> "Rei Jaavu, apakah anda siap meninggalkan dunia ini dan pergi menuju negeri impian anda sekarang?"
"Jepang? Beneran aku bisa ke Jepang?"
> "Jepang? Ya, Jepang. Tentu saja."
Kata-kata itu muncul di layar laptop Rei, seperti tawaran menggiurkan yang nggak mungkin ia tolak. Sebuah sistem bernama "AniGate" menjanjikan hal yang selama ini cuma ada di dalam imajinasinya. Jepang klasik, negeri isekai, atau bahkan jadi tokoh kecil di dalam novel klasik yang selalu ia baca? Semua seperti mungkin. Ditambah lagi, ini adalah jalan agar Rei bisa mewujudkan impiannya selama ini: pergi kuliah ke Jepang.
Tapi begitu masuk, Rei segera sadar... ini bukan petualangan santai biasa. Bukan game, bukan sekadar sistem main-main. Di tiap dunia, dia bukan sekadar 'pengunjung'. Bahaya, musuh, bahkan rahasia tersembunyi menghadangnya di tiap sudut. Lebih dari itu, sistem AniGate seolah punya cara tersendiri untuk memaksa Rei menemukan "versi dirinya yang lain".
"Sistem ini... mempermainkan diriku!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RE-jaavu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta Tanpa Cinta: Bagian 4
Bagian 4: Langkah Kecil yang Menyatukan
Akhir pekan tiba lebih cepat dari yang kuduga. Aku berdiri di depan cermin di kamar, memastikan penampilanku terlihat rapi. Kemeja biru muda yang kusetrika dengan susah payah tampak cukup formal, tapi tidak berlebihan. Rambutku, yang biasanya agaj acak-acakan, kali ini kuatur agar terlihat sedikit lebih sopan.
“AniGate, ini cukup baik, kan?” tanyaku sambil memandangi bayanganku sendiri.
> “Penampilan Anda sudah lebih baik dari biasanya. Namun, ingatlah bahwa kesan pertama di awal pertemuan penting untuk misi Anda.”
“Aku tahu. Kau tidak perlu mengingatkanku.” Aku menghela napas panjang, lalu mengambil tas dan keluar dari kamar.
...****************...
Kafe yang Sayuri pilih ternyata berada sedikit di luar area kampus, sebuah tempat kecil dengan suasana nyaman. Meja-meja kayu yang dipoles mengkilap berjejer rapi, dihiasi vas kecil berisi bunga segar. Aroma kopi memenuhi udara, bercampur dengan suara lembut musik jazz yang mengalun di latar belakang.
Sayuri sudah menunggu di salah satu meja dekat jendela. Dia mengenakan sweater krem dengan kerah tinggi yang membuatnya terlihat hangat dan elegan. Rambutnya yang panjang diikat ke samping, memberi kesan santai tapi tetap rapi.
“Takuto-kun,” panggilnya sambil melambaikan tangan kecilnya.
Aku menghampirinya, mencoba mengontrol detak jantungku yang tiba-tiba lebih cepat. “Maaf ya, kalau aku terlambat.”
Dia menggeleng pelan sambil tersenyum. “Kau tidak terlambat. Aku baru sampai juga.”
Kami mulai membuka buku dan catatan masing-masing. Tapi sejujurnya, pikiranku sulit fokus. Setiap kali aku mencoba membaca sesuatu, mataku secara refleks melirik ke arahnya. Cara dia mengaduk kopinya, bagaimana ujung jarinya menahan buku agar tetap terbuka, semuanya terlihat begitu natural dan anggun.
“Takuto-kun?” panggilnya tiba-tiba.
Aku tersentak, merasa seperti tertangkap basah. “Y-ya?”
Dia menatapku dengan alis sedikit terangkat. “Dari tadi kamu melamun terus. Apa ada yang salah?”
Aku cepat-cepat menggeleng. “Tidak, tidak. Aku hanya… sedikit bingung dengan materi ini.”
