"Apa yang kamu tahu?" tanya Aditya pada pria yang kepalanya berlumuran darah.
"Aku hanya lihat ada tiga orang pria datang lalu dia menyuntikkan sesuatu pada wanita itu. Setelah wanita itu tidak berdaya, mereka menggantungnya seolah dia bunuh diri."
Usai mengatakan itu, pria tersebut menghilang tanpa bekas.
Sebagai seorang polisi, terkadang Aditya menemui kesulitan ketika mengungkap sebuah kasus. Dan tak jarang dia sering meminta informasi dari makhluk tak kasat mata yang ada di sekitar lokasi kejadian.
Aditya memanfaatkan indra keenamnya untuk mengungkap kasus kejahatan yang terjadi di sekitarnya. Tak sendiri, dia ditemani jin cantik bernama Suzy yang rela membantunya melakukan apapun, kecuali mencarikan jodoh untuknya.
"Haiissshh.. Tante Suzy.. yang benar dong kalau kasih info. Nyasar lagi nih kita!" kesal Adita.
"Kalau mau nanya alamat tuh ke Mbah Gugel! Bukan ke aku!"
Aditya hanya menepuk keningnya saja.
"Percuma ngajak jin dongo," gumam Aditya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Asma vs Ayan
"Astaghfirullah ribut terus kalau ketemu. Aku nikahin juga nih!" sela Tristan yang sudah ada di dekat mereka lagi.
"Najis!!" ucap keduanya bersamaan.
"Hei.. jangan begitu. Kalian tahu teori tentang antara benci dan cinta itu bedanya tipis banget, udah kaya benang dibelah tujuh. Jadi hati-hati dari benci siapa tahu bakalan jadi cinta."
Dengan tenang Tristan mendudukkan dirinya di kursi. Di saat bersamaan, sang penjual datang membawakan makanan pesanan mereka, tiga buah nasi goreng. Jiya langsung menarik piring berisi nasi goreng ke dekatnya, lalu menyuapkan ke dalam mulutnya. Gadis itu membuka mulutnya untuk mengeluarkan hawa panas dari nasi goreng yang baru matang itu.
"Udah tahu masih panas, main gabres aja. Dasar maruk," celetuk Aditya.
"Bodo!"
Tristan menggelengkan kepalanya melihat Aditya dan Jiya yang sudah seperti Tom and Jerry. Tapi melihat keduanya, Tristan justru terpikir untuk menjodohkan mereka berdua.
"Kalian jangan ribut terus. Tiap ketemu selalu ribut, sekalinya ngga ketemu pada kangen nantinya."
"Ngga doyan sama cewek rambut kriwil," ceplos Aditya sekenanya.
"Siapa juga yang mau sama laki mulutnya isi mercon semua," sambung Jiya.
"Ji.. katanya kamu mau tahu di mana tempat latihan bela diri," Tristan berusaha mengalihkan pembicaraan ke arah lain.
"Iya, Abang tahu ngga?"
"Aku ngga tahu. Tapi Adit pasti tahu."
"Tahu tapi belum tentu mau ngasih tahu."
"Kamu mau ngapain cari tempat bela diri?" tanya Tristan untuk meredam ucapan sinis Aditya.
"Ya pasti biar bisa bela diri lah. Masa iya cari jodoh?"
"Biasanya perempuan itu belajar masak, belajar make up. Kenapa mau belajar bela diri?"
"Justru karena aku perempuan, aku harus belajar bela diri. Kejahatan kan ngga kenal tempat, waktu dan jenis kelamin. Sebagai perempuan aku harus bisa melindungi diriku sendiri. Kalau aku jalan sendirian pas malam, aku bisa melindungi diriku sendiri."
Sambil terus memakan makanannya, Aditya mendengarkan penuturan Jiya. Dalam hati dia membenarkan apa yang dikatakan oleh Jiya. Apalagi belakangan ini tingkat kejahatan semakin tinggi. Mendengar alasan Jiya, hati pria itu tergerak untuk memberitahu di mana tempat bela diri yang bagus.
"Kamu datang aja ke Ram's Dojang. Lokasinya di jalan Diponegoro. Di sana pelatihnya profesional semua," ujar Aditya tanpa melihat pada Jiya.
"Alamatnya di mana?"
Tidak ada jawaban dari Aditya. Pria itu mengambil ponsel dari saku celananya lalu memberikannya pada Jiya.
"Masukin nomer hape kamu. Nanti aku share loc. Nanti di sana kamu bilang aja dapat rekomendasi dari Aditya. Mending ambil latihan private, minta yang melatihnya Bang Haris. Dia yang melatihku dulu. Tapi orangnya tegas banget. Kamu harus konsentrasi penuh kalau latihan sama dia."
