjangnya. Matanya melirik ke arah kami di depan pintu, tersenyum dan memanggil nama gue.
"Masuk, Do. Gak apa-apa, kan saya panggil nama aja?"
"I-iya ... gak masalah, kok."
Dia segera bangkit, merapikan rambut dan pakaiannya lalu berdiri menghadap gue.
"Gimana badan saya kali ini? Bagus nggak?"
"J-jadi tinggi banget, sih. T-tapi bagus, kok."
"Makasih, ya. Eh, apanya yang sakit?"
Gue menatap Mery sebentar.
"Bukan saya, Kak. Ini Mery yang perlu dirawat. Tadi kakinya juga kena duri."
Ekspresi Kak Kila berubah seketika, dari yang tadinya tersenyum ramah, menjadi tersenyum mencurigakan.
"Oh ... sini saya periksa."
Mery tampak ragu waktu menatap gue, tapi dia nurut aja. Kak Kila memperhatikan kaki Mery yang kemerahan di satu titik. Waktu Kak Kila menyentuhnya, Mery bereaksi dengan teriak. Gue jadi kaget! Gak lama setelah disentuh tadi, segumpal asap Merah keluar dan dengan cepat terbang masuk ke dalam mulut Kak Kila!
Dia sempat tersedak, gue dan Mery jadi panik. Untungnya dia gak apa-apa dan melanjutkan dengan mengoleskan minyak ke permukaan kaki Mery. Mery menatap gue, wajahnya tersenyum gembira.
"Gak sakit lagi, Do! Makasih, ya, Kak."
"Harusnya jangan bilang dulu, biar bisa digendong lagi," sahut Kak Kila sambil ketawa. Gue jadi malu banget anjir!
"K-kok, Kak Kila t-tahu!?"
"Tahu, dong ... kalau gak digendong mana bisa dia jalan sendiri sampai sini."
Mery turun dari ranjang medis sambil menggerak-gerakan kakinya. Dia sudah pulih kayaknya. Kami ninggalin ruang medis dan kembali menuju kantin. Walau gue tahu kalau gue pasti sudah ditungguin Sulay sama si Bos di ruangannya, tapi ngebiarin Mery jalan sendirian rasanya agak jahat.
"Makasih, ya, Do. Udah cepetan pergi sana, nanti kena marah."
"Iya. Gue pergi dulu, ya."
Gue penasaran dan pengin ngeluarin asap hitam yang tadi, biar gue bisa gak kelihatan sampai ruangan si Bos terus ngejutin Sulay. Namun, karena gue juga gak tahu caranya, jadinya gak terjadi apa-apa sampai gue masuk ke ruangan si Bos.
"Sudah ngopi, Mardo?" tanya si Bos.
"S-sudah ... Bos."
Sulay dengan tangan diperban menyepak kaki gue.
"Kenapa lama banget, lo!?"
"M-maaf, Pak ... nemenin Mery dulu tadi."
Dari belakang mejanya, si Bos menjentikkan jari dan muncullah sosok Torgol bersama gadis kecil yang tadi.
"Mardo," sapa Torgol.
Gadis kecil itu berjalan mendekati gue dengan tersenyum. Dia menyerahkan sebuah sisir kecil berlapis perak.
"Makasih, ya, Om," katanya, lalu berjalan ke samping Si Bos.
Dengan bingung, gue menatap Sulay.
"Perkenalkan, Vivin cucu saya. Karena kerja keras kalian berdua, serta orang-orang lain yang juga terlibat, akhirnya dia berhasil melewati masa kritis."
Si Bos menatap Torgol, lalu Torgol berjalan mendekati gue.
"Mardo, walaupun kamu sangat banyak sekali membantu, tapi untuk insiden serangan kali ini, saya terpaksa meliburkan kamu untuk sementara waktu dan menyita pedang teman saya itu," kata si Bos.
"J-jadi ... m-maksudnya s-saya ... saya dipecat?”