Dia tersenyum kecil, lalu meraih bukuku dan membacanya sekilas. “Ini tentang analisis puisi, kan? Bagian mana yang kau bingungkan?”
Aku mencoba menjelaskan sekenanya, dan dia mendengarkan dengan serius sebelum mulai menjelaskan dengan caranya sendiri. Penjelasannya sederhana tapi tepat sasaran, membuatku merasa lebih mudah memahami materi itu.
“Wah, kau benar-benar hebat, Sayuri-san,” kataku jujur setelah dia selesai menjelaskan.
Dia tersenyum, tapi kali ini ada sedikit rona merah di pipinya. “Terima kasih. Aku hanya mencoba membantu.”
...****************...
Setelah hampir dua jam belajar, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak. Sayuri memandang keluar jendela, matanya mengikuti anak-anak kecil yang bermain di taman seberang jalan.
“Takuto-kun,” katanya tiba-tiba, suaranya lebih lembut dari biasanya.
Aku menoleh, penasaran dengan nada seriusnya. “Ya?”
“Apa alasanmu memilih Sastra Jepang?”
Pertanyaan itu membuatku terdiam sejenak. Aku tidak menyangka dia akan bertanya sesuatu yang begitu pribadi. Tapi di sisi lain, ini adalah kesempatan untuk lebih dekat dengannya.
“Aku selalu menyukai cerita,” jawabku akhirnya. “Sejak kecil, aku merasa cerita memiliki kekuatan untuk mengubah cara kita melihat dunia. Sastra Jepang… bagiku, itu adalah seni yang menggambarkan keindahan dan emosi manusia dengan cara yang unik.”
Dia mendengarkan dengan seksama, kepalanya sedikit miring ke satu sisi. “Itu jawaban yang menarik. Aku rasa, kau benar-benar berada di tempat yang tepat.”
Aku tersenyum kecil. “Terima kasih. Bagaimana denganmu? Kenapa kau memilih Psikologi?”
Dia terdiam sejenak, tatapannya kembali ke jendela. “Aku ingin memahami orang. Dunia ini penuh dengan hubungan yang rumit, dan aku selalu penasaran mengapa kita bertindak seperti yang kita lakukan. Psikologi… memberiku cara untuk menemukan jawaban.”
Jawabannya membuatku terpesona. Dia memiliki cara berbicara yang sederhana tapi mendalam, seperti setiap kata yang diucapkannya dipikirkan dengan matang.
“Aku rasa itu juga alasan yang sangat hebat,” kataku akhirnya.
Dia tersenyum, tapi kali ini ada sesuatu yang lebih dalam di balik senyumnya. Seolah-olah dia menyimpan sesuatu yang tidak diungkapkannya sepenuhnya.
...****************...
Ketika kami keluar dari kafe, matahari mulai tenggelam di ufuk barat, memberikan langit warna jingga keemasan. Aku berjalan di samping Sayuri, merasa sedikit lebih santai setelah beberapa jam bersama.
“Sayuri-san,” panggilku tiba-tiba, memberanikan diri.
Dia menoleh, menatapku dengan matanya yang besar dan penuh perhatian. “Ya?”
“Aku tahu ini mungkin mendadak, tapi… apa kau keberatan jika kita menghabiskan waktu bersama lagi lain kali?”
Dia terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan permintaanku. Lalu, dia tersenyum kecil dan mengangguk. “Tentu. Aku juga menikmati waktu kita hari ini.”
Jawabannya membuatku merasa seperti beban besar terangkat dari dadaku. Tapi sebelum aku bisa mengatakan apa-apa lagi, suara AniGate tiba-tiba muncul di kepalaku.
> “Langkah yang baik, Rei. Anda menunjukkan kemajuan yang signifikan.”
Aku mencoba untuk tidak bereaksi terlalu jelas, mengingat Sayuri ada di sebelahku. “Kau benar-benar suka mengganggu, ya,” gumamku pelan.
“Eh? Apa kau bilang sesuatu?” tanya Sayuri, bingung.