Untuk sesaat Jiya hanya terbengong mendengar ucapan panjang lebar Aditya. Secara tidak langsung pria itu sudah menunjukkan di mana tempat latihan bela diri yang bagus. Pria itu juga memberitahu namanya tanpa diminta. Dia harus menarik kembali ucapannya kalau Aditya adalah pria menyebalkan. Ternyata pria itu tidak semenyebalkan yang dibayangkannya. Jiya mengambil ponsel Aditya lalu memasukkan nomornya.
"Makasih, Mas Adit."
Hampir saja Aditya tersedak saat mendengar Jiya memanggilnya dengan sebutan Mas. Tristan menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan senyumnya.
"Nomerku sudah disimpan, namanya Jiya."
"Kenapa bukan Kriwil?" sahut Aditya.
Baru saja Jiya memuji kalau Aditya tidak semenyebalkan yang dikira, tapi sekarang pria itu kembali membuat kepalanya berasap. Tawa Tristan akhirnya meledak juga.
"Sadarnya sebentar aja, eh balik ke mode nyebelin," gumam Jiya namun masih bisa didengar oleh Aditya.
"Ngga tahu terima kasih," timpal Aditya.
"Bodo!"
"Hahaha.. kalau kalian berdua jadian, aku bakalan jadi orang yang tertawa paling kencang."
"Diam Tris!" sentak Aditya.
"Siapa juga yang mau sama dia. Daripada dia, mending sama Bang Tristan aja."
"Eh jangan ganggu dia. Dia udah punya calon!"
"Siapa?" tanya Tristan bingung.
"Zahi!"
"Astaga Dit, kamu serius?"
"Ya serius lah. Kalau kanjeng Mama sudah bertitah, ngga ada yang bisa nolak!"
Tristan menggaruk kepalanya. Namun dalam hatinya senang juga kalau sudah diakui sebagai calon suami Zahira. Semoga saja gadis itu juga merasakan hal yang sama dengannya.
"Berarti Zahi beruntung dapet suami kaya Bang Tristan. Dan yang jadi istrinya Mas Adit bakal kena asma seumur hidup."
"Yang dapat istri kaya kamu juga bisa mendadak kena ayan!"
"Udah jangan ribut terus. Dit, tolong antar Jiya ya. Aku mau ke tempat lain dulu."
"Kemana?"
"Jemput sepupuku di terminal. Dia dapat kerja di sini."
"Oh.. oke."
Aditya berdiri lalu menghampiri penjual nasi goreng. Dia membayar semua pesanan lalu kembali ke meja yang ditempatinya. Dengan isyarat kepala, pria itu meminta Jiya mengikutinya. Jiya masuk ke dalam mobil dan segera memakai sabuk pengamannya. Kendaraan roda empat itu pun mulai bergerak.
"Kamu kerja di mana?" Aditya membuka pembicaraan.
"Di J&J Entertainment, bagian humas."
"Serius kamu kerja di sana?"
"Iya. Emangnya kenapa?"
"Kamu tahu ngga kalau perusahan itu menjalin kerja sama dengan Sentinel?"
"Tahu. Tadi aku lihat pimpinan Sentinel dan salah satu anak buahnya datang ke kantor. Mereka datang karena Cheryl minta perlindungan untuk dirinya."
"Cheryl? Emangnya dia artis?"
"Iya. Wah Mas Adit ngga tahu Cheryl? Si artis songong yang lagi kena kasus pembullyan. Kabarnya dia membully teman sekolahnya sampai temannya itu bunuh diri. Sekarang Abangnya yang berjuang minta keadilan."
Kepala Aditya mengangguk saja. Sebenarnya dia tidak terlalu tertarik mendengar kasus Cheryl. Dia hanya fokus pada Sentinel dan Gading saja.
"Yang datang bersama Ivan siapa?"
"Aku ngga tahu namanya."
Aditya menghentikan kendaraannya di depan lampu lintas yang berubah merah. Dia mengambil ponselnya lalu menunjukkan foto Gading pada Jiya. Gadis itu nampak menahan nafas melihat wajah orang yang sudah membuatnya hampir mati terbunuh. Wajahnya kembali memucat dan itu tertangkap oleh Aditya.
"Kamu kenapa?"
"Ngga.. ngga apa-apa. Ini perut tiba-tiba sakit, mungkin karena terlambat makan."
"Mau beli obat dulu di apotik?"
"Ngga usah."
"Apa yang datang dengan Ivan, orang yang ini?"
"I.. iya, emangnya kenapa?"
"Dia dicurigai sebagai orang yang melakukan pembunuhan berantai."
