Zeona Ancala berusaha membebaskan Kakaknya dari jeratan dunia hina. Sekuat tenaga dia melakukan segala cara, namun tidak semudah membalikan telapak tangan.
Karena si pemilik tempat bordir bukanlah wanita sembarangan. Dia punya bekingan yang kuat. Yang akhirnya membuat Zeona putus asa.
Di tengah rasa putus asanya, Zeona tak sengaja bertemu dengan CEO kaya raya dan punya kekuasaan yang tidak disangka.
"Saya bersedia membantumu membebaskan Kakakmu dari rumah bordir milik Miss Helena, tapi bantuan saya tidaklah gratis, Zeona Ancala. Ada harga yang harus kamu bayar," ujar Anjelo Raizel Holand seraya melemparkan smirk pada Zeona.
Zeona menelan ludah kasar, " M-maksud T-Tuan ... Saya harus membayarnya?"
"No!" Anjelo menggelengkan kepalanya. "Saya tidak butuh uang kamu!" Anjelo merunduk. Mensejajarkan kepalanya tepat di telinga Zeona.
Seketika tubuh Zeona menegang, mendengar apa yang dibisikan Anjelo kepadanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30
"Raka, setelah sarapan ... kita jalan-jalan ke pantai ya? Aku ingin menghabiskan hari terakhirku di Pulau Dewata ini dengan bersenang-senang," kata Vivian sambil bergelendot mesra di lengan Raka.
"Up to you, Honey. Apapun yang membuatmu bahagia, aku akan melakukannya." Raka mencium mesra kening Vivian. Lalu turun ke bibir sensual milik wanita bersuami itu. Mereka berdua saling berpagutan di pinggir jalan.
Kegiatan itu terekam jelas oleh dua iris hitam milik Yudis Prawira. Lelaki paruh baya itu menganga, tergemap di tempatnya.
"Vivian, Raka?" Keseimbangan tubuhnya hampir hilang. Jantungnya seakan dicabut paksa dari dalam rongga dada. Nafsunya menyuruh mengejar sepasang sejoli itu, tapi tubuhnya tak mampu diajak kompromi. Kedua kakinya tak sanggup memijak bumi.
Terduduk lesu di bangku yang ada di area hotel. "Apa yang kamu lakukan Vivi? Apakah kau bermain gila dengan Raka di belakang suamimu?" Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan dalam benak Yudis. Dia termangu dengan hati tak menentu. Ingatannya terlempar ke masa lalu.
"Aku tidak mau menikah dengan Anjelo, Pi! Aku tidak mencintai dia. Cintaku sudah tertambat pada lelaki lain!"
"Mau cinta ataupun tidak, kamu akan tetap menikah dengan dia! Papi tidak mau mendengar penolakan dari kamu, Vivian! Siapapun lelaki yang kamu cintai, itu sama sekali tidak penting. Jodohmu itu adalah Anjelo!"
"Papi dan Mami jahat!"
"Vivian ... apakah lelaki yang selama ini kamu cintai itu adalah Raka?" Yudis melirih dengan mata memerah. Dia ingin marah. "Seharusnya tadi aku melabrak Vivian dan Raka!" Yudis mengepalkan kedua tangannya. "Pantas saja kamu selalu menunda-nunda punya anak dari Anjelo ... ternyata inilah alasan sebenarnya. Kamu bermain gila di belakang Anjelo. Apa yang kamu lakukan Vivi?" Yudis menggeram frustrasi. "Jika suami dan mertuamu tahu, maka tamatlah riwayat kita sekeluarga. Arrghh!" Bangku yang diduduki Yudis menjadi sasaran kemarahan lelaki paruh baya itu.
Dia mengambil ponsel dari saku celana dan menghubungi nomor Vivian untuk memastikan. Panggilan diabaikan. Yudis menggeram kesal. Dia pun mengirimkan pesan pada Vivian.
Yudis: Vivi, angkat telepon Papi!
Satu menit, dua menit hingga bermenit-menit, pesan itu tak kunjung dibaca dan dibalas. "Vivi ..." Yudis menunduk lesu.
Tentunya Vivian tak menggubris panggilan dan pesan dari ayahnya, karena saat ini, wanita beroutfit summer dress motif bunga-bunga kecil berwarna merah itu tengah asyik menelusuri pinggiran pantai dengan kaki telanjang. Berlari kecil saling berkejaran dengan lelaki pujaan hatinya. Tertawa riang dan lepas. Seolah semua beban dan tekanan yang selama ini ia rasakan hilang sejenak terbawa gulungan ombak.
Memeluk erat tubuh Raka. Membenamkan wajahnya di dada. "Sayang ... jika kita menikah nanti, aku ingin tinggal di Bali. Menjadi ibu rumah tangga biasa yang menghabiskan waktu seharian di dalam rumah. Mengurus anak-anak kita dan juga kamu. Aku nggak mau jadi wanita karier lagi. Capek! Aku mau jadi ibu rumah tangga saja. Aku nggak mau kerja. Pokoknya, aku ingin menghabiskan sisa umurku menjadi istri dan ibu yang baik." Semua impian yang selama ini ia pendam, dimuntahkan secara lantang kepada Raka. "Rumah yang kita bangun nanti nggak perlu mewah. Yang sederhana saja. Tapi aku pengen yang halamannya luas. Biar anak-anak kita bisa bermain dengan leluasa. Main bola, kejar-kejaran dan ..." Cerocosan itu terhenti, berganti dengan isakan menyayat hati.