Aku cepat-cepat menggeleng. “Ah, tidak. Aku cuma… memikirkan sesuatu tadi.”
Dia menatapku dengan ekspresi curiga, tapi tidak mendesak lebih jauh.
...****************...
Kami berhenti di depan gedung asrama, lampu-lampu jalan sudah mulai menyala, menciptakan bayangan panjang di trotoar. Sayuri berdiri beberapa langkah dariku, tampak ragu untuk masuk.
“Hari ini menyenangkan sekali! Aku menikmatinya, Takuto-kun,” katanya dengan senyuman kecil.
Aku mengangguk, merasa lega mendengar itu. “Aku juga, Sayuri-san. Terima kasih sudah meluangkan waktumu.”
Dia memandangku sejenak, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. “Kau tahu, aku biasanya tidak sering belajar dengan orang lain. Tapi denganmu, rasanya seperti berbeda.”
Jantungku berdetak lebih cepat mendengar kata-katanya. Aku mencoba menjawab, tapi tidak ada kata-kata yang keluar.
“Ah, hampir lupa,” katanya tiba-tiba sambil membuka tasnya dan mengeluarkan ponselnya. “Apa kau keberatan untuk bertukar nomor denganku? Supaya lebih mudah mengatur jadwal kalau kita mau belajar lagi.”
“Oh, tentu,” jawabku, sedikit gugup. Aku mengambil ponselku dan menukar kontak dengannya.
Ketika dia menyimpan nomorku, aku bisa melihat sekilas nama yang dia tulis untukku di ponselnya: Takuto Ishigami (teman). Sederhana, tapi ada sesuatu tentang cara dia menuliskannya yang terasa... personal.
“Terima kasih, Takuto-kun,” katanya sambil menyimpan ponselnya kembali ke tas.
“Tidak masalah. Sampai jumpa lagi, Sayuri-san.”
Dia melambaikan tangan sebelum masuk ke gedung, meninggalkanku dengan perasaan campur aduk.
...****************...
Malam itu, aku mencoba mengalihkan pikiranku dengan membaca buku, tapi pikiranku terus melayang ke momen di depan asrama tadi. Pertukaran nomor itu terasa seperti langkah kecil, tapi juga membuka pintu untuk sesuatu yang lebih besar.
Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Aku mengangkatnya dan melihat notifikasi pesan masuk:
> [Sayuri Kanzaki]: “Terima kasih untuk hari ini, Takuto-kun. Aku belajar banyak darimu.”
Aku tersenyum kecil membaca pesannya, merasa lega bahwa dia benar-benar menikmati waktu kami. Aku mengetik balasan singkat, “Aku juga. Sampai jumpa di kelas besok!”
Namun, belum sampai semenit setelah aku mengirim balasan, sebuah pesan baru masuk dari nama pengirim yang berbeda: [Rinn].
Aku membuka pesan itu, dan tulisannya langsung membuatku terdiam:
> “Bagaimana menurutmu, Rei? Dunia ini cukup menarik, bukan?”
Jantungku serasa berhenti. Aku menatap layar ponsel, mencoba mencerna apa yang baru saja kubaca.
Rinn? Apa ini lelucon? pikirku panik.
Tiba-tiba, suara ketukan di pintu membuyarkan lamunanku. Aku melompat dari kursi, membuka pintu, dan mendapati Sayuri berdiri di sana dengan ekspresi tenang.
“Ada apa?” tanyaku, mencoba menyembunyikan rasa gugup.
Dia mengangkat ponselnya, memperlihatkan layar dengan pesan yang sama seperti yang baru saja kuterima.
“Kau bisa menjelaskan ini?” tanyanya dengan nada yang lebih serius, namun tetap tersenyum.
Aku merasa seluruh tubuhku membeku. Dia tahu. Dia pasti tahu. Aku tidak tahu apakah aku harus merasa lega atau semakin gugup. Tapi satu hal yang pasti, malam ini tidak akan berakhir seperti biasa.
aku mampir ya 😁