Walau sudah mengira kalau Gading memang orang yang sudah menyerangnya, namun gadis itu terkejut mendengar kata pembunuh berantai. Itu artinya korban Gading lebih dari satu orang. Bulu di tubuh Jiya seketika berdiri. Kalau waktu itu dia tidak berhasil lolos, mungkin dia sudah menjadi koleksi korban Gading.
"Sebaiknya kamu berhati-hati kalau bertemu dengan orang itu."
"I.. iya."
Mobil yang dikendarai Aditya akhirnya sampai juga di kost-an Jiya. Setelah mengucapkan terima kasih, gadis itu segera turun dari mobil. Dengan langkah panjang, dia masuk ke dalam kost-an dan segera menuju kamarnya di lantai tiga.
***
Sebuah kendaraan roda empat berhenti di depan lobi kantor J&J Entertainment. Dari dalamnya keluar Zahira dengan membawa dus kue di tangannya. Gadis itu mendapat mandat dari sang Nenek memberikan kue hasil buatannya untuk anak bungsunya. Begitu memasuki lobi kantor, Zahira melayangkan senyumannya pada dua resepsionis yang duduk di belakang meja. Keduanya hanya melemparkan senyuman saja karena sudah tahu siapa Zahira.
Di lantai lima, Dipa baru saja selesai memantau jalannya reading proyek film terbarunya. Pria itu cukup puas karena semua artis yang terlibat dalam proyek ini dapat bekerja sama dengan baik. Ketika hendak keluar, Cheryl bergegas menghampirinya.
"Pak Dipa, apa aku boleh keluar untuk belanja?" tanya Cheryl dengan nada merajuk.
"Hem.."
"Aku akan minta Pak Gading untuk menemaniku."
Tidak ada jawaban lagi dari Dipa, namun gerak tubuhnya menunjukkan kalau pria itu menyetujui permintaan Cheryl. Dengan senang wanita itu menghubungi asistennya yang sedang berada di lantai tiga. Kemudian dia mendekati Gading yang sedari tadi terus berjaga di dekat pintu ruangan.
"Pak Gading, tolong antar saya belanja."
Kepala Gading mengangguk kemudian berjalan mengiringi langkah Cheryl tanpa mengatakan apapun. Seperti biasa, wajahnya pun tetap dingin tanpa ekspresi. Cheryl yang sudah mulai terbiasa melihat wajah kaku Gading, tidak mempermasalahkan itu semua. Keduanya segera memasuki kotak besi yang bergerak turun. Begitu di lantai tiga, lift berhenti. Nana masuk ke dalamnya disusul oleh Jiya. Gadis itu hendak menuju lantai dua.
Hampir saja Jiya menghentikan langkahnya ketika melihat Gading ada di dalam lift. Gadis itu memilih berdiri di dekat panel lift dan terus menundukkan kepalanya. Berharap kalau pria itu tidak mengenalinya. Gading melirik pada Jiya, dia merasa tak asing dengan gadis itu. Matanya terus memperhatikan Jiya sampai akhirnya gadis itu keluar di lantai dua.
Di lift lain, Dipa baru saja sampai ke lantai enam. Di ruang tunggu yang ada di dekat ruangannya, dia melihat Ivan sudah menunggunya. Rencananya hari ini mereka akan mengadakan tangani dokumen kerjasama. Dengan gerakan tangan, Dipa mempersilakan Ivan mengikutinya ke ruang kerja. Begitu pria itu membuka pintu, nampak Zahira sudah menunggunya di dalam.
"Zahi.."
"Papi.."
Zahira mendekati Dipa dengan wajah sumringah. Gadis itu mencium punggung tangan Dipa sebagai bentuk penghormatan pada yang lebih tua. Dipa mengusak puncak kepala keponakannya ini. Sementara di belakangnya, Ivan terus memperhatikan Zahira tanpa berkedip. Gadis yang sempat mencuri perhatiannya di acara grand launching beberapa waktu yang lalu, kini berada di hadapannya. Sebuah senyuman tercetak di wajah tampan Ivan. Sejak pertama bertemu, dia memang sudah tertarik pada Zahira.
"Pak Ivan, kenalkan ini keponakan saya, Zahira," ujar Dipa membuyarkan lamunan Ivan. Dengan cepat Ivan mengulurkan tangan seraya menyebutkan namanya.
"Ivan.."
***
Saingan Tristan datang😁
GK tau aja Zahira udh ada pwang nya begitu jga jiya lanjutkan doooooong mak serunih dobel ya semangat
Adtya...waspada sama keselamatan adikmu. Segera suruh tuh Tristan menikahi Zahira biar aman.
Dan kau Aditya juga segeralah menikah sama Jihan.