"Honey, kenapa kamu menangis?" Raka menjauhkan dadanya dari kepala Vivian. Bermaksud melihat wajah sang kekasih. Namun Vivian mendekap erat tubuh Raka tak memberikan kesempatan tubuh itu menjauh dari tubuhnya.
"Aku takut semua mimpiku tadi tidak bisa jadi kenyataan, Ka. Orang tuaku terus-terusan mendesakku untuk segera punya anak dari Anjelo. Aku nggak mau Raka! Aku nggak mau punya anak dari Anjelo. Aku hanya ingin punya anak dari kamu." Curahan hati kembali mengiringi isakan Vivian.
Tak ada tanggapan suara yang keluar dari bibir Raka. Sejujurnya, dia juga punya ketakutan yang sama dengan Vivian. Takut jika mimpi untuk hidup bersama itu tak terlaksana dan malah menimbulkan luka dan derita.
Enam belas tahun mereka berdua menjalin hubungan sembunyi-sembunyi. Dari yang masih sama-sama single, sampai Vivian menikah dengan Anjelo. Hubungan mereka berjalan rapi, harmonis dan saling mengerti.
Cinta Vivian hanya untuk Raka, begitupun sebaliknya.
"Vi, seandainya aku anak orang kaya raya, mungkin kisah cinta kita tidak akan seperti ini." Setelah sekian lama diam, akhirnya Raka membuka suara. "Maafkan aku yang tidak bisa mengimbangi kekayaan orang tuamu. Sekuat apapun aku bekerja keras dan menabung, tetap saja uang yang kupunya tak ada apa-apanya dibandingkan dengan harta keluargamu. Aku tetap saja miskin." Raka menyambung ucapannya dengan nada lirih setengah putus asa.
Sepasang kekasih itu saling mendekap. Menyalurkan kesedihan dan keputusasaan di dalam jiwa mereka. Ingin bersama, tapi tembok penghalang yang membentang sangat sulit untuk dirobohkan.
"Raka ... aku sudah tidak kuat menjalani kepura-puraan ini. Aku sepertinya akan meminta cerai dari Anjelo," ungkap Vivian dan sontak membuat Raka melepas dekapannya. Merengkuh kedua bahu Vivian dan mendongakkan wajah kekasihnya agar menatap wajahnya.
"Jangan gegabah dalam mengambil keputusan Vi! Apakah kamu sudah yakin dan siap berpisah dengan Anjelo? Orang tuamu pasti akan sangat murka jika kamu melakukan itu!" ujar Raka mengingatkan. "Bukannya jika kamu meminta cerai duluan tanpa alasan yang jelas, kamu tak akan mendapatkan sepeserpun harta dari Anjelo. Apakah kamu sudah siap dengan itu?"
"Aku nggak peduli! Aku sudah sangat muak. Aku nggak butuh hartanya Anjelo. Dan untuk orang tuaku, aku juga tak peduli pada mereka ..." Vivian menjeda ucapannya.
"Mereka juga tidak pernah peduli pada perasaanku. Mereka egois. Mereka hanya memikirkan tentang harta, harta dan harta. Aku hanya dijadikan alat untuk mendapatkan semua itu! Aku capek menjalani rumah tangga yang penuh kepalsuan. Berlaga harmonis dan romantis di hadapan orang-orang. Faktanya jika sedang berduaan, aku dan Anjelo tak ubahnya bagai anjing dan kucing. Aku dan dia sama-sama tersiksa!" Vivian kembali memeluk erat tubuh Raka. "Aku capek, Raka. Ayo kita kabur ke kutub utara. Kita mulai hidup baru di sana!" Perkataan yang semakin tak tentu arah sangat jelas menggambarkan keputusasaan yang Vivian rasakan.
Hidup bergelimang harta tak membuat hidupnya bahagia. Karena dia kehilangan cinta sejatinya. Vivian muak menjadi boneka kedua orang tuanya. Harus begini, harus begitu. Dengan dalih untuk kebahagiaan dan masa depan Vivian.
"Sttt!" Raka mendesiskan lidah. "Cukup Vi! Jangan bicara lagi. Tenangkan dirimu. Jangan gegabah, kita cari jalan keluarnya secara perlahan-lahan," kata Raka menenangkan. Mengusap lembut kepala Vivian dan melabuhkan kecupan hangat di puncak kepala kekasihnya itu.
"Ya, Raka. Sepertinya ... aku harus mencari cara agar bisa menggugat cerai Anjelo dan dia harus terlihat salah di mata orang-orang. Tapi bagaimana caranya? Dia terlalu sempurna untuk disalahkan. Aku bingung, Raka."
Raka diam sejenak. Senyum kecil terbit di wajahnya. Dia merunduk membisikan sesuatu ke telinga Vivian.
"Waw ... idemu sangat brilian, Sayang!" Wajah Vivian terbelah karena seringainya.
lanjut Thor
seru
aku zuka